Review Cobweb (2023)

Absurdnya Sebuah Masterpiece yang Dieksekusi Luar Biasa

cobweb 1

© CBI Pictures

“If i can’t shoot this, my life will pass in torment,” – Kim (Cobweb, 2023)

Korea Indonesia Film Festival (KIFF) 2023 secara resmi telah dilangsungkan di CGV Grand Indonesia, Jakarta (19/10) dan film pertama yang diputar dalam pembukaan festival film tersebut adalah salah satu film Korea yang banyak ditunggu tahun ini.

Film yang berjudul Cobweb (Geomijip) disutradarai oleh Kim Jee Woon, yang terkenal dengan karya-karyanya yang pasti kita kenal, sebut saja A Tale of Two Sisters (2003), The Good, The Bad, The Weird (2008), A Bittersweet Life (2005), dan I Saw the Devil (2010). Cobweb juga merupakan comeback Kim Jee Woon ke layar lebar setelah vakum selama 5 tahun di dunia film layar lebar.

Proses pembuatan film dalam sebuah karya film memang bukan pertama kali ini saja dibuat.

© CBI Pictures

Cineverse teringat film klasik karya sineas Italia, Federico Fellini yang berjudul 8 ½ (1963) yang menggambarkan sang sutradara dengan kerumitannya dalam proses kreatif yang dibuatnya atau sejumlah karya terbaru seperti Once Upon a Time in Hollywood (2019) dan Mank (2020) yang menggambarkan proses di balik produksi film.

Sebagai sebuah film, Cobweb memang bukan film sejenis atau yang telah disebut di atas, dan biasa kita tonton di layar lebar. Film ini secara luar biasa mengubah paradigma kita terhadap proses pembuatan sebuah film dengan segala kerumitan yang dihadapinya. Terlebih lagi dalam prosesnya, banyak sekali intrik yang dilakukan para karakternya agar film yang sedang dibuat ini bisa ditayangkan.

Sinopsis

Berlatar di awal 1970-an, di masa Korea sedang ketatnya memberangus sebuah film yang dianggap tidak memenuhi aturan sensor, Kim (Song Kang Ho), seorang sutradara yang sedang memimpikan karya terbesarnya, mengalami tekanan saat semua orang mengatakan filmnya adalah sampah.

Dalam tidurnya, Kim memimpikan alternate ending atau ending alternatif dari film yang telah ia selesaikan, akan menjadi sebuah masterpiece yang bisa membuat semua orang terdiam dan hormat kepadanya. Namun, membuat ending baru itu tidak semudah yang ia bayangkan. Padahal Kim hanya membutuhkan waktu dua hari saja untuk menyelesaikan ending yang ia impikan itu.

© CBI Pictures

Kepala Studio, Baek (Jang Young-Nam) bersikeras agar film itu tidak usah dibuat ending baru agar bisa lolos sensor film, dan menyerahkan persoalan ini kepada keponakannya, Mido (Jeon Yeo-been). Di luar dugaan, Mido menyukai naskah itu dan sambil terharu ia mendukung Sutradara Kim untuk membuat ending itu.

Namun, naskah yang ditulis ulang tersebut ternyata gagal lolos sensor, dan para pemainnya banyak yang tidak dapat memahami ending terbaru dengan waktu yang hanya dua hari saja.

Sutradara Kim juga menemukan fakta banyak drama terjadi di set filmnya itu. Dia mendapat pengakuan dari salah satu bintangnya, Ho-se (Oh Jung-se) kalau ia stress karena kehamilan Yu-rim (Krystal Jung), akibat perselingkuhan mereka di lokasi syuting.

Kelakuan Yu-rim di lokasi syuting pun bak seorang bintang besar yang banyak tingkah. Kenyataannya, para bintang tersebut menyembunyikan sesuatu yang lucunya disimpulkan secara diam-diam oleh aktor yang berperan sebagai detektif.

Benturan akhirnya terjadi di antara para pemain, produser dengan Sutradara Kim, dan juga pertentangan batin Sutradara Kim soal sulitnya membuat ending yang ia impikan tersebut.

Bisakah akhirnya ending impian ini diwujudkan Sutradara Kim dan meraih apa yang ia inginkan?

Visualisasinya sangat luar biasa

© CBI Pictures

Di Cobweb, proses kreatif sang sutradara dengan imajinasi liarnya beradu dengan realita yang ia hadapi di studio film dengan sejumlah individu.

Imajinasi ini dimunculkan sejak menit pertama dengan nuansa noir ala film-film Alfred Hitchcock ala 30-40an yang lekat dengan sejumlah elemen yang dibawanya seperti pisau berdarah, teriakan khas korban dengan mimik muka yang disorot secara close-up, lengkap dengan skoring orkestra-nya (walaupun minimalis).

Sekilas mengingatkan kita akan karya Hitchcock, namun Cobweb sangat berbeda. Film ini mengadopsi banyak genre di dalamnya.

Film ini dibuat dengan latar di awal 70-an, menggunakan palet berwarna di suasana aslinya, dan palet hitam putih untuk film yang sedang dibuat Sutradara Kim. Yang menjadi catatan Cineverse di film ini adalah Sutradara Kim ingin membuat adegan ‘one take-one shot’ yang merupakan pengambilan gambar dengan sekali shot saja.

Di masa itu, sangat sulit menciptakan adegan seperti itu dan Sutradara Kim berusaha mewujudkan adegan klimaks dengan api terbakar di set tersebut.

© CBI Pictures

Adegan klimaks di mana Sutradara Kim dan kru membuat koreografi pengambilan gambar yang panjang dan terus menerus memang sangat menghibur kita yang menonton. Kita mendapat visualisasi saat para kru berusaha keras bergerak mengikuti sejumlah pemain yang keluar masuk adegan.

Para kru kemudian memasukkan sejumlah efek seperti hujan, api dan memindahkan dinding untuk mengganti latar. Seperti melihat behind the screen film dalam sebuah film, dan semua keajaiban dalam proses pembuatan film itu dihadirkan di depan mata kita.

Narasinya terlalu berbelit-belit dan tidak terlalu efektif

Walaupun secara visualisasi film ini sangat luar biasa, namun dari sisi naratif, Cobweb tidak terlalu efektif menyampaikan pesannya. Terlalu banyak yang ingin disampaikan dan cenderung melebar. Hal tersebut berpengaruh terhadap durasi filmnya yang mencapai 135 menit.

Sebagai sebuah dark comedy yang merupakan tipikal karya Kim Jee Woon di awal karirnya, contohnya seperti The Quiet Family (1998), Cobweb berusaha keras menyatukan mimpi Sutradara Kim dengan konflik kru dan pemainnya. Hasilnya adalah suasana syuting dipenuhi humor slapstick yang banyak membuat kita tertawa sendiri hingga akhir film.

Namun, di satu sisi, kita melihat realisasi mimpi yang dieksekusi Sutradara Kim dalam ending filmnya malah terlihat aneh dan kehilangan arah. Bukan yang kita liat dalam syuting tersebut dan juga bukan dalam mimpinya. Korelasinya memang sesuai dengan judul film ini, tapi sangat absurd kalau ending seperti ini bisa menjadi masterpiece.

© CBI Pictures

Munculnya subplot baru di paruh kedua lewat kilas balik juga menimbulkan pertanyaan tersendiri. Apakah benar film ini bukan sepenuhnya karya Sutradara Kim?

Kesimpulan

Cobweb secara luar biasa menampilkan nuansa noir ala Hitchcock lengkap dengan sejumlah elemennya. Sinematografinya luar biasa, begitupun soundtrack-nya yang sesuai dengan eranya.

Sisi artistiknya juga digarap serius dengan mengedepankan suasana studio yang penuh drama dan canda tawa. Akting para pemainnya juga sangat baik, dengan screen time yang relatif seimbang.

Sisi negatifnya mungkin tak banyak. Realisasi mimpi Sutradara Kim yang dieksekusi menjadi klimaks, memang agak sedikit absurd, dan menjadi pertanyaan besar. Apakah masterpiece sesungguhnya adalah yang ditampilkan menjelang konklusi?

Atau apakah itu bukan masterpiece Sutradara Kim, melainkan karya orang lain? Hanya kita yang bisa menilai tentunya dari kilas balik yang ditampilkan di paruh kedua film ini.

 

Director: Kim Jee Woon

Cast: Song Kang Ho, Im Soo Jung, Oh Jung Se, Jeon Yeo Been, Krystal Jung, Park Jung Soo, Jang Young Nam, Kim Min Jae, Kim Dong Young, Jang Gwang

Duration: 135 Minutes

Score: 8.2/10

WHERE TO WATCH

The Review

Cobweb

8.2 Score

Cobweb mengisahkan mimpi seorang sutradara yang ingin membuat karya masterpiece dengan mengubah adegan klimaks filmnya

Review Breakdown

  • Acting 8
  • Cinematography 9
  • Entertain 8
  • Scoring 8
  • Story 8
Exit mobile version