“She is beautiful, guileless, kind, and pure of heart. You are brilliant, ferocious, hilarious, and a grade ‘A’ bitch. Together, you are the perfect woman.” – William Moulton Marston.
Siapa itu Wonder Woman? rasanya hampir semua Chillers dapat menjawab pertanyaan itu dengan benar secara mudah yakni superhero wanita paling populer yang pernah ada. Namun, tahukah Anda perihal mengenai siapa sosok penciptanya? Atau, jika pertanyaan yang diajukan adalah siapa itu William Marston? Berani taruhan pasti banyak Chillers yang akan menggelengkan kepalanya sebagai jawaban pertanyaan ini.
Padahal, pria yang berprofesi sebagai dosen psikologi di Harvard ini adalah pencipta tokoh superheroine paling populer di jagat komik DC, Wonder Woman yang film aksi solo perdananya menuai sukses besar lewat performa apik aktris Gal Gadot sebagai pemerannya. Marston juga adalah sosok di balik penciptaan alat pendeteksi kebohongan.
Akibatnya, sudah barang tentu, pasti bakal lebih sedikit pula yang mengetahui perihal kehidupan unik yang dijalani Marston, di mana ia menjalin hubungan dengan istrinya dan kekasihnya secara bersamaan dalam hubungan asmara luar biasa tiga individu yang tentunya tidak lazim, yang notabene merupakan poin vital di balik penciptaan karakter Wonder Woman.
Kehidupan Dr. Marston yang diliputi dengan berbagai konflik, seperti reaksi keras masyarakat yang memandang kisah Wonder Woman – karena kental dengan kekerasan, penyiksaan dan perilaku sadomasokhisme – ternyata menarik perhatian Angela Robinson (D.E.B.S., Herby: Fully Loaded, True Blood) sehingga ia bersedia menduduki kursi sutradara.

Robinson melihat kompleksitas latar belakang penciptaan karakter populer yang didasari dua wanita yang ada di samping Marston ini sebagai materi drama perwatakan yang menarik. Dan, ditunjang dengan kesuksesan film layar lebarnya bersamaan dengan momen perayaan ke-75 tahun Wonder Woman, menjadikan film ini tidak pelak merupakan momentum yang pas untuk mengenalkan pada khalayak luas perihal sang kreator Wonder Woman tersebut
Dengan setting awal abad ke-20, di mana revolusi industri dan kecenderungan modernisasi mulai menyeruak ke permukaan, sesuai judulnya, Professor Marston and The Wonder Women mengisahkan tentang perjalanan hidup Dr. William Moulton Marston (Luke Evans), psikolog asal Amerika yang saat riset psikologi kontroversialnya mendapat jegalan dari universitas tempat ia bekerja, memanuver medium komik sebagai batu loncatan hasil penelitiannya.
Lewat hubungannya dengan dua wanita penting dalam hidupnya yakni istri tercintanya, Elizabeth Marston (Rebecca Hall), serta muridnya Olive Byrne (Bella Heathcote) yang dijadikan sebagai domestic partner, berujung pada terciptanya pahlawan super wanita bernama Wonder Woman.
Walaupun menyuguhkan tema yang notabene ekstrem dan beresiko, Robinson mampu mengemas sajian film ini menjadi film yang seksi namun berkelas. Bahkan berbagai adegan dewasa tidak lazim seperti threesome, sadomasochistic dan role play yang memang tidak bisa dihindari karena merupakan unsur penting storylinenya, bisa dieksekusinya secara elegan, artistik dan dalam koridor yang memang menunjukkan rasa cinta dan saling percaya dari hubungan kompleks antara ketiganya tanpa harus menjadikannya vulgar.
Atmosfer apik lain yang demikian kentara, adalah tebaran detail-detail kecil unsur karakter Wonder Woman yang menjadikan Chillers nantinya dapat dengan mudah melihat dari mana Marston memperoleh gambaran mantap wujud tokoh superhero itu, sebelum nantinya mengerucut pada momentum adegan provokatif saat karakter Olive mengungkap ‘jati dirinya’.
Memainkan tokoh paling sentral, William Marston, Luke Evans berhasil bermain baik. Meski performanya tidak sampai luar biasa, ia bisa menunjukkan air muka karakter yang terlibat hubungan polyamour tanpa harus terlihat sebagai pria bejat.
Sejatinya status Marston bisa dengan mudah membuat orang lain memandangnya sebagai pria tak bermoral yang sangat beruntung, namun melalui gambaran Robinson dan performa Evans berhasil secara jelas menunjukkan bahwa Marston adalah seorang feminis sejati yang percaya siapapun jika telah dewasa bebas menjalani hidup sesuai yang mereka kehendaki.
Sementara, sesuai ekspektasi dari sebuah film tentang para Wonder Women, dua pemain wanita sentral, Rebecca Hall dan Bella Heathcote mampu menjelma sebagai bintang paling bersinar di film ini masing-masing sebagai Elizabeth dan Olive dengan perwatakan karakter yang sama-sama kuat. Mrs. Marston yang radikal namun rapuh dapat dihadirkannya dengan baik oleh Hall, sementara Heathcote sangat meyakinkan sebagai kontradiksinya, sosok terlihat rapuh padahal kuat. Kedua aktris ini tidak hanya menawan hati, namun penampilan berani mereka adalah napas vital dari apa yang ingin dituju dalam film ini.
Secara keseluruhan, Professor Marston and The Wonder Women dapat dideskripsikan sebagai ode/surat cinta yang indah pada jalinan asmara yang tidak konvensional dan seakan menunjukkan bahwa terkadang di balik rumor paling menyolok sekalipun ada individu-individu yang memang terjalin hubungan emosi tulus dan cinta sejati satu sama lain.

Maka, rasanya tidak berlebihan jika kita mengangkat topi pada Angela Robinson atas arahan impresifnya membawa kisah asmara kompleks ini seraya menyajikannya dalam bentuk yang tidak hanya sekadar memberikan penghargaan tinggi pada pencipta tokoh superhero wanita paling populer di dunia itu beserta dua cinta sejatinya namun juga bagi mereka yang tengah menjalani hubungan yang dianggap tabu dalam pandangan masyarakat luas.
https://youtu.be/zUHJzkeH1AA