Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955, Festival Film Indonesia (FFI) digagas sebagai barometer perkembangan kualitas perfilman Indonesia. Melalui berbagai penghargaan yang diberikan, publik dan kalangan perfilman sendiri bisa membaca pencapaian terbaik yang dihasilkan selama setahun terakhir. Setelah mengalami banyak tantangan, kini FFi memasuki era yang baru. Dari yang semula merupakan program penghargaan tahunan, FFI sekarang menjadi entitas yang beroperasi sepanjang tahun. Tujuannya adalah fokus terhadap usaha-usaha peningkatan kualitas film Indonesia.
Dengan tema ‘Mencari Mahakarya Batasnya Hanya Kualitas’, Lukman Sardi menjelaskan, “Memang sulit mencari sebuah mahakarya dan dibutuhkan waktu panjang, bukan hanya dalam hitungan hari. Maka dari itu tujuan komite ini adalah ingin meng-encourage mahakarya luar biasa untuk sebuah kualitas.”
Melalui surat keputusan (SK) ketua umum BPI, telah dibentuk Komite FFI (Festival Film Indonesia) dengan masa kerja tiga tahun yaitu dari 2018-2020. Komite FFI diketuai Lukman Sardi dengan anggota pengurus: Catherine Keng (Sekretaris), Edwin Nazir (Keuangan & Pengembangan), Lasja F. Susatyo (Program), Nia Dinata (Penjurian), dan Coki Singgih (Komunikasi).

Komite FFI akan menjadi entitas baru dalam memajukan perfilman nasional. Melalui kolaborasi dengan lembaga pemerintah, asosiasi profesi, dan pihak swasta, Komite FFI akan berusaha merangkul lebih banyak pihak dalam usaha merealisasikan program-programnya. Dalam press conference yang diadakan di Bioskop Metropole, Jakarta (1/10), Lukman Sardi membeberkan rencana jangka pendek dan jangka panjang dari komite seperti pelaksanaan Piala Citra, Malam Nominasi Piala Citra, Indonesia Movie Week, workshop perfilman, hingga perhatian yang juga ditujukan dalam hal kritik film. “Semua program FFI akan dibiayai oleh semua unsur pemerintah serta mitra swasta yang memiliki perhatian dan kepentingan yang sama”, jelas Lukman Sardi.
Khusus Piala Citra, ada perbaikan paradigmatik yang sebetulnya sudah dirintis tahun lalu, dan kini akan coba dilanjutkan dengan beberapa perbaikan. Salah satunya adalah pada kategori film panjang. Di Piala Citra 2018, film panjang yang bisa dinilai oleh juri adalah film yang sudah memiliki STLS (Surat Tanda Lulus Sensor) dari LSF. Dengan begitu, jelas sudah bahwa film yang bisa masuk nominasi Piala Citra adalah film yang sudah pernah dirilis di sinema komersil, bukan di tempat nonton alternatif. Untuk rentang waktunya, film yang bisa masuk penilaian juri adalah film yang rilis di bioskop komersil mulai dari tanggal 1 Oktober 2017 sampai 30 September 2018.
Untuk penjuriannya, ada tiga kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian yaitu gagasan dan tema, kualitas estetika, serta profesionalisme. Agar dapat mewujudkan hasil terbaik dari sistem penjurian ini, para juri dari Komite FFI akan melibatkan pertisipasi aktif asosiasi profesi dan komunitas melalui proses seleksi internal. Penetapan nominasi dilaksanakan melalui rekomendasi asosiasi profesi dan komunitas. Sementara pemilihan pemenang dilakukan oleh para perwakilan yang ditunjuk oleh asosiasi profesi dan komunitas, ditambah 10 juri mandiri. Para juri nantinya diharapkan mampu memahami secara baik setiap detail dari unsur-unsur yang ada di dalam film serta mengetahui trend perfilman dunia.
Tahap penjurian sudah berlangsung, tepatnya dari 2 Oktober sampai 25 Oktober 2018. Pengumuman nominasi direncanakan pada tanggal 6 November 2018. Selanjutnya malam penganugerahan diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada Desember 2018 mendatang. Seluruh proses penjurian dilakukan di bawah pengawasan konsultan publik independen Deloitte Consulting, sementara itu keseluruh 23 piala yang akan diserahkan dalam 23 kategori penjurian akan dilapisi emas murni oleh The Palace yang pelapisannya membutuhkan waktu enam bulan.