Masih segar di ingatan kita tentang film horor-komedi berjudul “Ghost Writer” yang tampil oke dan melebihi ekspektasi (secara box office). Film ini secara cerdas menggabungkan superstitious mengenai arwah penasaran dengan balutan drama keluarga yang diselingi humor-humor kocak.
Nah, kini kurang lebih hal itu juga yang jadi bikin penasaran ketika mau nonton film “Pelukis Hantu”. Bagaimana film memanfaatkan unsur kelokalan dalam menyikapi supranatural, lalu menggabungkannya dengan cerita yang berlandaskan kekeluargaan. Apalagi film ini juga menjadi debut penyutradaraan Arie Kriting. Bagaimana caranya dalam meramu cerita kemudian menuangkannya ke kanvas sinema? Berikut ulasannya.
“Pelukis Hantu” berkisah tentang Tutur (Ge Pamungkas). Ia dari kecil sudah diperlihatkan bisa melihat hantu berwujud Kuntilanak. Setelah dewasa, Tutur yang terus menekuni bakatnya sebagai pelukis mencoba kesempatan untuk tampil di televisi sebagai pelukis makhluk astral di acara “Arwah”. Siapa sangka, memori menakutkan Tutur kembali terulang di acara tersebut. Ini menjadi awal dari segala hal yang masih misterius tentang Tutur, yang mana akan bersinggungan juga dengan karir dia di dunia hiburan.


Membahas aspek naratif tentu kita sudah tidak sabar untuk mengetahui, bagaimana “Pelukis Hantu” menampilkan kelokalan supranatural terlebih dahulu. So, di sini kita bisa melihat bahwa film mengangkat tentang arwah penasaran.
Arwah yang masih memiliki sesuatu yang istilah kata belum tuntas. Kurang lebih poin yang sama dengan apa yang “Ghost Writer” lakukan. Nah apa yang bikin beda? Pertama adalah tentang bagaimana cerita tentang arwah penasaran ini berkembang. Yang kedua terletak di poin kekeluargaan, yang mana sudah barang tentu akan membuat penonton tetap menaruh perhatian kepada film.
Hubungan Tutur dengan masa lalu akan sangat dominan, sebelum berpindah kepada value lainnya yang terlihat di tahap resolusi. Nah, bagaimana hal tersebut berhubungan juga dengan pekerjaan? Itu juga menjadi sesutau yang penting. Bagian ini sempat menghilang dengan semakin berkembangnya porsi salah satu karakter pendukung di pertengahan masa.

Meski begitu, film sebetulnya tidak melupakan peran pekerjaan Tutur, karena akan menjadi poin krusial di akhir. Sayang, ketika poin ini sudah krusial, tidak ada scene yang gereget untuk menunjukkan hal ini. Tutur menjadi sangat abu-abu, menjadi sangat berbeda dengan yang dibangun sebelumnya. Keputusan yang berani dari karakter ini yang sayangnya tidak ditampilkan lewat scene yang powerful.
Rasanya film benar-benar mengeluarkan semuanya di akhir, yang mungkin dimaksudkan agar menjadi sebuah kejutan. Nah biar makin kena gong-nya kena, Arie secara pas membuat beberpa scene yang secara efektif menonjolkan unsur antara konflik-konflik yang dimiliki Tutur ini.
Unsur emosionalnya jadi dapet banget sih asli di beberapa scene yang dimaksud. Hal ini semakin didukung berkat aspek sinematiknya, di mana kita disuguhkan oleh beberapa tampilan yang menandakan sesuatu. Pertama adalah yang berhubungan dengan mise-en-scene.
Apa yang terlihat di depan mata kita nanti akan berubah secara drastis dan itu menandakan perkembangan cerita meski tak banyak berkata-kata. Kemudian yang kedua adalah berhubungan dengan akting, terutama Ge Pamungkas. Di sini Ge harus bisa mendalami sebuah situasi yang menyedihkan bagi Tutur. Selain itu, kita juga bisa melihat di sisi lain Ge dituntut untuk memeragakan Tutur yang berusaha tegar. Jadi ga seedar sedih doang. And he nailed it.

Cuman, dari segi sinematiknya juga, film ini sepertinya masih suka skip sama hal-hal yang dirasa “receh”. Kelihatan banget kalau itu rekayasa aja. Masih kurang effort, walaupun ya itu, mungkin kecil. Bisa dikatakan kelemahan di bagian detail menjadi kekurangan yang nyata, yang wajib diperhatikan oleh Arie ke depannya.
Kemudian masih terdapat momen yang cukup dipertanyakan apakah itu perlu dibuat atau tidak, walaupun motifnya jelas untuk apa. Efek visualnya masih belum bisa dibilang myeakinkan. Hanya saja ini dimaklumi karena “Pelukis Hantu” adalah film dengan unsur komedi yang ringan.Apakah kita mengharapkan tampilan visual yang lebih baik? Ya pastinya.
Notion ini juga sedikit banyak berlaku untuk bentuk hantunya yang lumayan seram. Tapi yang disukai dari bagian si hantunya ini adalah beberapa momen kemunculannya yang cukup bikin kaget juga hehehe. Di sana kita bisa melihat Arie tetap menggunakan tekniik-teknik film horor pada umumnya seperti perpaduan on frame dan off frame, lalu ada juga kalanya menggunakan dramatisasi objek.
Hasilnya bagus, di mana feel-nya dapet, kemudian timing on dan off frame-nya juga pas bisa bikin kaget.
Cuman yang paling menjadi highlight adalah bagaimana Arie menampilkan dunia lain yang jelas berbeda. Dunia ini tentu tidak ditampilkan secara kompleks. Cukup satu setting dengan ambience yang gelap saja. Sederhana. Yang penting ambiens-nya bisa memancarkan sesuatu yang kelam.

Yang keren di sini adalah bagaimana Arie menampilkan transisi yang smooth betul dari dunia nyata ke dunia astral. Penonton mungkin gak menyadari ini juga, mengingat Arie adalah sutradara debutan. Percobaan pertama adalah yang paling bagus. Kamera bergerak memutar, kemudian memanfaatkan objek tempat melukis dari Tutur sebagai alat. Alat ini lalu difungsikan sebagai medium perubahan latar tempat yang dikunjungi oleh karakter utama.
Proses perubahan ini sukses ditampilkan dengan cara yang artistik dan terasa asik. Jika melihat ke kesinambungan dengan naratifnya, pondasi dari terciptanya treatment ini juga kuat. Core-nya adalah acara televisi, dengan sedikit sentuhan terkait perkembangan karakter Tutur yang awalnya dianggap useless.
Tak lengkap jika sebuah film yang merupakan hasil karya seorang komika tidak membahas soal komedinya. Ada sih bagian yang dirasa cukup awkward karena beberapa kali jokes yang ada ditempatkan pada situasi yang cukup tidak matching, sehingga jokes-nya jadi maksa.

Tapi, selain itu kita juga dapat melihat ciri khas yang selalu ada dalam film-film besutan komika, yaitu set-up komedi yang baik. Kelihatan rapih, terlepas dari apakah itu berhasil membuat kita terhibur atau tidak. Gak main asal cablak, atau asal ramai saja pastinya. Beberapa selipan kritik sosial juga bisa kita dapatkan lewat komedi-komedi yang ada di dalam film ini.
Penonton dapat merasakan keinginan yang jelas dari karakter utama, namun perlu digarisbawahi keinginan tersebut sempat menjadi kabur karena perkembangan konflik yang ada, sebelum untungnya di-drag back kembali lewat sebuah scene krusial di acara “Arwah”.
Di sisi lain, kelokalan tersaji dengan jelas, kemudian keterhubungan antara konflik satu dengan konflik lainnya juga enak, yang pada akhirnya membuat film jadi terasa mengharukan di akhir. Style dan juga sense yang dimiliki oleh sutradara juga sudah terlihat, meski kalau diperhatikan lagi, secara detail memang masih ada hal-hal yang bikin gatel dari “Pelukis Hantu”.
Belum lagi visual-nya masih tergolong maklum, karena ini bukan film yang full horor. Tapi tidak apa. Ini jelas bukan sesuatu yang kita duga dari Arie Kriting, mengingat dia adalah sutradara debutan. Lewat “Pelukis Hantu” kita harapkan Arie bisa jadi lebih berkembang karena debutnya sudah bisa dibilang menjanjikan.
Director: Arie Kriting
Casts: Ge Pamungkas, Michelle Ziudith, Rebecca Klopper, Abdur Arsyad, Uus, Aida Nurmala, Alyssa Daguise, Hifdzi Khoir, Marwoto
Duration: 97 Minutes
Score: 7.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Pelukis Hantu
'Pelukis Hantu' menceritakan saat seorang pelukis coba mengungkap misteri arwah penasaran lewat lukisan yang ia gambar. Ia yang tadinya tak bisa menggambar makhluk halus, tiba-tiba diberi visualisasi yang tak ia sangka sebelumnya, dan ia diberi tugas untuk menyelesaikan misteri tersebut. Berhasilkah ia?