Ngobrolin Ekosistem Perfilman Indonesia dan Pemulihannya di Masa Pandemi Bareng Adrian Jonathan

ngobrolin ekosistem perfilman indonesia dan pemulihannya di masa pandemi bareng adrian jonathan

Ekosistem perfilman adalah bagaimana faktor-faktor, sumber daya, dan pelaku yang ada di dalam industri film saling menunjang. Saling membantu satu sama lain. Apa saja bagiannya? Ada bagian produksi yang membuat film, lalu bagian distributor yang membawa filmnya ke layar. Kemudian layar-layar ini disebut bagian eksibisi. Biasanya produksi, distribusi, eksibisi adalah dasarnya ekosistem film.

Ternyata tahun ini kita masih harus merayakan Hari Film Nasional yang jatuh pada tanggal 30 Maret lalu di tengah pandemi. Pahit sih, cuman ya mau gimana lagi. Alih-alih selebrasi, kami pun terpikir untuk ngomongin hal lain yang terinspirasi dari kondisi sulit ini. Pas banget, kami melihat teman-teman dari Cinema Poetica yang membuat kultwit soal ekosistem perfilman Indonesia.

Perfilman sendiri memang bukan sekedar “me and the movie”. Perfilman menyangkut banyak hal dan hajat hidup orang banyak. Kami pun kepikiran, bagaimana hajat orang banyak di perfilman Indonesia ini bisa selamat ketika pandemi yang sampai saat ini belum selesai-selesai?

© cinemapoetica

Maka terciptalah obrolan bersama Adrian Jonathan Pasaribu dari Cinema Poetica yang ngobrolin soal ekosistem perfilman di Indonesia. Dari obrolan ini kita coba mencari tahu. Mengevaluasi. Apa sih yang sebenernya masih perlu diperbaiki dari perfilman Indonesia itu sendiri. Apakah raihan 50 juta penonton yang selalu diagung-agungkan itu sudah membuat industry menjadi kuat dan sustainable?

Sebelum itu, kitaa perlu tahu dulu nih soal apa sih ekosistem perfilman itu sendiri. Jadi menurut penuturan Adrian, hal ini tak ubahnya dengan apa yang kita pelajari soal ekosistem saat duduk di bangku sekolah dasar.

Mengenal ekosistem perfilman Indonesia

Ekosistem perfilman adalah bagaimana faktor-faktor, sumber daya, dan pelaku yang ada di dalam industri film saling menunjang. Saling membantu satu sama lain. Apa saja bagiannya? Ada bagian produksi yang membuat film, lalu bagian distributor yang membawa filmnya ke layar. Kemudian layar-layar ini disebut bagian eksibisi. Biasanya produksi, distribusi, eksibisi adalah dasarnya eksositem film.

Tapi di luar hal-hal yang bersifat materiil tersebut, ada juga hal-hal yang bersifat immaterial dan termasuk ke dalam ekosistem perfilman juga, Cilers. Nulis review, ngetwit, bikin IG live dan saling berdiskusi/ngobrol itu disebut bagian apresiasi, yang menjadi salah satu bidang sendiri di eksosistem.

Habis itu ada juga bagian pendidikan, di mana film ini tidak hanya dimaknai secara perasaan namun juga dalam ilmu pengetahuan. Terakhir, ada pengarsipan agar film-film yang sudah rilis bisa disimpan, diabadikan dengan baik untuk nanti bisa dipelejari kembali. Gimana, luas kan perfilman itu? Hehehehe…

Nah bagaimana kondisi ekosistem ini sebelum pandemi melanda? Well, subur sih. Bisa dilihat dari jumlah penonton dan juga jumlah film yang ditayangkan dan juga diproduksi setiap tahun. Salah satu trend-nya adalah, benchmark satu juta penonton yang kini udah jadi batas minimum sebuah film Indonesia, terutama yang berasal dari PH besar.

Kemudian yang berada di luar bioskop pun juga ramai. Hal ini terlihat dari hasil baca-baca Adrian, di mana ia menuturkan pada Desember 2019 ada 60 festival film di mana 5 diantaranya sudah running lebih dari lima tahun, sepuluh diantaranya lebih dari dua tahun. Kemudian estimasi submission-nya dalam setahun ada 500 film yang terdiri dari film pendek, film panjang yang tidak masuk jaringan bioskop lokal, dan film dokumenter.

Kondisi ekosistem perfilman saat pandemi melanda

Cuman ternyata dibalik catatan positif tersebut, terdapat beberapa kekurangan yang sialnya benar-benar terekspos ketika perfilman Indonesia terdampak pandemi Covid-19. Diawali dari sebuah upaya bagus yang langsung menemui hambatan yaitu perluasan pasar di luar wilayah Jabodetabek.

Adrian mengatakan, dari tahun 2017-2019 sebenernya pertumbuhan bioskop di luar Jabodetabek itu lumayan. Cuman dari data yang diakses, 70 persen penonton film bioskop di Indonesia masih berada di daerah Jabodetabek.

Bahkan sejumlah artikel pun mempertanyakan bisa gak kita memperluas pasar itu. Apes, ketika film Indonesia sedang giat mengusahakan hal tersebut, pandemi datang. Adrian menilai, akan sulit untuk membangun kembali pasar ini karena persebaran pasar yang masih tersentraliasasi.

Kemudian hal berikutnya, dan yang sebetulnya nongol pertama kali di pikiran Adrian ketika pandemi ini tak kunjung berkesudahan adalah ketahanan pekerja, dan ini menyangkut pendataan. Adrian menuturkan, turnover pekerja film di Indonesia itu sangat tinggi.

Berdasarkan data yang ia hitung sendiri, dari 2017 sampai 2020 yang tercatat ada 4 ribuan nama dari pemeran dan kru. Untuk pemeran, 53% dari jumlah tersebut cuman ikut sekali produksi, 43% dua kali atau lebih dari dua. Hanya empat persen lebih dari 10 kali. Untuk kru dibalik kamera, 45% cuma ikutan sekali produksi, 47 bisa lebih dari dua kali, 6 persen lebih dari 10 kali.

Simpelnya, setengah dari tenaga kerja film kita kayak cuman sekali main habis itu udah. Dari data yang ada, Adrian pun berasumsi bahwa 90 persen pekerja film itu tidak hidup di industri film bioskop. Ada yang hidupnya dari company profile, jadi kru acara TV, kru yang bikin konten digital, bahkan dokumentasi manten. Nah ketika pandemi datang, bagaimana mereka bisa bertahan?

Mungkin ini juga laah yang menjadi alasan mengapa orang tua kurang setuju jika anaknya masuk jurusan perfilman saat kuliah.  Alasannya simple, karena film di Indonesia belum bisa menghidupi. Adrian pun mengalami nasib yang sama dan menurutnya, persepsi yang masih menganggap perfilman Indonesia belum serius ketika data pertumbuhan film Indonesia selalu menarik ini mengakibatkan posisi tawar perfilman di publik selalu tidak pernah jelas.

Pendataan merupakan salah satu aspek penting dalam ekosistem perfilman.

Penyebabnya? Karena pendataan yang buruk. Jumlah pekerja yang 4000 tadi itu sendiri aja terbatas datanya karena diambil hanya dari poster, press release, alias angka 4000 itu cuman yang udah ketahuan aja. Ini jelas aneh, karena gila juga kalau industri yang oleh pelaku perfilmannya sendiri digadang-gadang sebagai lokomotif industri kreatif atau industri kunci, kok bisa pendataannya diserahkan ke gerilyawan atau warga biasa?

Dalam pendataan harus ada infrastruktur pendataan yang memadai. Ada komitmen antara memadukan pasar dengan infrastruktur pendataan, yang sayangnya di Indonesia sendiri komitmen itu belum ada.

Sedikit kembali ke bioskop, pendataan ini juga penting untuk mengetahui seberapa banyak bantuan yang perlu diberikan. Karena ngomongin bioskop kan ada bioskop besar seperti XXI, CGV, Cinepolis lalu bioskop kecil seperti Kota Cinema, New Star dan bioskop-bioskop daerah. Menurut Adrian kebijakan bantuan perlu dibuat karena bioskop besar harus dibantu agar supply filmnya terjaga. Sementara itu bioskop kecil juga harus dibantu agar mereka bisa bertahan.

Ini seperti apa yang dilakukan oleh negara-negara lain, yang berfokus mengurangi rasa sakit bersama. Idealnya pengusaha, pegiat, itu bisa sama-sama duduk merumuskan bareng gimana caranya mengurangi rasa sakit itu karena balik lagi, panorama perfilman Indonesia gak cuma di satu, dua lingkaran doang.

Hasil surat terbuka yang ditujukaan kepada Presiden Joko Widodo untuk industri perfilman Indonesia

Lalu bagaimana dengan surat terbuka yang ditujukaan kepada Presiden Joko Widodo dari insan perfilman Indonesia? Bagi Adrian, ia bisa memahami logikanya. Inti dari surat itu adalah program diadakan supaya ada gerakan pasar karena pasarnya sendiri lagi mandeg. Hanya saja, Adrian juga khawatir kalau-kalau program ini cakupannya kecil, dan nantinya berpotensi eksklusif.

Film mana aja sih yang bakal disubsidi? Apakah film-film dengan intellectual property yang kuat seperti ‘Dilan’ atau juga mencakup film-film yang berada di luar pasar mainstream seperti yang akan tayang adalah ‘Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas’? “Aku bukannya memojokkan tapi ketika surat itu keluar itu bisa keliatan mewakili kepentingan yang mana sementara perfilman Indonesia itu luas”, ujarnya.

Jangan sampai kebijakan yang nanti dibuat malah bikin filmmaker jadi saling curiga. Makanya, agar semuanya sesuai porsinya dibutuhkan namanya pendataan yang jelas terlebih dahulu. Dengan adanya pandemi semakin menegaskan kalau pendataan itu penting.

Sebelum masuk ke siapa yang seharusnya bertanggung jawab akan hal ini, ada satu poin penting lagi nih yang mesti kita bahas dari dinamika ekosistem perfilman Indonesia saat pandemi. Ia adalah munculnya platform online sebagai pilihan untuk menikmati tontonan. Adrian berani bertaruh, selama pandemi kita justru lebih banyak terpapar film yang beragam gara-gara online.

Rimba yang dulu hanya dikenal sebagai tempat cari bajakan dan bokep kini juga bisa menjadi tempat menambah khazanah film, tentunya dengan cara yang legal. Contoh paling kentara adalah festival film. Banyak dari festival film tahun lalu yang dengan cepat beradaptasi dan menyelenggarakan acaranya via online. Memang, ambience komunal tidak ada, namun online ini membuka akses bagi siapapun untuk dapat menikmati film-film yang ada di festival tersebut, yang pasti pada belum diputar di bioskop komersil.

Harapan setelah pandemi selesai untuk ekosistem perfilman Indonesia

Adrian berharap, semoga setelah pandemi selesai pihak penyelenggara festival mempertimbangkan untuk menyelenggarakan acara secara hybrid. Karena publik Indonesia itu pada dasarnya kepoan. Pengin tahu.

Nah hal terakhir yang kita kepingin tau juga nih, siapa sih yang sebetulnya bertanggung jawab aatas pendataan, hal krusial yang hingga kini masih terbengkalai di perfilmaan Indonesia? Menurut Adrian, asosiasi perfilman dan pemerintah harus bekerja sama untuk melakukan pendataan beserta memikirikaan perinciannya seperti apa.

“Di UU film kan sebenernya ada tuh pasal yang mewajibkan pengusaha film untuk menyetor data ke kementrian cuman selama ini pasal ini masih sempit cakupannya dan tidak ada pertanggungjawaban yang jelas.  Siapa sih pengawasnya? Itu gak ada”, ungkap Adrian.

Pendataan yang tidak diseriusi pun sangat terlihat ketika Adrian memberi contoh ketika Badan Pusat Statisik (BPS) selama pandemi merilis data industri apa yang terkena pandemi, mulai dari perikanan, perkebunan, hingga transportasi. Perfilman tidak ada datanya sama sekali. Ah emang dasar industri hobi.

Kami selalu percaya bahwa ada hikmah dibalik setiap musibah. Termasuk buat film Indonesia yang bisa dikatakan belum sustainable, atau sustainable hanya untuk sekian pihak. Dengan adanya pandemi, kita bisa melihat ada yang masih belum optimal di perfilman kita dan ternyata itu lah yang diserang ketika pandemi datang dan akibatnya gak main-main buat ekosistem.

Adrian berharap semakin banyak cerita-cerita yang keluar di ruang publik, dan dicatat. Agar kita semakin bisa menghimpun solidaritas demi terciptanya film Indonesia yang tidak hanya subur, tapi juga aman. Karena rasa aman itu tidak hanya bisa diukur dengan uang, melainkan lewat usaha dan perencanaan yang matang.

Exit mobile version