“What we stick together like a family and that would make us brothers.” – Grizz, Pan Pan, Ice Bear.
Pada masa pandemi begini, film yang lebih dominan di pasar adalah film-film kelas festival. Kita pun tahu seperti apa selera film festival kebanyakan. Penulis tidak ingin menyalahkan, justru ini bagus karena momentum bagi kita untuk memperkaya khazanah perfilman. Hanya saja, di sisi lain kita juga butuh penyegaran.
Nah, film “We Bare Bears: The Movie” sepertinya bisa memberikan hal tersebut. Makanya walaupun ini diangkat dari serial kartun anak-anak namun bukan tidak mungkin orang dewasa akan tertarik pula menontonnya. Pertama karena karakter-karakternya terlihat lucu. Kedua, karena penonton dewasa hanya ingin melepas stres dengan sebuah tontonan yang dapat memberi influence positif.
Film dimulai dengan cukup meyakinkan karena memasang lagu yang catchy dan ternyata bagian awal ini merupakan sebuah clue yang akan nyambung di turning point kedua. Jauh memang, apalagi clue ini ditampilkan memanfaatkan bentuk yang cukup tak diduga.
Bagi sebuah film anak, hal tersebut cukup advance karena kegunaan bagian ini bukan semata-mata untuk keperluan prolog doang. But that’s good. Kemudian audiens akan langsung diperkenalkan pada para karakter utama seperti Grizz (Eric Edelstein), Pan Pan (Bobby Moynihan) dan Ice Bear (Demetri Martin).

“We Bare Bears” kemudian langsung menuturkan konflik mulai dari yang terlihat jelas hingga yang sifatnya tidak langsung. Keliatan banget hal-hal yang ingin mereka sampaikan karena toh target audience-nya adalah anak-anak juga. Kita bisa langsung melihat film men-tackle isu arti popularitas, hingga poin mengenai prasangka.
Bagaimana memperlakukan orang yang berbeda dalam sebuah komunitas. Ada satu dialog yang mewakili hal tersebut, yaitu alam beradaptasi terhadap perubahan, bukan mengandalkan hierarki/order. Konflik-konfliknya ini begitu mudah dilihat, dipahami, dan relate dengan masalah yang terjadi dalam masyarakat dunia saat ini. Sayang, ada aja masalah yang turut mengikuti.
Ceritanya flat abis. Membosankan. Bagaimana konflik-konfliknya juga sangat terlinat dibawakan dengan cara yang bikin ngantuk. Film menggunakan cara-cara yang silly untuk menyelesaikan masalah demi masalahnya, dan yah itu memang wajar dilakukan oleh film anak-anak.
Salah satu highlight-nya adalah ketika para beruang sedang berada di pemeriksaan mobil. Di situ posisi sudah bosen banget gara-gara aspek naratif tadi. Tensi sempat meninggi gara-gara ini eh tapi konklusi dari masalah tersebut zonk abis. Jokes yang memanfaatkan media sosial memang mengena, tapi lebih ke arah social commentary. Film kesulitan untuk menimbulkan percikan-percikan keseruan di sepanjang perjalanan.
Tapi untungnya, mereka masih bisa menampilkan konflik sampingan yang oke di mana masalah besar terletak di tingkat kepercayaan antar satu sama lain. Ini jelas klise banget bagi sebuah film persahabatan, namun karena build-up nya sudah dirancang dari awal film, maka kita bisa invest lah waktu konflik antar beruang meledak.

Bagaimana dengan villain-nya? Well, meski “one dimensional” karena tidak memiliki eksposisi yang jelas, karakter ini masih cukup menyebalkan bagi kita. Getolnya untuk bisa dapetin yang ia mau tergolong mantap. Sedikit membahas sinematik, ambience yang diciptakan film ketika karakter Trout masuk sangat mencerminkan kalau ia adalah orang jahat.
Untuk tampilan animasinya, “We Bare Bears: The Movie” tetap setia menggunakan gaya animasi yang sama dengan versi kartunnya. Tidak ada perubahan sama sekali. Meski begitu, kita bisa melihat perubahan tonalitas dalam beberapa adegan yang berfungsi untuk mendukung tuntutan naratif. Khususnya ada di bagian mimpi.
Masih terkait sinematik, musik yang disajikan jelas memiliki purpose untuk menghibur penonton anak-anak. Namun, hanya ada satu yang membekas di kepala, yaitu musik paling pertama diputar. Liriknya enak karena berima, iramanya juga asik. Bagus lah buat opening, tapi setelah itu “meh” semua lagunya.
Kemudian untuk penampilan propertinya, mobil van yang digunakan di dalam film sedikit banyak mengingatkan kita kepada van yang ada di film “Onward” lalu. Tidak lupa, van legendaris dari satu kartun legendaris muncul sebagai cameo!
Karakterisasi dari masing-masing tokoh tetap terasa. Ini cukup membantu kita yang tidak mengikuti “We Bare Bears” dari kartunnya. Grizz sebagai leader selalu mencoba untuk membuat sesuatu atau menyelesaikan masalah.

Sayang justru yang ia lakukan membuat problem jadi semakin parah. Ini pastinya bakal dimanfaatkan oleh aspek naratif untuk mengembangkan cerita, tepatnya di turning point pertama. Selain itu mereka juga memasukkan unsur humor yang silly tadi semasa proses berlangsung. Kemudian Pan Pan, dia ini cukup insecure. Dia cenderung mengeluh dan ragu dalam menentukan sesuatu.
Terakhir adalah Ice Bear yang sangat gimmicky. Ia hanya sedikit berbicara namun bisa diandalkan di saat yang genting. Kombinasi antar ketiganya terjalin dengan baik. Perkembangan karakter juga bisa terlihat dari tokoh yang memang diperlukan. Kita pun bisa merasakan tensi ketika relationship mulai terlihat goyah.
Secara value, film ini menampilkan hal-hal yang bagus. Isunya modern, kemudian mudah sekali untuk dicerna. Tentu filmmaker tahu apa yang harus ia lakukan untuk yang satu ini. Hanya saja, cara penyampaiannya yang silly sudah pasti kurang cocok dengan penonton dewasa.
Keanehan-keanehan yang diperagakan oleh para karakter sudah kita terima saja secara sukarela. Ga perlu nanya macem-macem. Kejutan yang coba diberikan pada tahap konfrontasi pun tidak terlalu wah. Mungkin karena ini asik tapi sudah biasa digunakan di film-film lain.
Meski begitu, insight mengenai mimpi yang tampil dari awal film cukup memancing kita untuk sedikit mencerna makna yang ada. Selain itu, mimpi tersebut juga bisa menambahkan layer pada characters arc ketiga tokoh utama.
Director: Daniel Chong
Casts: Eric Edelstein, Bobby Moynihan, Demetri Martin, Marc Evan Jackson, Keith Ferguson
Duration: 69 Minutes
Score: 7.0/10
The Review
We Bare Bears: The Movie
Grizz, Panda, dan Ice Bear kini memulai petualangan terbarunya ke Kanada