Akhirnya bioskop Jakarta buka lagi! Jaringan CGV menjadi yang pertama dibuka pada tanggal 21 Oktober kemarin. Karena merupakan afiliasi dengan CJ dari Korea, maka sudah barang tentu film ini menjadi suguhan utama. “Peninsula” merupakan lanjutan dari “Train to Busan”, namun memiliki cerita yang tidak berkaitan.
Karakter utamanya adalah Jeong-seok (Gang Dong-won), mantan militer yang ditugaskan untuk kembali ke Korea. Ia diminta untuk mengambil uang jutaan dolar yang tertinggal di sana. Jung-seok berangkat dengan beberapa orang rekan. Salah satunya adalah saudaranya yang bernama Chul-min (Doyun Kim).
Secara konsep, jelas “Peninsula” punya setting yang berbeda jauh dengan “Train to Busan”. Dari mise-en-scene nya aja udah jelas terlihat. “Train to Busan” memiliki latar yang erat kaitannya dengan klaustrofobik. Sesuatu yang membatasi gerak. Ini sudah membuat efek kurang nyaman bagi penonton, dan memang berhasil dimanfaatkan dengan baik.

Nah, “Peninsula” tidak memiliki itu. Korea sudah digambarkan sebagai tempat mati. Neraka. Gak ada kehidupan selain zombie yang berkeliaran. Di sini secara ruang jelas sudah tidak terbatas lagi. Yang jadi pertanyaan, bagaimana sutradara bisa memanfaatkan keleluasaan ini untuk menghadirkan teror yang menegangkan seperti film pertamanya dulu?
Well, jawaban untuk itu mungkin tidak ada. Karena “Peninsula” sangat kurang terasa menegangkan. Ada tetap adegan yang bikin kaget tapi tensi yang dibangun tidak pernah lebih baik. Dengan area yang luas, film justru mengeksplor hal lain yang diharapkan bisa menghibur yaitu action. Ya, “Peninsula” ingin lebih berat ke seru daripada menyeramkan atau menegangkan. Akan ada banyak adegan tembak-tembakan, kemudian juga adegan yang melibatkan mobil. Ini jelas tidak seperti “Train to Busan”, yang boro-boro punya senjata untuk membasmi zombie.
But yeah, di situ lah letak keseruannya bukan? “Peninsula” sudah mendapatkan segala fasilitas untuk menjadi apa yang mereka mau. Tinggal bisa tidak semua itu dimanfaatkan dengan baik.

Sayangnya tidak. Dari segi action, “Peninsula” memiliki beberapa cela. Yang paling berasa adalah ketika scene yang melibatkan mobil. Terlihat sekali visual yang masih belum meyakinkan. Latar bahwa semuanya dilakukan pada malam hari sebetulnya bisa saja meminimalisir resiko tentang ketidak realistisan film.
Ternyata, hasilnya sama saja. Tumpukan zombie nya sangat tidak real, kemudian scene di mana kamera menyorot mobil yang sedang dipacu menghindari zombie-zombie itu terlihat seperti permainan video game. Lalu untuk tembak-tembakannya. Di sini ada peluang karena yang melakukan pasti aktor, bukan animasi atau segala macamnya. Sisi real bisa lebih ditonjolkan.
Tapi sayang, film juga tidak terlalu memompa adrenalin ketika terjadinya hujan peluru. Kurang menegangkan karena lawannya zombie yang tidak punya senjata. Kemudian ketika ada saatnya melihat pertarungan sepadan, muncul hal-hal klise yang bikin gemes.
Sebaiknya film juga lebih menyadari bahwa latar waktu yang tersaji adalah, mostly, malam hari. Maka dari itu sebetulnya sah-sah saja kalau film turut menggunakan sejumlah treatment yang lazim ada pada film horor atau thriller. Hal-hal itu lalu dipadupadankan dengan action. Biasanya kalau film zombie macam ini ada saatnya di mana zombie muncul dari blind spot, atau area off screen. Itu bisa menambah tingkat excitement dibanding terlalu bergantung pada animasi. Kesannya ingin menimbulkan sesuatu yang grande, padahal hasilnya sih kurang lebih menjadi bencana bagi filmnya. Animasinya benar-benar berasa.

Sungguh, ketika kita berada di situasi car chase atau sebagainya, yang ada justru rasa kantuk bagi penonton. Meski ada manuver dari mobilnya, namun karena medannya terlalu gelap dan animated heavy, hasilnya kurang enjoyable. Sayang banget.
Meski begitu, aspek dramanya masih bagus. “Peninsula” memiliki kerangka penceritaan yang oke sebetulnya. Apalagi buat karakter Jung-seok. Ia akan memiliki arc tertentu mulai dari awal film.
Pada pertengahan tahap konfrontasi, sesuai dugaan, arc ini jadi semakin menarik. Semuanya kemudian akan mencapai puncak di akhir. Film terlihat tidak ingin menggunakan hal formulaic dalam menutup kisah. Meski begitu, ini juga dapat memicu anggapan bahwa mereka ingin mengulur waktu dan akhirnya dianggap menjadi sesuatu yang bertele-tele dan gak masuk akal.
Unsur keluarga sangat kuat di sini. Kita bisa melihatnya dari awal dan poin itu didatangkan lewat point of view beberapa karakter. Tidak hanya Jung-seok saja yang memiliki rasa erat dan juga bersalah terhadap keluarga. Untuk menonjolkan aspek dramatis yang didasarkan atas hubungan darah di situasi yang berbahaya ini, maka akan ada saat di mana film memainkan teknik slow-mo guna mempertebal unsur dramatisnya.

“Train to Busan: Peninsula” adalah follow-up yang cukup mengecewakan dari “Train to Busan”. Efek menegangkannya kurang berasa, action yang ingin ditonjolkan juga tidak berhasil standout. Yang paling berkesan justru dramanya, yang berfokus pada perjuangan keluarga dan penebusan atas dosa masa lalu. Hanya punya peluang untuk bisa keluar di malam hari sebetulnya sudah menjadi awal yang kurang menjanjikan bagi teror zombie. Apalagi dengan beberapa keuntungan tambahan kalau misi dijalankan di malam hari.
Film seperti mencari celah agar bisa menyajikan sesuatu yang wow, yang sebetulnya ada di saat yang kurang tepat. Hasilnya ya jadi kurang optimal semua. Sayangnya yang kurang optimal ini adalah sesuatu yang paling utama, yang paling dicari-dicari, yang paling ditunggu-tunggu ketika kita masuk ke neraka Korea.
Director: Yeon Sang-ho
Casts: Gang Dong-won, Lee Jung-hyun, Lee Re, Kwon Hae-hyo, Kim Min-jae, Koo Kyo-hwan, Kim Do-yoon, Lee Ye-won
Duration: 116 Minutes
Score: 6.4/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
'Train to Busan Presents: Peninsula' yang merupakan sekuel dari Train to Busan ini memang jauh dari kata memuaskan, mengingat film pertamanya sangat terkenal di seluruh dunia karena penggarapannya yang sangat rapi dan zombie-nya yang begitu menakutkan.