Film box office terbaru dari Tiongkok berjudul “The Wandering Earth” ini bercerita tentang perjuangan umat manusia untuk memindahkan Bumi dengan menggerakkannya keluar dari tata surya, menuju sistem bintang Alpha Centauri.
Ini merupakan film raksasa dari Tiongkok yang sangat ambisius namun menarik. Bagaimana tidak, negara yang hingga sekarang dikenal suka memproduksi film-film laga ini memang ahlinya dalam sejumlah jurus beladiri kung-fu, shaolin, yang dibintangi bintang ternama mereka. Gak jauh-jauh dari situ.
Nah, lewat film ini, industri perfilman Tiongkok seperti mengeluarkan statement bahwa Tiongkok bisa lebih dari film-film laga saja. Tiongkok juga bisa memproduksi film dari genre lain, yang mana sama sekali tidak mencantumkan adegan laga, namun tetap bisa mengundang decak kagum mereka yang menontonnya. Maka dari itu, dibuat lah film “The Wandering Earth”. Film dengan genre sci-fi disaster yang bercerita tentang perjuangan umat manusia agar bisa terus bertahan hidup di Bumi yang sudah rusak.
Sebelum rilis di Netflix, sebetulnya “The Wandering Earth” sudah lebih dulu rilis di Tiongkok. Hasilnya? Luar biasa! Film dengan budget US$ 50 juta ini sanggup meraup pendapatan sebesar US$ 299.2 juta di minggu pertama perilisannya. Belum selesai, “The Wandering Earth” juga hanya butuh 9 hari 15 jam 2 menit untuk melewati pencapaian box office 3 miliar Yuan. Ini bisa menjadi langkah yang sangat bagus, tidak hanya untuk industri perfilman Tiongkok namun juga penonton di seluruh dunia. Mungkin ke depan, Hollywood akan memiliki saingan dalam memproduksi film blockbuster yang high-concept dengan bujet raksasa. Buat kita yang nonton, ini bisa menjadi pilihan yang tidak kalah memuaskan.
Film langsung dibuka dengan percakapan ayah-anak. Seorang astronot Tiongkok yaitu Liu Peiqiang (Wu Jing) sedang menggendong anak laki-lakinya yaitu Liu Qi. Mereka, sambil melihat ke langit, mengobrol tentang Planet Jupiter. Planet terbesar dalam tata surya kita, yang akan menjadi bagian penting dari cerita. Plot kemudian berganti ke montage sequence yang berisikan footage-footage hancurnya kehidupan di Bumi. Kerusakan alam yang sifatnya masif meliputi naiknya level permukaan laut, kebakaran hutan, kekeringan, sampai punahnya spesies-spesies.
Matahari diceritakan hanya menjadi sebuah bintang yang tidak memiliki dampak signifikan. Dalam narasi film, solar system diperkirakan musnah dalam 300 tahun. Melihat fenomena itu, pemerintah dari seluruh negara kemudian membentuk proyek yang dinamakan “The Wandering Earth”. Mudahnya, proyek ini bertujuan untuk memindahkan Bumi. Planet kita tercinta ini digerakkan keluar dari tata surya, menuju sistem bintang Alpha Centauri.
Proyek ini lalu membangun mesin-mesin yang berfungsi untuk menggerakkan Bumi dan menjaganya tetap berotasi. Ancaman datang ketika setelah belasan tahun, Bumi mengalami bencana yang amat dahsyat. Perjalanannya yang dekat dengan Jupiter pun mengancam eksistensi manusia karena Bumi bisa tertarik oleh atmosfer Jupiter. Hal ini pun berakibat fatal karena banyak mesin penggerak yang mati akibat pengaruh Jupiter. Dalam situasi super sulit nan berbahaya tersebut, kakak-beradik Liu Qi (Qu Chuxiao) dan Duoduo (Zhao Jinmai) bersama kakek mereka juga yaitu Han Ziang (Ng Man-tat), berusaha untuk menghidupkan kembali mesin-mesin yang mati. Perjalanan esktrim pun dimulai dari Shanghai sampai ke Sulawesi.
Sejak scene pertama, “The Wandering Earth” langsung memancing penontonnya untuk berinvestasi kepada karakter-karakter penting. Bagaimana tidak, apa yang kita lihat adalah sebuah keluarga. Tentunya kita bisa memprediksi bakal gimana unsur dramatis film ini akan dibawa. Tapi selain itu, di akhir bagian montage sequence ternyata ada shot yang tidak hanya memperlihatkan seperti apa cerita bergerak ketika Bumi sudah kacau. Ada juga shot yang menampilkan Han Ziang yang menggendong cucunya untuk turun ke tempat yang aman.
Tempat ini berada di bawah permukaan Bumi, yang sengaja dibangun sebagai tempat tinggal hingga Bumi berhasil menemukan “rumah baru”. Di sini kita bisa memahami betapa beratnya konflik batin yang dirasakan Liu Qi ketika tumbuh dewasa. Ia sudah terpisah dari ayahnya sejak kecil, dan ayahnya tidak kunjung kembali. Liu Peiqiang ditugaskan untuk membangun pesawat luar angkasa. Pesawat ini akan menjadi navigator dan pemberi informasi kepada Bumi. Waktu untik membangun pesawat? Well, butuh 30 tahun lamanya. Tidak heran kalau Liu Qi dongkol setengah mati sama ayahnya sendiri.
Film film bergerak ke saat Liu Qi yang sudah besar. Singkat cerita, Liu Qi dan Duoduo menyusup untuk menghabiskan waktu di permukaan memanfaatkan akses kendaraan yang dimiliki oleh Han Ziang. Di masa-masa tersebut, kita bisa melihat capaian sinematik yang hebat. Ada empat pemandangan “worthy” yang tersaji di depan kamera secara bergiliran. Dibuat sesuai dengan tuntutan naratif, penonton bisa melihat penuansaan ala cyberpunk, kemudian military hi-tech, dilanjutkan dengan apocalyptic dan diakhiri oleh pemandangan khas luar angkasa. Meski masih permulaan, pemandangan seperti itu sudah menunjukkan pada kita akan seperti apa spectacle yang akan diberi oleh “The Wandering Earth”. Memang animasinya terlihat sedikit kasar di bagian tertentu. Tapi melihat medan yang mereka buat, itu tidak mengganggu kenikmatan menonton.
Belum lagi jika berbicara mengenai propertinya. Di film ini akan ada mobil berukuran besar bernama ‘Transporter’. Jika dilihat-lihat, mobil ini bentuknya tidak asing, yang bikin keren adalah cara menyetirnya yang tidak menggunakan setir pada umumnya. Kemudian pakaian. Melihat dari tuntutan naratif, pakaian yang dikenakan memiliki spesifikasi tersendiri. Selain tentunya didukung oleh teknologi canggih, pakaian ini memudahkan kita dalam mencerna peran karakter-karakter yang ada. Terdapat tiga warna yaitu merah, hitam, dan putih. Tidak sulit untuk mencerna apa perbedaan jobdesk karakter berdasarkan masing-masing warna. Tidak lupa, ada juga kostum astronot konvensional yang dikenakan. Meski memiliki ruang tempat yang berbeda, kita juga harus jeli dalam adegan yang memanfaatkan kostum astronot ini. Meski kelihatannya sudah biasa banget, tapi kostum ini secara tidak langsung berjasa dalam menggerakkan cerita.
Satu hal yang biasanya jadi bahan omongan ketika menyaksikan film-film sci-fi disaster seperti ini adalah konsep ceritanya. Jika kembali melihat, cerita seperti ini sangat gila. Bumi keluar dari tata surya dan mencari kehidupan baru? Ah, bisa aja becandanya! Khayalan tingkat tinggi, yang bahkan sulit untuk dipercaya meskipun film ini mengadaptasi kisah novel dari pengarang yang sudah mendapatkan banyak penghargaan. Jika memang tidak tahu pastinya, mungkin akan lebih enak jika kita menempatkan hal-hal berbau scientific seperti itu sebagai bungkus permen, di mana permennya, yang merupakan inti yang ingin kita makan, bukanlah soal itu.
Seiring berjalannya film, konflik semakin membesar dan apa yang diinginkan tercapai. Film seperti ini memang mudah ditebak, namun tebakan kita justru menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu karena berkaitan dengan eksposisi karakter utama. Balik lagi, semua menyangkut aspek manusia, yang memiliki keunikan di dalamnya. Keanehan terbesar justru ada di bagian yang menyangkut politik. Film menempatkan pemerintah sebagai pihak yang lemah. Apa yang mereka lakukan sempat tak terduga. Ini memunculkan tendensi negatif sekaligus kejanggalan terhadap proyek mereka.
Tapi, ada yang menarik juga nih untuk dibahas dari isu yang dibawa oleh “The Wandering Earth”. Seperti yang kita tahu, saat ini Cina adalah negara yang kuat dalam hal ekonomi. Pembangunannya masif, modern, dan prestasi-prestasi ini membuat banyak orang kagum. Tapi di balik kesuksesan tersebut, ada kelemahannya. Tiongkok menjadi negara dengan tingkat polusi yang tinggi. Isu lingkungan bukan hal yang baru bagi negeri tirai bambu karena performa mereka di situ memang buruk. Film coba menyentil permasalahan tersebut dengan cara yang pas.
Dari ceritanya, kini kita akan diperlihatkan satu sudut pandang yang baru karena Cina tidak lagi ditampilkan secara “off-screen”. Salah satu dialog yang diucapkan oleh Kakek Han Ziang secara brilian menggambarkan poin ini. Dalam tahap konfrontasi, Han Ziang bercerita tentang hidupnya saat Bumi masih “benar”. Didukung oleh gambaran kota-kota yang hancur, cerita dari Han Ziang jadi sangat mengena. Menyambung dengan prolog, dulu orang-orang tidak ada yang peduli dengan matahari. Mereka hanya peduli dengan uang. Akting dari aktor veteran Ng Man-tat di sini sangat bagus sehingga mengundang simpati.
Tahap konfrontasi dan resolusi film terhitung seru dan efektif. Seru karena kita akan diperlihatkan bagaimana chaos-nya medan yang harus ditempuh. Banyak shots yang menampilkan betapa menyedihkannya kehidupan permukaan. Kemudian aksi-aksi mendebarkan dan berpacu dengan waktu juga akan dilakukan. Cara tim visual effect dalam menampilkan “Global Aftershocks” dan pergeseran lempeng, kemudian bagaimana sutradara mengarahkan pengadeganan di dalam gedung sukses menaikkan tensi. Tahap resolusi juga patut diacungi jempol.
Dengan turning point kedua yang jelas, cerita kembali memacu adrenalin lewat teknik “Omniscient Narration”. Tenang, kita tidak akan dibuat bingung, karena ada scene yang menampilkan sesuatu yang dibutuhkan sebelum para survivor tersisa berjuang habis-habisan. Untuk penampilan sinematiknya, berbeda dengan tahap konfrontasi yang lebih terang, tahap resolusi lebih gelap. Pengadeganan juga lebih banyak terjadi di dalam gedung. Oh, tidak ketinggalan, ada adegan slow-motion juga lho yang turut dimasukkan di saat-saat tertentu untuk menambah kesan dramatik.
Masih membahas tahap yang sama, selain teknik-teknik yang membuat kita “engap”, film juga membuat kantung mata kita kembang-kempis. Unsur humanis pasti juga tidak akan luput dalam film semacam ini, jadi kamu harus bersiap-siap. Ada dua cara “The Wandering Earth” dalam mengaduk-aduk emosi penontonnya. Pertama adalah menyangkut pengorbanan yang lebih berat ke nilai yang tulus. Ini berhasil mengangkat positioning para karakter pendukung agar mereka tidak kalah membekas dan jelas-jelas bukan tempelan belaka. Karena tidak didukung oleh eksposisi, maka cara yang digunakan adalah sama, yaitu lewat dialog yang diucapkan. Kedua adalah yang paling bikin “mewek”, yaitu yang membawa-bawa unsur keluarga. Ini sudah mulai dimainkan di tahap konfrontasi dan akan semakin menjadi di tahap resolusi. Dengan eksposisi yang sudah dibentuk sedemikian rupa, pengorbanan ini bakal berasa pedihnya.
Sebuah sci-fi disaster yang efektif dalam memainkan emosi dan bisa menjaga atensi, walaupun ceritanya tergolong mudah diprediksi. “The Wandering Earth” memang pantas mendapatkan hasil box office yang begitu besar jika eksekusinya seperti ini. Walau terdapat masalah klasik seperti pertanyaan dari segi kesesuaian cerita dengan sains kemudian ada sedikit CG yang masih kurang sreg, namun kita harus tetap angkat topi. Film berani untuk tidak hanya keluar dari zona nyaman tapi juga kelihatan usahanya dalam memberikan yang terbaik. Film menjawab tantangan besar dan hasil akhirnya pun cukup mencengangkan. Menontonnya sampai membuat kita terpikir, “Duh sayang banget film kayak begini gak tayang di sinema”. Bukan apa-apa, karena di situ lah Alpha Centauri-nya berada.
Director: Frant Gwo
Starring: Wu Jing, Ng Man-tat, Qu Chuxiao, Zhao Jinmai, Mike Sui, Guangjie Li, Jingjing Qu, Jiayin Lei, Haoyu Yang
Duration: 125 Minutes
Score: 8.0/10