“A sword is merely to stab and to slice.” – Tae-yul.
Saat liburan panjang ini, bioskop mengeluarkan film terbarunya yang berjudul “The Swordsman”. Ini merupakan film action-sejarah dari Korea, yang turut dibintangi oleh salah satu aktor laga kenamaan Indonesia, yaitu Joe Taslim.
Filmnya bercerita tentang pengawal raja Joseon, Tae-yul (Jang Hyuk) yang mengasingkan diri ke pedalaman gunung karena terjadi pemberontakan pada dinasti. Ia hidup dengan tenang bersama seorang anak bernama Tae-ok (Kim Hyeon-soo). Tae-yul digambarkan memiliki kelemahan fisik. Kalau sudah capek, matanya bakalan rabun terus blackout.
Kepikiran sama kondisi ayahnya, Tae-ok memutuskan untuk turun gunung guna mencari obat yang dibutuhkan ayahnya tersebut. Ternyata, Joseon pada masa itu sedang takluk dalam kuasa Dinasti Qing. Rakyat pun hidup tidak tenang akibat penindasan yang dilakukan oleh utusan Dinasti Qing, Kurutai (Joe Taslim) dan kroco-kroconya.

Perkembangan cerita film ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang “kembali pulang”. Tae-yul yang sudah minggat dari kehidupan hiruk-pikuk kota nantinya akan dihadapi oleh situasi yang kalau dilihat-lihat males dia hadapin lagi. Tidak dijelaskan secara kata-kata, toh juga karakter ini dibikin pendiam.
Namun dari eksposisinya sebagai mantan pengawal raja Joseon, kita bisa merasakan hal itu. Nah tinggal gimana nih caranya membuat proses agar jalinan antara memori masa lalu dengan kondisi masa sekarang itu bisa nyambung dengan enak.
Film memanfaatkan kejadian pada masa lalu dan juga relationship ayah-anak untuk memuluskan proses ini. Untuk poin pertama rasanya tidak lazim, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut selain apa yang Tae-yul dapatkan pada “duel itu”. Kemudian untuk poin kedua, ini justru yang semakin menguatkan tahap persiapan ke tahap konflik. Tae-ok tentu tidak ingin melihat ayahnya menderita.

Tool relationship ayah-anak ini yang bikin ceritanya Tae-yul sekarang dengan Joseon yang sekarang jadi nyambung. Meski kita cuma tahu kalo penyakit ini obatnya gak sembarangan, namun itu membawa film ke stake yang lebih tinggi.
Meski begitu, build-up ini di sisi lain terasa lama. Alasannya adalah karena film memberi ruang agar karakter-karakter lain bisa bernapas. “The Swordsman” menggunakan batasan informasi terbuka, sehingga kita bisa melihat dari sudut pandang banyak karakter. Itu lah yang membuatnya gak kunjung berantem.
Masalah yang dimiliki Tae-yul, kemudian hubungannya dengan Dinasti Joseon saat ini, lalu masalah yang dimiliki dinasti itu sendiri, plus memperkenalkan karakter antagonis bikin kita sampai di boiling point tertentu. Ibarat kata kayak, “Ni kapan sih berantemnya?”, atau “Kok gak berantem-berantem?”.
Jelas ini merupakan resiko yang diambil secara sadar oleh film karena tujuan utama orang nonton film semacam ini tentu adalah adegan action, adu pedang, dan sebagainya.

Cuman seenggaknya, meski membuat proses jadi tambah panjang, kita bisa melihat kebolehan Joe Taslim dalam memerankan karakter Kurutai. Bagaimana tuntutan naratif bagi karakter ini dan apakah Joe bisa melaksanakan tuntutan tersebut dengan baik.
Kalau dilihat-lihat, Kurutai ini memang suka menindas tapi caranya gak sadis. Dia bukan tipe antagonis yang suka menyebarkan kesadisannya di depan umum, biar orang-orang takut sama dia. Dia lebih tenang, namun tetap intimidatif. Action scene yang melibatkan Kurutai hanya ada di tahap resolusi. Selebihnya main ke watak. Mengingat ini adalah debut Joe Taslim dalam sinema Korea, maka perlu bagi dia untuk memberikan range dalam film yang dia banget.
Siapa tahu dari aktingnya ini karir Joe di film-film Korea ke depannya semakin berkembang. Tantangan tentu muncul dari segi bahasa, meski begitu Joe terlihat cukup meyakinkan dalam berdialog menggunakan bahasa Korea. Seenggaknya tidak terlihat fake lah buat penonton awam.
Udah gak sabar menyaksikan action “The Swordsman”? Memang penantiannya lama, namun sesungguhnya adegan aksi di film ini asik, apalagi dengan restriction bahwa film berkategori 17 tahun ke atas. Jadi bisa dilihat bahwa apa yang menjadi sajian utama di action nya bukan lah kebrutalan, melainkan seni dalam mengolah aksinya.

Film menampilkan adegan aksi dengan tempo yang enak. Cepat, lugas, namun juga terasa memiliki irama. Dimulai dari sound-nya, suara pedang yang beradu sudah enak untuk didengarkan di bioskop. Kemudian sinematografinya juga smooth. Tentu mereka tidak menggunakan fast cut yang bikin puyeng.
Adegan diambil dari sudut yang berbeda, menyesuaikan dengan pergerakan pemain karena nanti akan ada saatnya aktornya itu lompat lah, melakukan slides lah, dan lain-lain. Tidak lupa, film juga menyajikan satu sequence pertarungan yang bisa jadi highlight. Sineas memadukan action samurai dengan slow motion.
Memang di sini akan muncul kesan yang biasa ada di film action yaitu jagoannya untouchable, namun cara pengemasan macam ini jadi hiburan tersendiri, apalagi di sepanjang film kita melihat pertarungan yang dominan fast pace.
Kemudian untuk menguatkan kesan penyakit yang diderita oleh Tae-yul, maka sineas juga menerapkan satu penggambaran khusus. Penggambaran ini idambil dari point of view-nya Tae-yul, kemudian di sana juga ada permainan warna dan fokus sehingga apa yang dirasakan Tae-yul secara langsung bisa dirasakan juga sama penonton.
Ketika hal ini diaplikasikan dalam pertarungan, justru berhasil membuat intensitas makin naik karena si jagoan utama sudah mulai lemah. Kemudian untuk aspek naratif, treatment ini berfungsi untuk mengawali konflik di mana Tae-ok makin gelisah sama kondisi ayahnya.

Berbicara tentang visual treatment, “The Swordsman” memiliki beberapa adegan flashback. Tone yang digunakan juga adalah warna kuning sehingga menimbulkan kesan tidak biasa dan somehow sesuai juga dengan nuansa yang identik dengan dunia kerjaan.
Dari segi editing, adanya flashback ini bisa dikatakn sebagai editing diskontinu. Teknik ini, meski masih nyambung dengan apa yang sedang diartikan atau dipikirkan oleh karakter tertentu, namun biasanya terjadi pada ruang yang berbeda dan dengan lompatan waktu tertentu.
Kisah kasih ayah kepada anaknya menjadi landasan utama, yang mana tentu akan membuat penonton invest sama filmnya. Walaupun perluasan cerita perihal politik, kependudukan, dan penindasan membuat penonton harus sabar menunggu, namun sekalinya adegan aksi dilancarkan maka hasilnya cukup sepadan dengan waktu yang sudah dikeluarkan. Tebasannya cepat, lugas, dengan cara penyajian yang juga enak ditonton.
Terdapat satu scene yang agak janggal mengenai hubungan antara Kurutai dengan Tae-yul, pun juga dengan klimaks pertarungan mereka yang kurang gereget. Namun masing-masing karakter ini punya tujuan yang semakin lama semakin berhubungan. Build-up antara dua orang ini meski belum bertemu bisa kita rasakan.
Hal ini bikin kita makin excited saat keduanya dipertemukan secara langsung dan kemudian bertarung. Terdapat sedikit sentuhan dalam aspek naratif, yang sebetulnya udah muncul secara samar di tahap konfrontasi. Tapi, sentuhan kecil ini justru memunculkan nilai plus lainnya.
Director: Choi Jae-hoon
Starring: Jang Hyuk, Joe Taslim, Jeong Man-sik, Kim Hyeon-soo, Lee Min-hyuk
Duration: 100 Minutes
Score: 7.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
The Swordsman
'The Swordsman' bercerita tentang pendekar pedang terhebat Joseon dan penjaga kerajaan Tae-yul (Jang Hyuk) terpaksa bersembunyi.Sementara itu, Joseon terjebak di antara konflik dinasti Qing dan Ming, dan berada di bawah belas kasihan utusan Qing dan pedagang budak Kurutai (Joe Taslim) yang amat menindas.Apakah Tae-yul akan keluar dari persembunyiannya selama ini dan menghadapi musuh-musuhnya?