Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • All
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
    Star Wars Novel

    Sambut 50 Tahun LucasFilm, Novel Star Wars Dirilis Ulang

    Biion Footwear

    Biion Footwear dan DC Comics Rilis Sepatu Bertema Batman & Superman

    Godzilla's World

    Sambut Film ‘Godzilla vs. Kong’, Uniqlo Rilis T-Shirt Limited Godzilla’s World

    sonic the hedgehog

    Masuki 30 Tahun, Sonic the Hedgehog Rilis Action Figure Versi Terbatas

    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • All
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
    Star Wars Novel

    Sambut 50 Tahun LucasFilm, Novel Star Wars Dirilis Ulang

    Biion Footwear

    Biion Footwear dan DC Comics Rilis Sepatu Bertema Batman & Superman

    Godzilla's World

    Sambut Film ‘Godzilla vs. Kong’, Uniqlo Rilis T-Shirt Limited Godzilla’s World

    sonic the hedgehog

    Masuki 30 Tahun, Sonic the Hedgehog Rilis Action Figure Versi Terbatas

    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

Review Film: ‘The Science of Fictions’

Perjalanan Menyedihkan Siman Mengungkap Kebenaran

Adam Pratama by Adam Pratama
January 11, 2021
in Featured, Movies, Reviews
The Science Of Fictions

© International Film Festival Rotterdam

Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Baca Juga:

Review Film: ‘Roohi’

Review Film: ‘Bombay Rose’

Film Indonesia yang satu ini agak berbeda dari para kompetitornya yang sudah pernah tayang di bioskop Indonesia. Bagaimana tidak, “The Science of Fictions” malah kebalikannya, melanglang buana ke berbagai festival film internasional terlebih dahulu sebelum masuk ke bioskop Indonesia. Salah satu yang menjadi highlights-nya adalah mendapatkan “special mention” di Locarno Film Festival.

Sutradara Yosep Anggi Noen memberikan kisah seorang wong cilik yang mendapatkan sebuah kenyataan pahit. Hal ini mengakibatkan cacat pada dirinya, dan juga membuat semua tak lagi nampak sama. Semua berawal ketika Siman (Gunawan Maryanto), secara diam-diam melihat syuting pendaratan di bulan yang fake di sebuah area gurun pasir. Film lalu mengikuti perjalanan Siman setelahnya, mulai dari era 60-an hingga masa kini.

Secara teknis, penonton bisa melihat sekali bagaimana permainan Anggi Noen dalam mengatur waktu lewat beberapa creative decision yang ia buat. Memang, seorang filmmaker itu punya kontrol terhadap durasi waktu, yang mana di sini durasi waktunya bisa mencapai bertahun-tahun.

The Science Of Fictions
© International Film Festival Rotterdam

Guna mendukung tuntutan naratif tersebut, Anggi memanfaatkan warna dan aspek rasio. Ada yang hitam-putih dan ada yang berwarna. Ada yang aspek rasionya full screen 1.33:1 dan ada yang aspek widescreen 1.85:1, yang mana format ini adalah format yang biasa digunakan dalam film bioskop.

Selain berdasarkan waktunya, terdapat pengambilan gambar sedikit-sedikit yang bukan berasal dari kamera syuting. Yang tidak terlihat berubah justru make-up dari karakter utama karena logikanya dia sudah menjalani hidup puluhan tahun.

Entah apakah ini disengaja karena mewakili suatu makna mengingat apa yang dibahas itu merupakan sesuatu yang kontroversial, atau tidak. Tapi yang jelas, dasarnya sih harusnya kalau waktu berubah hingga beberapa tahun setidaknya mesti ada yang membedakan kedua versinya.

Bagaimana dengan tahap konfrontasinya? Seperti biasa. Dibawakan secara kontemplatif, atau dalam kata lain bisa bikin ngantuk. Tergantung gimana kita ngerasainnya aja. Akting Gunawan Maryanto yang tidak hanya tanpa dialog namun juga memeragakan gerak-gerik yang lambat di hampir sepanjang film tentu menjadi tantangan tersendiri bagi penonton.

Cuman berkat build-up yang jelas, setidaknya penonton bisa tahu alasan semua ini terjadi, baik dilihat dari segi teks maupun konteks. Yang menjadi perhatian di sini adalah, bagaimana film berjalan setelah melewati masa hitam-putih itu. Apa yang akan Siman lakukan.

The Science Of Fictions
© International Film Festival Rotterdam

Dari apa yang dilihat, hopeless. Dalam artian, Siman tidak dapat berbuat banyak untuk memberikan kebenaran. Malah dia menjadj “badut” untuk menghibur orang. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa tidak mudah memang untuk dapat mengungkap kebenaran, apalagi bagi orang yang tidak memiliki power.

Meski begitu, ada beberapa scene menarik yang menunjukkan kalau Siman itu “bisa loh begini”. Hal ini jika melihat dari adegannya, bukan membuat sesuatu yang tidak konsisten pada karakter Siman. Justru hal ini memperkuat humanis nya karena dalam situasi tertentu, bisa aja kita berbuat lebih. Apa yang menjadi indikatornya bisa Chillers tonton sendiri.

Lalu, film juga memberikan hal unik karena ada aktor yang baik di masa lalu, maupun di masa kini itu muncul lagi. Kesamaan ini menarik untuk dilihat dalam sepi karena bisa jadi penggunaan aktor-aktor itu menandakan sesuatu yang berhubungan dengan kesamaan. Di sini kita akan diajak untuk melihat orang-orang lain, yang kalau dari luar sih nampak biasa-biasa aja terlepas dari notion “muncul lagi” itu.

Cuman balik lagi, ini paling gampangnya kalau dilihat dari peristiwa dan latar waktu yang Siman alami dulu. Dugaan ini semakin diperkuat dengan ending film yang menggunakan metafora lalat. Jadi nanti shot akan memperlihatkan muka dari karakter-karakter itu yang perlahan menghadap ke kamera dengan dengungan lalat terbang menyertainya.

The Science Of Fictions
© International Film Festival Rotterdam

Film dengan muatan konteks sejarah yang kuat seperti ini tentu tidak mungkin kalau tidak menyertakan karakter penguasa. Apalagi ceritanya sendiri kan soal Siman yang kepergok nonton pendaratan di bulan, yang mana berkaitan langsung dengan penguasa. Cuman yang menarik di sini adalah bagaimana film menampilkan karakter tersebut.

Jelas sekali penonton bisa mengambil sesuatu dari potret leader yang ada di sini. Dia yang awalnya menolak untuk membuat sebuah kebohongan besar. Pemimpin adalah orang yang paling bertanggung jawab dalam sesuatu yang terjadi, mau itu baik ataupun buruk. Terutama jika berkaitan dengan propaganda, dan agenda-agenda yang kita, sebagai rakyat jelata, tidak tahu apa-apa. Menarik sih jadinya untuk menerka-nerka, kira-kira siapa sih orang yang dipotret oleh karakter yang satu ini.

Meski begitu, pembangunan konflik setelah masuk ke masa kini merupakan tantangan. Soalnya kalau melihat dari sudut pandangnya Siman sendiri kita bisa lah mengikutinya. Hanya saja apa yang Siman lakukan ke depan, yang mana merefleksikan bagaimana film bergerak dari awalnya memberikan A ke B itu masih kurang gereget.

Mungkin karena penggunaan materi-materi yang tersirat. Apalagi dengan penceritaan yang tipikal arthouse seperti ini. Jadi mikir, “ini apa nih yang habis mau mereka mau angkat sekarang?”. Action berikutnya dari poin kebenaran yang dibungkam ini bagaimana? Itu yang sulit dicari.

The Science Of Fictions
© International Film Festival Rotterdam

Yang paling jelas terlihat sih lebih ke bagaimana kehidupan Siman, si astronot kita, yang berada di dunia yang kini lebih ekspresif dan terkesan lebih bebas. Secara puitis, film mengesampingkan cara lain dalam berkata karena tidak semudah itu juga untuk berkata-kata. Dalam kasus ini, pengertiannya adalah kebenaran. Sudah cukup sampai di sana.

Akting Gunawan Maryanto bagus. Layak lah ia mendapatkan Piala Citra tahun ini. Gerak-geriknya yang lamban itu bisa menghasilkan dua hal buat penonton. Hal pertama adalah intimacy yang masin bisa terasa ketika Siman melakukan sesuatu. Mengapa ada kata “masih bisa”? Karena di sisi lain, karakter ini memang tidak menonjolkan segi mental akibat terpaksa menghilangkan tools-nya.

Hal kedua adalah rasa kagum karena gak mudah bagi seorang aktor untuk bisa konsisten dalam melakukan slow motion, termasuk untuk adegan-adegan yang membutuhkan gerak fisik yang lebih berat. Entah kenapa jadi sedikit teringat sama aktingnya Leonardo DiCaprio dalam film “The Revenant” (2015) karena kesannya fisik banget.

The Science Of Fictions
© International Film Festival Rotterdam

Satu hal kecil yang bersinar terang adalah lagunya. Ini berhasil mengangkat mood kita dan kalau didengar, lagu “Orang Miskin Dilarang Mabuk” dari Libertaria feat. Sirin Farid Stevy ini emang asik banget sih. Kekinian, cocok buat senam pagi sehingga membuat kita segar, dan somehow irama musiknya itu juga serasi dengan latar waktu 60-an. Lirik? Jangan tanya lah. Keren pisan!

Lewat gerak-gerik Siman kita diajak untuk mempertanyakan sebuah kebenaran. Menggunakan narasi dari dua persitiwa penuh kontroversi, “The Science of Fiction” lebih mengarah kepada bagaimana film menyampaikan sesuatu yang realistis dengan cara yang puitis.

Tidak mudah dicerna menjadi satu kelemahannya, apalagi kita bisa tertidur di pertengahan masa. Meski begitu, film punya tahap eksposisi yang kuat, tetap setia pada koridornya, dengan beberapa metafora yang setidaknya bisa kita cerna dari petunjuk-petunjuk sinematiknya.

 

Director: Yosep Anggi Noen

Cast: Gunawan Maryanto, Lukman Sardi, Asmara Abigail, Marissa Anita, Ecky Lamoh, Yudi Ahmad Tajudin, Alex Suhendra, Rusini

Duration: 106 Minutes

Score: 7.6/10

Editor: Juventus Wisnu

The Review

The Science of Fictions

7.6 Score

The Science of Fictions yang disutradarai Yosep Anggi Noen ini menceritakan kisah seorang wong cilik yang mendapatkan sebuah kenyataan pahit. Hal ini mengakibatkan cacat pada dirinya, dan juga membuat semua tak lagi nampak sama.Semua berawal ketika Siman (Gunawan Maryanto), secara diam-diam melihat syuting pendaratan di bulan yang fake di sebuah area gurun pasir. Film lalu mengikuti perjalanan Siman setelahnya, mulai dari era 60-an hingga masa kini.

Review Breakdown

  • Acting 0
  • Cinematography 0
  • Entertain 0
  • Scoring 0
  • Story 0
Tags: Alex SuhendraAsmara AbigailcineverseEcky LamohGunawan MaryantoHiruk Pikuk Si Al-KisahLukman SardiMarissa AnitaOrang Miskin Dilarang MabukReview FilmReview Hiruk-Pikuk Si Al-KisahReview The Science of FictionRusiniSimanThe Science of FictionYosep Anggi NoenYudi Ahmad Tajudin
Adam Pratama

Adam Pratama

Founder CINEMANIA ID, now becoming @cineverse.id. Batch 2 @mrabroadcastingacademy, Batch 4 adv class @kelaspenyiar_id. @imsi_fibui @fibui_basketball

Related Posts

roohi

Review Film: ‘Roohi’

bombay rose

Review Film: ‘Bombay Rose’

June & Kopi

Review Film: ‘June & Kopi’

The White Tiger

Review Film: ‘The White Tiger’

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse Banner Cineverse Banner Cineverse Banner
ADVERTISEMENT

Cineverse

© 2020 - 2021 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 Cineverse – All Right Reserved.

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In