Setiap manusia pasti memiliki pilihan. Hidup sendiri adalah sebuah pilihan. Mana yang kita pilih itu menjadi tanggung jawab kita, namun pasti ada kalanya kita berpikir apa jadinya jika kita memilih pilihan yang lain? Apakah hidup ini menjadi lebih baik dari yang sekarang? Hal tersebut coba dituangkan oleh sutradara veteran Sally Potter di filmnya yang berjudul “The Roads Not Taken”.
Film ini bercerita tentang pasangan ayah-anak, di mana sang ayah yang bernama Leo (Javier Bardem) mengalami demensia sehingga dirinya kesulitan dalam mengingat sesuatu. Kemudian sang anak yaitu Molly (Elle Fanning) suatu hari datang untuk membantu Leo pergi ke dokter gigi dan dokter mata.
Sally membuat film ini berdasarkan kisah nyata yang ia alami sendiri. Pada tahun 2013, adik laki-lakinya yang merupakan seorang artis dan musisi yaitu Nic Potter meninggal dunia. Kanal Variety menulis bahwa Nic wafat karena demensia. Sally dikabarkan telah “kehilangan” Nic sejak 2010.

“The Roads Not Taken” sendiri adalah karya yang dibikin Sally untuk mengenang Nic. Ia menggambarkan lewat film ini bagaimana dirinya merawat Nic ketika itu, yang mana dituangkan kepada karakter Molly dan Leo. Cuman, di sini Sally mencoba untuk bereksperimen dengan meluaskan konteks tersebut menjadi sesuatu yang lebih grounded, yakni mengenai pilihan hidup.
Kepada wartawan, Sally mengatakan bahwa ada banyak hal yang ia pelajari selama dua tahun merawat Nic. Tentang bagaimana pikiran seseorang bekerja. Di mana Nic berada ketika ia terasa begitu jauh.
Intim dan sensitif. Dua kata yang dikeluarkan Elle Fanning bisa menjadi deskripsi awal mengenai bagaimana film ini menggambarkan hubungan antara Leo dan Molly. Bagaimana Molly dengan penuh kasih sayang masih merawat bapaknya, di samping ia masih memiliki hal lain dalam pekerjaannya.
Kemudian Molly bisa dikatakan berada di perspektif Sally, di mana ia bingung nih sama apa sih yang ada di pikiran Leo. Apa yang ingin ia sampaikan? Apa maksudnya? Itu semua masih tanda tanya.
Tidak hanya itu, Molly juga harus menghadapi tekanan yang datang dari orang lain. Mereka menganggap bahwa ayahnya lebih dari sekedar tidak baik-baik saja, atau bahkan sakit. Bagian ini yang paling mengenaskan adalah ketika dirinya dan ayahnya berada di rumah sakit bersama dengan karakter istri dari Leo, yang diperankan oleh Laura Linney.
Sementara di sisi lain, Leo sudah terbaring. Ia sudah berada di posisi demensia. Perlu diingat, ini film juga bercerita tentang pilihan, jadi apa yang dituturkan adalah realita alternatif. Bagaimana jika seandainya Leo begini, bagaimana jika dia begitu. Jadi sebaiknya tidak menganggap bahwa sosok Leo yang ditampilkan adalah Leo sebelum ia terbaring.
No, film tidak memiliki eksposisi itu, and somehow, hal itu membuat karakter Leo jadi memiliki kelemahan. Sebagai sosok ayah, kita juga perlu mengetahui Leo itu ayah yang seperti apa. Terlebih, ada relationship yang kuat antara Leo dengan Molly. Kemudian apa sih sebetulnya yang membuat Leo menjadi seperti sekarang.

Meski begitu, Sally memutuskan untuk tidak menampilkan hal tersebut. Absennya eksposisi dari karakter penting membuat penampilan yang ada harus bagus banget untuk menutupinya. Sehingga kita bisa masuk ke dalam konflik yang dialami, apalagi konflik ini seperti yang tadi dibilang, menggunakan konsep semacam ‘alternate reality’.
Cuman untuk aktingnya, film ini udah ‘top notch’ abis. Trisula Javier Bardem – Elle Fanning – Salma Hayek gak ada obat. Mereka bertiga sukses membawakan setiap bagian dari cerita ini sehingga kita akan terus mengikutinya. Penampilan gemilang mereka membuat apa yang nyata sama apa yang tidak nyata itu ga ada bedanya.
Javier Bardem memberikan akting yang luar biasa di sini. Ia memberikan rasa cinta dan kehilangan yang mendalam pada dua bagian cerita, dan di satu yang lainnya lebih kepada rasa bimbang dan akhirnya menyesal. Tentu tidak mudah untuk membagi-bagi akting seperti itu. Beruntung, jika dilihat secara gagasan karakter Leo ini, tetap memiliki benang merah yang jelas.
Elle Fanning memberikan performa yang tidak mudah juga, di mana ia merasakan beban yang berat, namun di sisi lain juga Elle harus dapat memberikan rasa sayang anak kepada ayahnya no matter what.
Pilihan yang akan ia ambil sungguh menarik untuk dinantikan, dan Elle sukses menjaga hal tersebut hingga akhir. Chemistry mereka berdua di sepanjang film sungguh menggerakkan, sehingga kita dapat merasakan ‘nyes’-nya pada bagian pamungkas.

Untuk Salma Hayek, ia tidak hanya menampilkan dirinya sebagai pelengkap. Berdialog bahasa latin dengan Javier, Salma dapat membuat sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang sebetulnya terpisah dengan dunia cerita filmnya, jadi begitu terasa.
Kemudian yang perlu dilihat berikutnya adalah soal editing. Di sini Sally memiliki keputusan penuh untuk menjahit fragmen-fragmen yang ada dalam karakter Leo. Ketiga alur yang dimiliki akan berjalan beriringan. Maka dari itu, timing dari editing ini tidak pernah bisa diprediksi. Tapi, bukan berarti hal tersebut membuat kita bingung dan jadi hilang arah. Sally menerapkan sebuah aspek editing yaitu “Kontinuitas Grafik”.
Jadi dalam teknik editing, sineas bisa memilih dan mengontrol empat wilayah dasar. Salah satunya adalah kontinuitas grafis. Nah di sini kontinuitas grafis dapat dibentuk oleh unsur mise-en-scene yang meliputi aspek bentuk, warna, komposisi, pergerakan pemain, set, hingga kostum dan pencahayaan. Memang hal ini tidak semuanya ada dalam gaya editing yang dimaksud. Tapi setidaknya kita masih bisa merasakan alunan “Graphic Match”-nya dengan jelas.
Sedikit ngomongin soal pesan, “The Roads Not Taken” adalah sebuah pengandaian. Bagaimana jika kita dulu mengambil jalan yang lain dalam menentukan hidup kita. Hal ini sering bikin nyesel, tapi apakah itu benar adanya?

Terlepas dari apa yang dialami oleh Leo saat ini, film memberikan statement untuk selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki, walaupun dengan nada yang kayaknya kelam banget. Belum tentu lho, apa yang kita tidak pilih dulu merupakan jawaban dari kegelisahan. Cuman ya memang, tak bisa dipungkiri bahwa ini mengandung unsur pesimisme juga.
Akhir film juga cukup membingungkan. Alih-alih kita betul-betul disuguhkan sesuatu yang jelas dan lebih positif, film diakhiri oleh sebuah scene yang kembali memancing kita untuk mendiskusikannya kembali.
Cliffhanger. Secara makna ini jadi membingungkan, namun di saat yang sama, karena pembawaan filmnya sedari awal sudah cukup jelas maka cliffhanger ini juga terlihat menarik.
Meski tidak memiliki eksposisi yang oke, kemudian bagian akhirnya juga tidak seperti apa yang diduga sebelumnya, “The Roads Not Taken” masih menjadi pilihan berkat kekuatan akting yang luar biasa. Secara mengejutkan, editing-nya juga oke karena membuat kita betah. Seperti yang dikatakan Sally kepada media, editing di sini berlakon layaknya musik. Film depresi yang dituturkan dengan level intimacy yang tinggi. Jadi apakah Chillers masih mau untuk mencoba berandai-andai?
Director: Sally Potter
Casts: Javier Bardem, Elle Fanning, Salma Hayek, Laura Linney, Branka Katic, Milena Tscharntke
Duration: 85 Minutes
Score: 7.3/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
The Roads Not Taken
Film ini bercerita tentang pasangan ayah-anak, di mana sang ayah yang bernama Leo (Javier Bardem) mengalami demensia sehingga dirinya kesulitan dalam mengingat sesuatu. Kemudian sang anak yaitu Molly (Elle Fanning) suatu hari datang untuk membantu Leo dalam menjalani hidupnya yang serba sulit. Bagaimana keduanya menjalani hidup yang serba sulit dan menyedihkan itu?
Discussion about this post