“Predators don’t just sit around making hats out of rib cages. They conquered space.” – Traeger.
Selain Alien, satu lagi makhluk luar angkasa yang berbahaya adalah Predator. Pertama kali muncul di film tahun 1987, ‘Predator’ sudah langsung menyita perhatian banyak orang di seluruh dunia. Film pertamanya dinilai menyediakan apa yang dibutuhkan moviegoers saat itu, yaitu sajian aksi, kemudian ledakan-ledakan, plus performa maskulin dari Arnold Schwarzenegger yang kala itu sedang naik daun lewat ‘The Terminator’ (1984) dan ‘Commando’ (1985). Kombinasi poin-poin di atas pastinya sukses memberikan lampu hijau bagi film kedua, ketiga, plus duology ‘Alien vs Predator’. Kini, orang yang sudah mati di awal film pertamanya yaitu Shane Black berusaha melanjutkan tongkat estafet Predator lewat fim yang ia sutradarai berjudul “The Predator”.
Film ini bermula ketika sebuah pesawat luar angkasa memasuki Bumi. Pesawat yang terlihat ringkih tersebut kemudian terhempas dalam belantara hutan di daerah Meksiko. Kebetulan, seorang penembak jitu bernama Quinn McKenna (Boyd Holbrook) yang sedang dalam misi rahasia, secara tak sengaja tempatnya bersembunyi terhantam jatuhnya pesawat. Penasaran, Quinn kemudian melihat-lihat pesawat tersebut sebelum pergi menyelamatkan diri dari sergapan Predator yang muncul dari dalam. Celakanya, meski berhasil kabur, Quinn tidak menyadari bahwa apa yang ia perbuat ketika berada di bangkai pesawat bisa berbuntut panjang.
Namanya film Predator, pasti kita akan menunggu-nunggu kapan film mempertontonkan kebrutalannya. Shane tahu betul akan hal ini sehingga ia tidak segan menampilkan kebengisan Predator dalam menghabisi lawan-lawannya dari awal. Jangan sekali-kali kamu mengajak penonton di bawah umur karena “The Predator” menampilkan adegan kekerasan layaknya “Deadpool”. Tidak hanya cipratan darah yang memenuhi layar, bagian-bagian dari tubuh manusia pun banyak yang jadi “barang hotwheels”. Predator juga tidak segan mencabik-cabik kaum kita sampai mereka merasa puas. Beberapa adegan ada yang ditampilkan di ruangan terang sehingga penonton dapat melihat variasi dari treatment kekerasan yang dihadirkan oleh film. A fun gorefest that we need.
Tapi yang terbaik tetap chemistry dari para pemain. Salut untuk Boyd Holbrook, Trevante Rhodes, Keegan-Michael Key, Olivia Munn, Thomas Jane, Alfie Allen, Augusto Aguilera dan Sterling K. Brown. Mereka semua diupayakan untuk membawa film secara bersama-sama dari awal hingga akhir. Tidak ada satu pun bintang yang menonjol, dan itu bukan hal yang buruk. Para cast sukses memberikan feel yang belum pernah ada di dalam franchise, di mana kali ini kisah Predator juga memiliki unsur setia kawan dan komedi yang tinggi. Khusus untuk unsur komedinya, ’The Predator’ menyajikan dialog yang lucu di mana lelucon, ejekan dan makian skala R-rated bertebaran dimana-mana.
Bedanya dengan ‘Deadpool’ yang cenderung one man show adalah, di sini kita tidak tahu siapa yang membuat film menjadi lebih ringan karena kemampuan para cast, terutama member “The Loonies”, dalam melemparkan jokes hampir sama rata. Memang sih saat lelucon-lelucon ini dilemparkan di awal, tidak aneh jika kita masih merasa kurang ngena. Wajar. Ini disebabkan oleh kesan Predator yang keras, ditambah lagi scene pembuka yang semakin mendukung hal tersebut. Istilah kata, “gak nyantai” lah. Tapi, seiring berjalannya waktu, jokes mulai berkembang menjadi sesuatu yang membuat penonton bisa kembali bernafas sambil membuat film ini jadi berbeda dibanding yang sebelumnya. Suka atau tidak itu hal biasa, namun pada akhirnya cara ini sukses memunculkan poin plus berikutnya, yaitu kesetiakawanan tanpa batas.
Nah, mengenai kesetiawakanan, film sangat relate dengan kehidupan sehari-hari, terutama buat kamu yang “anak tongkrongan”. Seringkali ditemukan bahwa cara bonding yang dipraktekkan dalam lingkungan tersebut adalah dengan “cracking the jokes loosely or making fun to one another”. Terkadang, jokes yang dikeluarkan terlalu berlebihan dan sering menggunakan kata-kata kurang pantas. Tapi hasilnya? Persaudaraan khas anak tongkrongan justru dikenal sebagai salah satu yang terkuat dari yang pernah kita tahu. Apakah film menggunakan pendekatan itu? Bisa jadi. Melihat karakternya adalah para mantan tentara, ini mungkin cara yang pas.
Berbicara soal cara melucu, perhatian langsung tertuju pada Thomas Jane yang berperan sebagai Baxley. Ia terlihat begitu berbeda jika dibandingkan dengan perannya sebagai Frank Castle aka ‘The Punisher’. Di sini Thomas menjadi mantan tentara yang menderita “Tourette Syndrome”. Ini merupakan gangguan sistem saraf yang menyebabkan gerakan berulang atau suara yang tidak diinginkan. Jika merujuk pada pengertian tersebut, Thomas melakukan tugasnya dengan baik. Performa aktingnya patut diapresiasi mengingat peran Baxley punya tingkat kesulitan dan risiko yang tinggi. Kerja samanya dengan Keegan-Michael Key begitu apik, namun ketika harus berdiri sendiri ada satu scene di mana jokes dari Baxley menjadi pusat perhatian namun hasilnya tidak terlalu baik karena jokes tersebut cukup sulit untuk dicerna.
Masuk ke bagian cerita, ‘The Predator’ memiliki sedikit turning point. Ternyata ada sebuah intrik internal yang sudah terlihat di awal, namun kemudian coba disebar ke tiga storyline berbeda. ‘The Predator’ mengoyak ceritanya sendiri di pemerintahan, kemudian di rumah Rory McKenna (Jacob Tremblay) dan di karakter Quinn McKenna. Ini mengakibatkan adanya perbedaan motif di antara para karakter pada babak awal. Yang satu ingin begini, yang satunya lagi ingin begitu. Imbasnya, film butuh lebih banyak waktu untuk menyelaraskan motivasi yang sudah terlanjur bercabang itu.
Sayang, dalam menyelaraskan hal tersebut, film jadi menampilkan bagian yang sebetulnya tidak terlalu kita inginkan yaitu manusia melawan manusia lainnya. Selain itu, muncul pula konflik kepentingan yang pelik, padahal turning point yang dimaksud berada di sisi sang Predator itu sendiri. Cerita jadi agak bumpy berkat kerempongan yang terjadi antara tim Quinn versus tim pemerintah. Untung aktor yang berperan sebagai perwakilan dari pemerintah ini adalah Sterling K. Brown yang memerankan Traeger. Aktingnya solid, menawarkan sesuatu yang segar jika dibandingkan dengan karakater orang-orang utusan pemerintah di film action blockbuster lain. Karakter ini bukan sekedar numpang lewat saja.
Belum selesai, ‘The Predator’ juga mengabaikan beberapa printilan kecil yang sedikit mengganggu. Tercatat ada dua isu di sini, yaitu terkait anjing predator dan The Ultimate Predator. Anjing predator tampil sebagai anak buah dari The Ultimate Predator. Di dalam film, anjing yang memangsa secara berkelompok ini akan bentrok dengan Quinn dan teman-temannya. Pertikaiannya cukup seru, di mana film kemudian memanfaatkan si anjing ke depannya. Anehnya, ketika dimanfaatkan, si anjing mengeluarkan semacam kemampuan terpendam yang mengejutkan.
Lalu mengenai The Ultimate Predator. Sebagai pemangsa, makhluk ini gak ada lawannya. Ia berukuran lebih besar dibanding Predator biasa, dan juga sangat kokoh. Benar-benar definisi dari kata “ultimate”. Tapi di final act, sutradara sepertinya kena senjata makan tuan. Film telat panas dalam menangani The Ultimate Predator sehingga kembali menggunakan cara-cara klasik seperti penggunaan senapan, smoke bomb dan umpan.
Memang akhirnya lumayan memuaskan, namun sebetulnya tidak ada tools istimewa di sini. Agak sayang ya, soalnya ketika baru pertama kali bertemu The Ultimate Predator, kita melihat bahwa alien ini sungguh besar dan kuat. Tapi malah di final act dengan mudahnya dapat terluka terkena tembakan biasa. Last but not least, scene terakhir juga cenderung lemah jika kita mengharapkan ending yang nendang. Film memutuskan untuk bersikap kalem sambil membuka kesempatan bagi kisah selanjutnya.
Meski begitu, harus diakui franchise Predator memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki diri. Film ini menjadi film Predator yang fun dan itu tidak hanya ditunjukkan dari sisi kekerasan, namun juga dari kelucuan aktor-aktornya. Shane Black membuat ‘The Predator’ dengan rasanya sendiri, mengingat karakter yang ia mainkan di film pertama juga punya sense of humor yang tinggi.
Tenang, tidak perlu takut jika kamu belum menonton tiga film sebelumnya. ‘The Predator’ memang membahas hal tersebut, namun itu bukan sesuatu yang esensial di dalam cerita. Tapi jika dipaksa untuk mengurutkan, yang satu ini lebih bagus dibandingkan “Predator 2” (1990) dan “Predators”-nya Adrien Brody (2010). Arnie? Dia masih tetap yang terbaik.
The Predator sudah bisa Chillers saksikan mulai 14 September 2018 di bioskop terdekat di kota kamu.
Director: Shane Black
Starring: Boyd Holbrook, Olivia Munn, Trevante Rhodes, Keegan-Michael Key, Thomas Jane, Jacob Tremblay, Sterling K. Brown, Alfie Allen, Augusto Aguilera, Yvonne Strahovski
Duration: 117 Minutes
Score: 7.5/10