“Sir, please have a larger perspective of politics.” – Kim Gyu-pyeong.
Klik Film kembali menghadirkan sebuah film “The Man Standing Next” yang kehadirannya menimbulkan kontroversi di dalam negeri, karena film ini mengisahkan tentang pembunuhan Presiden Park Chung-hee (Lee Sung-min) menjelang akhir tahun 70-an yang dinilai banyak orang berbau politis dan sarat rekayasa.
Film ini mengisahkan ketika Korea Selatan sepenuhnya dikuasai oleh Presiden Park Chung-hee (Lee Sung-min) pada tahun 1970-an. Presiden Park sendiri sudah memegang tampuk sebagai presiden Korea Selatan sejak tahun 1962, dan ia sendiri juga memegang kendali penuh atas Badan Intelijen Korea (KCIA). Hal itu membuat Kepala Badan Intelijen Korea (KCIA) Kim Gyu-pyeong (Lee Byung-hun) berada di posisi kedua tertinggi di dalam kepemimpinan Korea.
KCIA sendiri awalnya didirikan pada tahun 1961 untuk memata-matai konspirasi Korea Utara, dan juga mencegah komunis masuk ke negara Korea. Tetapi tujuan utama Presiden Park adalah menggunakan KCIA sebagai pelindungnya agar ia dapat melanjutkan rezimnya yang teramat panjang.

Namun ada sebuah intrik mendalam dan persoalan serius terkait perebutan kekuasaan yang intens antara Kim dan kepala pengawal presiden Kwak Sang-cheon (Lee Hee-joon). Hal itu menjadi sangat serius selama 40 hari terakhir pemerintahan Presiden, sebelum pada akhirnya dibunuh oleh Kim pada tahun 1979.
Di sisi lain, keduanya juga berjuang untuk mencegah mantan direktur KCIA, Park Yong-gak (Kwak Do-won), yang diasingkan ke AS, saat investigasi tentang skandal Koreagate sedang berlangsung. Dan ia mengetahui semua rencana operasi pemerintah dan menerbitkan memoir mengenai hal tersebut.
Dalam persidangan, Park Yong-gak bersaksi mengenai hal-hal melawan Korea Selatan. Kesaksian tersebut membuat Kim Gyu-pyeong dan Kwang Sang-cheon (Lee Hee-joon) menyusun rencana untuk mencegah hal itu terjadi.
Masalah itu pada akhirnya membuat kepala pengawal presiden akhirnya menjadi sangat dekat dengan presiden, terlebih sang presiden mulai meragukan Kim karena kejadian di Amerika tersebut. Kim sendiri merasa tersisih dan takut bahwa dia akan kehilangan posisinya. Terlebih dia juga menentang tindakan represif yang diambil presiden ketika ada kerusuhan massa terhadap pemerintahnya.

Dengan semua yang terjadi, Kim mengalami banyak hal. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk membunuh presiden bersama dengan pengawalnya. Perisai yang dibuat Presiden Park untuk perlindungannya menjadi alasan kematiannya.
“The Man Standing Next” merupakan film yang diadaptasi dari novel non-fiksi bertajuk ‘Chief of Namsan’ atau ‘Namsanui Bujangdeul’ karya Kim Choong-sik. Tulisan itu pertama kali diterbitkan berseri oleh koran Dong-A Ilbo Korea pada tahun 1990-1992, dan menceritakan kisah nyata dari Kepala KCIA Kim Hyong-uk dan bagaimana ia bisa menghilang begitu saja.
Novel ini juga menceritakan sejarah KCIA atau Badan Intelijen Pusat Korea yang didirikan oleh Presiden Park Chung-hee. KCIA sendiri bertugas melakukan pengawasan yang luas terhadap para politisi, pejabat pemerintahan bahkan warga negara biasa. Merujuk pada judul bukunya, Namsan sendiri merupakan nama alias dari KCIA karena badan intel ini dulu bermarkas di daerah Namsan, Seoul.

Film ini dengan sangat berani menggambarkan sebuah kejadian yang bisa dibilang sangat sensitif, karena menyangkut pembunuhan presiden sebuah negara besar dan menggambarkan kejadian ini justru dari kacamata sang pembunuh, yaitu Kim sendiri. Dan sosok pembunuh ini bukan sosok yang sepenuhnya bersalah, tapi ia memang harus melakukan hal tersebut demi negaranya, dan bukan demi jabatan atau harta. Kim sendiri merupakan anggota inti dan juga teman Park ketika ia melakukan kudeta militer 18 tahun yang lalu.
Lebih dari empat dekade telah berlalu, tetapi perdebatan sengit masih tetap berlanjut sampai saat sekarang ini tentang apa yang menjadi motif Kim. Apa yang membuat sosok paling kuat kedua dalam rezim tersebut hingga mampu untuk membunuh bosnya? Dan apa yang menjadi tujuan sebenarnya setelah pembunuhan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab sampai sekarang.
Lee Byung-hun berperan sangat baik dalam memerankan karakter Kim Gyu-pyeong, dan seolah film ini merupakan pledoi Kim yang dibuat oleh sang sutradara, Woo Min-ho (Inside Men), yang juga menulis naskah film ini.

Untuk visualnya, film ini mengajak kita kembali ke era retro tahun 70-an dengan beberapa shot menarik terutama saat shooting dilakukan di Washington DC, Amerika Serikat dan di Prancis. Menarik melihat tampilannya, karena ini adalah film Korea Selatan, dan look seperti ini biasanya bisa kita lihat di film-film Eropa atau Hollywood.
Wardrobe-nya dengan jeli menyesuaikan era masa tersebut, dan tone-nya yang sedikit grainy melekat erat dalam film berdurasi hampir dua jam tersebut.
Well, film ini selain menjadi box office di Korea Selatan, juga mendapat sambutan positif di luar Korea sendiri, dan berhasil mencatat penghasilan di atas US$ 34 juta untuk seluruh dunia. Bukan jumlah sedikit, bahkan untuk film Asia sekalipun, hasil ini termasuk besar.

Para penggemar film Korea di Indonesia bersyukur sudah dapat menyaksikan film “The Man Standing Next” secara streaming melalui aplikasi dan web site Klik Film. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Klik Film, Frederica.
“Kami selalu berusaha untuk terus menghadirkan film-film bagus di Klik Film. Meski sedang dihadapkan dengan pandemi COVID-19, para penggemar film tetap dapat menyaksikan film-film bagus melalui Klik Film yang bisa dinikmati secara streaming. Dengan hadirnya film “The Man Standing Next”, para penggemar film Korea bisa tetap menyaksikan film ini melalui streaming hanya dengan 7 ribu rupiah,” tutupnya.
Buat kalian pecinta film thriller, film yang satu ini tak akan mengecewakan kita hingga selesai. Paling tidak secuil sejarah politik kelam Korea Selatan bisa kita simak secara gamblang dalam film ini.
Director: Woo Min-ho
Casts: Lee Byung-hun, Lee Sung-min, Kwak Do-won, Lee Hee-joon, Kim So-jin
Duration: 114 Minutes
Score: 7.5/10
The Review
The Man Standing Next
Film 'The Man Standing Next' yang disutradarai Woo Min Ho ini mendramatisir 40 hari menjelang insiden 26 Oktober 1979 yang menewaskan presiden Park Chung-hee.Segala intrik dari pucuk pimpinan intelijen Korea saat itu menarik untuk dicermati. Terlebih dengan kesan retro yang ingin ditampilkan, sangat jarang dalam film Korea, akan membuat kita seolah terlempar ke masa lalu.