“There’s a clock in the walls. We don’t know what it does, except… something horrible.” – Jonathan Barnavelt.
Tahukah kamu, sebelum Harry Potter belajar menggunakan tongkat sihirnya, ada seorang anak laki-laki yang bisa memraktekkan ilmu sihir cukup dengan menggunakan kedua tangannya sendiri? Ya, anak tersebut hidup puluhan tahun sebelum Harry ada dan ia belajar kepada dua orang ‘Warlock’ sekaligus. Bagi yang belum familiar, ‘Warlock’ adalah sebutan bagi orang-orang yang memraktekkan sihir. Tenang, Warlock yang menjadi guru dari si anak ini bukanlah Warlock yang jahat. Mereka adalah Warlock yang baik, di mana saat itu sedang menempati sebuah rumah yang selalu berdetak.
Cerita yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya John Bellairs ini memiliki sisi yang menarik justru dari segi sutradaranya. Bagaimana tidak, Eli Roth sebelumnya dikenal sebagai sineas yang membuat film-film brutal dan sadis. Sebut saja ‘Hostel’ (2005) dan yang rilis beberapa bulan lalu yaitu ‘Death Wish’. Nah, bagaimana caranya Eli mengeksekusi film yang berbeda 180 derajat ini? Bagaimana ia bisa menciptakan excitement dari elemen fantasi rumah misterius itu sehingga ‘The House with a Clock in Its Walls’ aman dikonsumsi oleh anak-anak?
Well, di satu sisi Eli dan tim berhasil untuk setidaknya menampilkan beberapa elemen penting dalam sebuah film fantasi yang mana sangat khas. Maksudnya khas di sini adalah, biasanya film-film yang diproduksi oleh Amblin memiliki trademark tersendiri yang bisa dibilang ala Spielberg-ian. ‘The House with a Clock in Its Walls’ memiliki penggambaran yang baik untuk menampilkan unsur dark-fantasy mereka. Beberapa kali film terasa menyeramkan ketika Lewis (Owen Vaccaro) menelusuri rumah sang paman. Nuansa seperti ini kemudian ditambah oleh props yang oke, sehingga penonton masih dapat menikmati satu bentuk petualangan di dalam rumah.
Lalu yang kedua adalah dinamika emosional yang terjalin antar karakter. Di sini, Lewis diceritakan sudah kehilangan orang tua. Ia kemudian tinggal bersama orang yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Maka dari itu, dibutuhkan sebuah pendekatan agar hubungan Lewis dan pamannya dapat menarik empati penonton secara perlahan. Di dalam film, hal ini tidak hanya coba dimunculkan dari cara-cara yang membuat bonding antara dua karakter menjadi kuat, namun juga lewat satu isu yang relate dengan kehidupan nyata. Seringkali kita menganggap remeh anak-anak, atau orang yang lebih muda dibanding kita. Mereka sering dianggap kurang berpengalaman, atau belum saatnya untuk ikut campur urusan orang dewasa. Cara tersebut cukup berhasil menjadi pancingan, apalagi ketika ditonjolkan pada saat yang tepat yaitu di final act.
Sedikit tambahan, film juga berhasil menyambungkan kondisi terkini dengan motivasi salah satu karakter penting. Karena berlatar pada masa-masa pasca Perang Dunia, film secara tak langsung juga menyoroti peristiwa tersebut. Ia kemudian memasukkan kritik sosial yang kemudian dikemas dengan caranya sendiri. Ini kemudian dimasukkan ke dalam karakter antagonis sehingga penonton bisa mengerti kenapa karakter penjahat itu sangat bernafsu untuk mewujudkan sesuatu yang pastinya bersifat destruktif. Sebuah bekal yang bagus untuk menampilkan karakter villain yang menarik.
Tapi, ada beberapa hal juga yang membuat ‘The House with a Clock in Its Walls’ terasa kurang enjoyable. Ketika melihat bagaimana film menampilkan nuansa creepy, itu hal yang bagus tapi sejujurnya belum cukup. Kita ingin melihat lebih dari sekedar penuansaan yang baik. Karena film juga memiliki unsur sihir, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang sebenarnya ingin lebih dilihat lagi. Sayangnya, film tidak cukup menampilkan sihir sebagai salah satu senjata yang memuaskan ekspektasi penontonnya. Sihir di film ini masih terasa kurang nendang. Contoh kecilnya, karakter Jonathan Barnavelt (Jack Black) dan Mrs. Zimmerman (Cate Blanchett) cenderung tidak memanfaatkan kemampuan sihir mereka dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah. Mungkin itu hal kecil, namun justru hal-hal kecil itulah yang jika dieksekusi dengan apik dapat membuat atmosfer sihir dari film jadi lebih hidup. Film justru lebih menitikberatkan pada kemisteriusan cerita dan hal-hal menyeramkan dibanding, yah, sihir. Sangat disayangkan karena set yang ada sudah mendukung, namun banyak yang berakhir sia-sia.
Kemudian mengenai humornya. Ini pasti menjadi sorotan mengingat di sana ada Jack Black, salah satu komedian Amerika ternama. Di dalam film ia akan banyak beradu lelucon dengan Cate Blanchett, sang aktris serba bisa. Sayangnya, banyak humor yang meleset dan jatuhnya garing dari mereka berdua. Di luar performa akting yang tidak usah diragukan kualitasnya, jokes yang ada di “House with a Clock” sering ditampilkan dengan cara dialog witty di mana kedua karakter akan saling memaki. Masalahnya adalah, dialog ini sudah panjang, dituturkan secara cepat pula. Tentu gaya tersebut akan sangat berisiko, apalagi bagi penonton yang memiliki cara mengolok-olok yang berbeda. Kalimat “Tengkorak ungu yang bisa berbicara sendiri” tentu bukan kata-kata yang biasa diambil ketika kita mengejek orang lain, bukan? Paling biasanya lebih singkat dan eksplisit macam “Eh dasar ceking, item, buluk, idup lagi”.
Terakhir adalah ceritanya yang masih kurang gereget dan antiklimaks. ‘The House with a Clock in Its Walls’ pada awalnya memiliki set-up mystery yang bisa membuat penonton penasaran. Tapi ketika sampai pada satu titik tertentu, ada bagian yang ternyata hanya diselesaikan begitu saja. Penonton tidak diajak untuk berpikir bersama karena semua jawaban ada dalam diri Lewis dan petunjuk yang mencerahkan datang dari sesuatu yang tidak asing buat Lewis tapi sangat asing bagi kita. Bukan apa-apa, petunjuk yang mencerahkan ini hanya digubris luarnya saja sepanjang film, padahal butuh pemahaman yang lebih dalam agar kita bisa ikut memecahkan teka-tekinya nanti.
Kemudian, satu momen yang paling ditunggu-tunggu adalah ketika Lewis mencoba untuk menemukan sihirnya sendiri. Di sini film mencoba untuk menunjukkan ciri khas dari Lewis yang seorang dictionary addict, kemudian menggabungkannya dengan salah satu ketentuan seorang Warlock yaitu mereka harus bisa menemukan sihir yang otentik. Sayangnya, momen ketika Lewis merapal mantranya malah berubah menjadi zonk, kentang. Sebetulnya tidak ada masalah dengan gaya Lewis dalam merapal mantra yang terlihat aneh sehingga membuat kita mengernyitkan dahi. Sayangnya, finishing touch dari rapalan kurang bisa diterima. Ini juga didukung oleh absennya pengaruh visual yang jika saja muncul, mungkin akan membuat scene jadi lebih menarik dan kita juga semakin suka sama karakter Lewis.
Belum selesai. Kekurangpuasan masih mengutuk film sampai final battle-nya. Di sini akan ada satu pertarungan besar yang melibatkan sihir. Apa yang selama ini dicari-cari oleh Jonathan dan Mrs. Zimmerman tentunya juga mulai menampakkan diri. Sayangnya, akhir dari final battle cukup antiklimaks. Film memanfaatkan item tertentu secara tepat dalam situasi genting, namun belum cukup menaruh intensitas yang biasanya dibutuhkan dalam pertarungan hidup-mati. Pada akhirnya, “The House with a Clock in Its Walls” memang tetap bisa menyuguhkan sajian fantasi yang kelam. Tapi mereka masih kekurangan elemen yang sesungguhnya. Eli Roth mungkin ahli dalam merealisasikan tontonan sadis yang nampak begitu real, namun di sisi lain ternyata ia justru dihabisi oleh kekuatan magis yang seharusnya menjadi konsumsi anak kecil.
Director: Eli Roth
Starring: Owen Vaccaro, Jack Black, Cate Blanchett, Lorenza Izzo, Colleen Camp, Sunny Suljic, Kyle MacLachlan, Renee Elise Goldsberry
Duration: 114 minutes
Score: 6.8/10