“There’s only one rule in the jungle: when the lion’s hungry, he eats!” – Mickey Pearson.
Sutradara Guy Ritchie kembali lagi ke layar lebar dengan ciri khasnya yang membuat dirinya menjadi sutradara besar seperti sekarang ini. Guy yang mulai dikenal lewat aksi apik dan humor cerdas dari film-film gangster khas Inggris-nya seperti “Lock, Stock and Two Smoking Barrels” (1998), “Snatch” (2000) atau pun “RocknRolla” (2008), memang mempunyai gaya nya sendiri sebelum kemudian pindah jalur untuk lebih menyutradarai film-film yang lebih komersil seperti “Sherlock Holmes” dan sequelnya “Sherlock Holmes: A Game of Shadows”, “The Man from U.N.C.L.E”, “King Arthur: Legend of the Sword” dan yang paling anyar adalah film live action keluaran Disney, “Aladdin”.
Tetapi lewat “The Gentlemen”, Guy kembali ke awal perjalanannya kembali ke dunia indie di mana dia memulai karirnya. The Gentlemen adalah sebuah drama kriminal dengan sentuhan komedi khas British yang penuh dengan sarkasme dan kata-kata kasar dengan karakterisasi unik dan menggelitik khas Guy Ritchie di mana di dalamnya memiliki plot cerita yang sebetulnya sederhana tetapi diceritakan kembali dengan lebih atraktif dan terkesan berbelit-belit.
“The Gentlemen” adalah kisah tentang Mickey Pearson (Matthew McConaughey) seorang pria kelahiran Amerika yang mampu membangun kerajaan ganja yang sangat menguntungkan di London. Setelah bertahun-tahun kemudian tak ada yang berani macam-macam dengan Mickey Pearson atau setidaknya Mickey tidak perlu menunjukkan kekuasaan dan kekuatannya melalui jalan kekerasan. Mickey menjelma menjadi bagian dari kelas atas masyarakat Inggris dan menikah dengan wanita yang ia cintai.
Sampai waktunya tiba, ketika ia memutuskan untuk pensiun dari dunianya yang sekarang ini. Mickey berencana menjual kerajaannya kepada orang Amerika lainnya, Matthew Berger (Jeremy Strong) seharga 400 juta dolar AS. Untuk meyakinkan Berger, Mickey mengajak tur Berger untuk melihat perkebunan ganjanya dan menunjukkan kepadanya seluk beluk operasinya.
Di Inggris sendiri pemakaian ganja masih dianggap seseatu yang ilegal. Tapi kalau larangan pemakaian ganja di tempat-tempat umum tersebut sudah dilegalkan maka nilai pasti akan berlipat ganda demikian Mickey berpromosi kepada calon pembelinya, Berger. Tampaknya semua orang tahu Mickey berencana menjual bisnisnya dan segalanya mulai berantakan. Dari mulai Dry Eye (Henry Golding) seorang tokoh mafia muda yang ambisius yang berencana mengambil alih bisnisnya dengan membuat penawaran dengan harganya sendiri.
Coach (Colin Farrel) dan begundal-begundalnya yang nekat untuk merampas perkebunan ganjanya ditambah dengan kekisruhan yang lain di mana salah seorang bawahan Mickey yang setia, Raymond diperas oleh seorang detektif partikelir yang bernama Fletcher (Hugh Grant) yang tahu tentang sepak terjang bosnya.
Kekuatan film ini adalah terletak pada kemampuan aktor atau aktris yang mampu menerjemahkan skenario dari Guy Ritchie dan kemudian mengembangkan serta menghidupkan karakter-karakter yang eksentrik khas dari Guy Ritchie. Audiens mungkin memerlukan kadar konsentransi yang cukup tinggi karena audiens akan dibawa bolak balik ke dalam plot cerita untuk pengenalan masing-masing karakternya.
“The Gentlemen” memerlukan waktu untuk pengembangan karakter-karakternya yang cukup panjang. Dengan adegan melompat ke sana ke mari dan dialog-dialog yang cepat, seru dan lucu khususnya ketika terjadi dialog antara Fletcher dan Raymond. Dua karakter inilah yang paling banyak mendapat ‘jatah’ tampil di film ini dan mencuri perhatian audiens.
Struktur naratif “The Gentlemen” diceritakan melalui mulut Fletcher ketika dia menceritakan kisahnya (yang tentunya dibuat berdasarkan versinya sendiri) kepada Raymond. Jadi apa yang ditonton oleh audiens merupakan visualisasi obrolan Fletcher dan Raymond. Fletcher yang diperankan Hugh Grant di sini tampil dengan amat menyebalkan, serakah penuh kelicikan dan pastinya tampil penuh sebagai orang yang tidak dapat dipercaya.
Well, setidaknya ia berhasil keluar dari image ‘pria romantis’ dari berbagai peran karakter ia mainkan di film-film terdahulunya. Matthew McConaughey pun tampil sebagai gembong narkoba yang kharismatik, penuh percaya diri dan penuh perhitungan. Menarik juga untuk dilihat penampilan dari Henry Golding yang berperan sebagai gangster muda nan ambisius yang kadang bertindak penuh kejutan demi mencapai ambisinya.
Signature style yang kita kenal dari sutradara yang satu ini pastinya tak ketinggalan hadir. Buat kita yang pernah menonton film-film Guy Ritchie sebelumnya, pasti familiar dengan kebiasaannya, seperti editing yang cepat dengan perpindahan dari adegan ke adegan berikutnya berjalan smooth, mengingat banyak adegan yang melompat-lompat dan plot cerita yang maju mundur. Transisi antar adegan yang cepat ini memang tak biasa dilakukan banyak sutradara lainnya, namun bagi yang sudah biasa menonton karya Ritchie pastinya sudah paham dengan gaya ini.
Tak ketinggalan teknik slo-mo yang ada di beberapa scene, menambah ‘efek dramatisasi’ sehingga adegan yang ada tersebut menjadi lebih bagus dan efektif. Gayanya tersebut tersebut biasanya juga menghadirkan aktivitas kriminal dalam film-filmnya dengan dialog sarkasme lengkap dengan plot dan twist yang sulit ditebak.
Pada akhirnya, film ini memang menjadi karya idealis dari sang sutradara yang selama ini gayanya sedikit tak terlihat di beberapa film terakhir yang ia kerjakan, dan film ini secara teknik jauh lebih baik dari “King Arthur: Legend of the Sword” (2017) ataupun “Aladdin” (2019) yang sukses secara komersial.
Director: Guy Ritchie
Starring: Matthew McConaughey, Hugh Grant, Henry Golding, Colin Farrel, Charlie Hunnam, Michelle Dockery, Jeremy Strong, Tom Wu, Eddie Marsan
Duration: 103 minutes
Score: 7.5/10
The Review
The Gentlemen
Setelah mengerjakan Aladdin yang terbilang komersial, kini Guy Ritchie membuat The Gentlemen. Film yang membuat Guy kembali ke awal perjalanannya kembali ke dunia indie dengan sentuhan komedi khas British yang penuh sarkasme dan karakterisasi unik. Signature style dari sutradara asal Inggris ini memang unik dan tak ada bandingannya di layar lebar. Buat kamu yang tak biasa, mungkin agak pusing melihatnya, namun buat kamu yang menyenanginya, film ini akan mempunyai warna tersendiri