“How… how many of you? Thirteen? Brilliant!” – Jon.
Salah satu highlight di tahun 2018 adalah penyelamatan internasional terhadap tim sepakbola anak-anak Wild Boars di Thailand. Klub sepakbola ini menjadi perbincangan di mata dunia karena terjebak di dalam gua selama lebih dari dua minggu.
Mereka terperangkap karena hujan deras mengguyur Gua Tham Luang Nang Non di Thailand utara sana. Pertama kali tahu soal film ini adalah saat di Jogja NETPAC 2019. “The Cave” yang disutradarai dan diproduseri oleh Tom Waller diputar di kategori Asian Perspective.
Saat melihat poster dan juga trailer-nya diputar di XXI, wajar campur excited juga sih. Pertama karena ini adalah film keluaran JAFF. Kemudian diambil dari kejadian nyata yang menghebohkan dunia. Terakhir ya karena bisa aja masuk JAFF, jadi secara kualitas seharusnya “The Cave” juga oke.

Film ini langsung bermula di saat Wild Boars sudah selesai melakukan latihan. Pelatih mereka kemudian mengajak pergi ke dalam Gua Nang Non. Tidak lama setelah itu point of view berpindah ke penjaga setempat yang ketika memeriksa lingkungan gua menemukan sepeda mereka sedangkan anak-anak dan pelatihnya masih ada di dalam.
Di sini sebetulnya “The Cave” sudah menunjukkan kelemahan, yaitu point of view yang langsung pindah di saat yang sangat penting. Penonton pastinya mau tahu bagaimana ceritanya anak-ank Wild Boar dan pelatihnya bisa terjebak dalam gua.
Sayang hal ini sangat sedikit ditampilkan. Hanya dalam sebuah scene. Film ternyata tidak membangun intensitas dari sana, which is fine, namun bukan itu yang kita harapkan.
Film langsung meluas kemana-mana. Mulai tadi sudut pandang ada di penjaga gua, lalu nanti ke beberapa karakter lainnya. Bagaimana bagian demi bagian masuk ke dalam upaya penyelamatan ini. Mulai dari pihak lokal (warga desanya), tim SAR Thailand, hingga pihak internasional. Mulai dari keterlibatan warga lokal, para penyelam profesional, hingga pemuka agama. Semua langsung dijabanin satu demi satu.
Bisa dibilang tahap eksposisi film itu sangatlah tipis karena film lebih ingin menunjukkan bagaimana bersatunya sebuah bangsa dan juga dunia ketika menghadapi tragedi kemanusiaan begini. Selain itu, kita juga bisa melihat bagaimana pahlawan tidak hanya berasal dari mereka yang terjun langsung.
Film juga mengapresiasi para unsung heroes yang rela berkorban demi keselamatan anak-anak Wild Boars. Sayangnya, ketika sudah langsung meluas cakupannya, film masih belum memiliki karakter yang kuat sebagai jangkar filmnya. Kamera melompat dari karakter satu, kemudian ke karakter lain, kemudian ke karakter berikutnya. Cukup membingungkan juga jadinya.

Dua karakter penting dalam film pun tidak ditampilkan layaknya karakter utama yang dari awal sudah diperkenalkan. Cuman keduanya ini merupakan tokoh asli, sehingga membuat film jadi lebih engaging. Hanya saja mereka baru akan diperkenalkan keika sudah memasuki masa konflik dan karakter masing-masing di film pun masih terkesan tipis.
Relung yang ada jadinya buat mereka berdua ini bukan sebagai karakter utama, namun dua orang yang berjasa dan kehadirannya dijadikan semacam landasan untuk membangun cerita menjadi sedikit lebih rapih. Dua orang ini adalah Noppadon Niyomka dan juga Jim Warny.
Dua orang ini secara giliran mengisi void dari aspek naratif film. Noppadon lebih dulu masuk sebagai orang yang mengirim turbo jet ke proses evakuasi agar air bisa lebih banyak dikeluarkan. Kemudian pada bagian pertengahan Jim akan masuk sebagai salah satu penyelam. Beberapa karakter lain yang juga merupakan karakter asli adalah reporter Amerika yaitu Todd Ruiz, penyelam Finlandia, Mikko Paasi dan cave diving instructor dari Tiongkok bernama Tan Xiaolong.
Walaupun di awal kita merasa kurang gereget, namun pada masa konfrontasi mulai muncul poin-poin yang mungkin belum kita ketahui mengenai proses penyelamatan tersebut. Dua pertama yang nampak adalah terkait birokrasi, kemudian kelokalan. Di saat poin pertama masih terlalu biasa, poin kedua justru cukup menarik karena ini memberikan warna tersendiri bagi film, yang mana merupakan film dari Thailand.
Sama dengan kita di Indonesia, terdapat tempat-tempat yang diyakini menyimpan kekuatan tertentu. Kekuatan yang dihormati oleh masyarakat setempat. Poin ini coba dimasukkan dan yang paling ngena adalah ketika scene di mana para anak-anak sudah terperangkap di dalam gua beberapa hari.
Poin berikutnya yang cukup oke adalah bagaimana film mengajak kita untuk ikut menyelami rute yang mesti dilalui. Ingat, mengajak ya. Bukan mendikte. Ketika film sudah memasuki tahap resolusi, akan ada satu poin baru lagi yang sepertinya berfungsi dalam meningkatkan tensi.

Anyway, jika dilihat-lihat, “The Cave” awalnya juga gak disangka-sangka bakal rilis di bioskop. Kirain film ini cuman bakal mentok di JAFF doang, karena film Asia dan bukan termasuk film Thailand yang tipenya digemari pasar Indonesia. But at the end, Cinema XXI membeli film ini untuk ditayangkan di bioskop mereka, dan ini cukup mengagetkan walaupun pantas-pantas saja.
Soalnya, terlepas dari kejadian benerannya, “The Cave” juga merupakan film yang mampu memberikan rasa tegang ketika menonton. Tepatnya adalah ketika para penyelam sudah mulai masuk ke dalam gua. Menarik untuk melihat bagaimana film menampilkan rasa tegang itu, karena ya ini juga bagian yang ditunggu-tunggu. Sineas harus bisa menampilkan seperti apa sulitnya bagi para penyelam untuk masuk, keluar, lalu satu lagi adalah keluar dengan membawa orang lain.
Ketegangan ini sebenarnya cukup terasa. Dari cara pengambilan gambarnya kadang menyorot muka diver, lalu kadang juga menyorot tali yang menjadi satu-satunya pemandu arah. Air yang keruh juga semakin menguatkan nuansa tersebut. Yaa lumayan lah untuk membuat kita pay attention meski tidak banyak juga yang dieksplorasi.
Dalam memasuki tahap resolusi, datang bantuan dari aspek naratif yang nanti akan membuat perjalanan rescue ini jadi lebih naik lagi. Nanti juga bakalan ada shot-shot imajinatif yang merupakan satu-satunya saat di mana kita diberikan perspektif dari para korban. Cuman sayangnya, mumpung ini sempat ke-mention para korban, penyakit di awal kembali muncul di akhir.

Kita kembali tidak diberikan penceritaan yang cukup di bilik terakhir. Padahal ini penting juga dalam tahap resolusi. Bagaimana film menampilkan hectic dan intense nya penyelamatan dari kacamata para korban. Semua sudah lebih terpusat ke diver-nya, terutama karakter Jim Warney. Tidak salah memang, tapi sebaiknya ada beberapa adegan dari bilik terakhir penyelamatan juga agar geregetnya lebih berasa.
“The Cave” lebih menampilkan apa-apa saja yang terjadi di luar gua. Mulai dari bagaimana lapisan masyarakat bersatu, lalu upaya dari beragam pihak dengan tantangan-tantangan yang ada. Hal yang biasa aja dari luxury-luxury itu, hingga hal yang bisa memberi informasi baru disediakan. Poin itu berjalan beriringan sama aspek gotong-royong yang bisa membuat penonton invest.
Cuman di balik itu, film juga memiliki masalah yang ternyata cukup serius. Pertama, point of view dari para korban masih kurang banget. Baik di awal maupun di akhir, tidak banyak cerita yang bisa kita dapatkan. Padahal experience dalam gua itu juga dibutuhkan.
Kemudian film yang melihat dari banyak sudut pandang ini justru nampak macam “all over the place”, tanpa adanya karakter-karakter yang kuat. Karakter-karakter yang bisa membawa cerita. Absennya karakter yang kuat ini bisa membuat penonton kebingungan untuk mencari siapa nih yang “in charge” di sini? Kamera bergerak kesana-kemari seakan-akan ikutan bingung mencari.
Director: Tom Waller
Cast: Jim Warney, Noppadon Niyomka, Todd Ruiz, Ekawat Niratworapanya
Duration: 104 Minutes
Score: 6.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
The Cave
'The Cave' menceritakan aksi penyelamatan internasional terhadap tim sepakbola anak-anak Wild Boars di Thailand. Klub sepakbola ini menjadi perbincangan di mata dunia karena terjebak di dalam gua selama lebih dari dua minggu.Mereka terperangkap karena hujan deras mengguyur Gua Tham Luang Nang Non di Thailand utara.Apakah mereka semua bisa diselamatkan tim tersebut?