“You’re a sad and pathetic man. You’re a homosexual and you don’t want to be, but there’s nothing you can do to change it. Not all the prayers to you god, not all the analysis you can buy in all the years you’ve go left to live. You may one day be able to know a heterosexual life if you want it desperately enough. If you pursue it with the fervor with which you annihilate. But you’ll always be homosexual as well. Always Michael. Always. Until the day you die.”- Harold.
Film yang baru rilis di Netflix ini sebetulnya punya sejarah yang panjang. “The Boys in the Band” awalnya adalah sebuah drama teater yang dibuat oleh Mart Crowley. Ia lalu memfilmkan versi tersebut menjadi sebuah film tahun 1970. Film itu disutradarai oleh William Friedkin dan dibintangi oleh seluruh pemeran versi teaternya.
Kemudian pada 2018 ada revival yang kembali mementaskan “The Boys in the Band”. Pementasan itu dibintangi oleh Jim Parsons, Zachary Quinto, Matt Bomer, Andrew Rannells, Charlie Carver, Robin de Jesus, Brian Hutchison, Michael Benjamin Washington, dan Tuc Watkins.
Nah mereka-mereka ini lah yang kemudian menjadi aktor di film versi 2020 nya sekarang. Untuk cerita, film menampilkan persahabatan yang diuji dalam sebuah pesta di malam hari. Michael (Parsons) mengundang teman-temannya untuk merayakan hari ulang tahun salah satu sahabat mereka yaitu Harold (Quinto). Pesta ini secara tak terduga kedatangan tamu mengejutkan. Di situ lah suasana menjadi canggung dan sekalian aja mereka buka-bukaan tentang perasaan dan masa lalu masing-masing.

Miris adalah pesan yang kita dapatkan setelah menonton film ini. Bagaimana mereka menyimpan perasaan terpendam dan sulit untuk diekspresikan. Eksposisi karakter yang ditampilkan secara jelas membuat kita memahami dan juga bisa invest ke konflik sampingannya.
Meski begitu, konflik yang dialami oleh Michael adalah yang paling berasa nantinya. Hal ini kurang lebih bakal nyambung ke ‘self-love’. Bagaimana kita mencintai diri sendiri. Hal yang oke banget dari sini adalah, terlepas dari pengkarakterisasian Michael, hal seperti ini bersifat universal. Siapa saja pasti pernah ngalamin, cuman dalam konteks yang ada, Michael pasti berat sekali menghadapinya.
Ini membuat paruh kedua film begitu hidup. Konfliknya memang jadi menumpuk. Wah, chaos lah! Cuman karena penonton bisa melihat kesamaan atau benang merah dari masing-masing sub konflik maka paruh kedua film jadi lebih enjoyable.
Paruh pertamanya bagaimana? Well, biasa-biasa saja. Justru sedikit membosankan. Toh kita juga sudah tahu kurang lebih akan seperti apa pesta ini awalnya bergulir. Praktis film sangat mengandalkan kepiawaian para pemeran dalam menghidupkan film.
Satu-satunya build-up menarik dari sini adalah bagaimana para sahabat ini akan bersikap ketika di saat mereka bisa menjadi diri sendiri, ada kondisi yang mau gak mau jadi harus dipatuhi. Kartu ini sebetulnya dimainkan dengan baik cuma intensitasnya masih kecil sampai film lepas dari turning point pertama.

Pada awalnya film bisa menggunakan build-up ini menjadi sesuatu yang menyenangkan. Apalagi ada elemen kejutannya juga. Cuman, turning point filmnya memang bisa dikatakan lama. Meski begitu level sudah cukup naik karena build-up dari karakter gak diundang tersebut.
Kesan pementasan ala teater juga berasa dari bagaimana film ini ditampilkan. Heavy dialogue dengan dinamisnya perpindahan omongan dari satu orang ke orang lainnya. Agar menambahkan unsur sinematik, maka bagian ini coba dicacah lewat editing. Secara set “The Boys in the Band” juga sudah cukup terekspos banget hanya dengan satu set saja. Hal ini entah kenapa ngingetin banget sama pengalaman melihat set di pertunjukan teater.
Meski di awal film dibuka oleh prolog yang asik dengan setting yang berbeda-beda dan gaya editing wipe, namun intinya semua stagnan terjadi di unit apartemen itu. Untuk menghilangkan kesan sempit tersebut, kamera coba ditempatkan di tempat yang memanfaatkan atau mengoptimalkan ruang. Jadi sering kita lihat di latar depan sedang terjadi apa, kemudian di latar belakang terjadi apa.
Buat film dengan ensemble cast hal itu termasuk baik. Kemudian balik lagi, treatment ini kurang lebih juga membuat rasa teaternya cukup kuat. Presence-nya tetap berasa. Sedikit tambahan, editing wipe adalah salah satu bentuk editing di mana frame sebuah shot bergeser ke arah kiri, kanan, atas, atau bawah hingga berganti menjadi shot baru.
Gaya ini bukan tanpa sebab. Meski teknik wipe biasanya digunakan untuk adegan-adegan selang hitungan menit, which is penggunaan tersebut beda dengan yang ada di film, namun secara estetik gaya ini mengisyaratkan kesan yang ringan di awal film. Kemudian cocok juga untuk mendukung latar waktu saat itu.

Sedikit kembali ke aspek naratif, film kalau dilihat secara gamblang memang nampaknya menjual sesuatu yang memilukan. Menjual kesedihan, penyesalan, dan sebagainya. Meski begitu, lewat apa yang dilakukan Michael dan respon dari teman-temannya, maka sebetulnya film ini juga menyampaikan pesan positif yang terselubung.
Bagaimana pentingnya untuk menyampaikan sesuatu, meski dalam kondisi yang berat. Secara konteks, zaman itu tentu berbeda dengan zaman sekarang. Ini menjadi latar yang pasti bakal menimbulkan pressure bagi para karakter secara otomatis. Wajar aja kalau penonton melihatnya dari sisi yang nampak nyata atau yang terselubung. Atau mungkin dua-duanya.
Performa para aktor yang ada di sini terbilang bagus-bagus. Dari tahap persiapan kita sudah bisa melihat masing-masing keunikan dari mereka. Itu cukup menghibur, dan cukup menyelamatkan masa awal film. Kehadiran Zachary Quinto sebagai Harold yang wow banget, awalnya ditakutkan bakal mencemari dinamika film, dalam artian doi bakal stand out sendiri. Apalagi di awal kedatangannya, camera work yang ada sudah menampilkan karakrer Harold ini sesuatu banget.
Kemudian dari tampilannya juga kelihatan bukan sembarangan. Pusat perhatian langsung tertuju ke dia. Cuman, semakin dalam tahap konfrontasi, maka semakin mengecil ego untuk karakter Harold, di mana hal tersebut dibutuhkan. Namun bukan berarti Harold langsung hilang ditelan Bumi. Meski lebih berbagi dengan yang lain, Zachary selalu dapat membuat penonton langsung terfokus dan intens juga setiap kali Harold ngomong.

Sementara itu Jim Parsons langsung mengambil alih sebagai konduktor tahap konfrontasi. Ia memerankan seorang karakter yang udah kayak gabisa dikontrol dan ini tentu sudah diberi tahu lewat dialog kecil. Sebetulnya agak sulit untuk melihat hukum kausalitas dari apa yang dilkakukan karakter ini sehingga menjadi turning point filmnya nanti.
Kita tidak diberikan background apapun memang, dan itu ga hanya untuk Michael tapi juga untuk seluruh karakter. Yang ada hanya lah info bahwa Ia dan Alan (Brian Hutchison) dulu berteman, dan ini yang terkadang menjadi overshadow. Relasi antara Michael dan Alan jadi lebih menarik daripada kausalitas Michael yang secara tiba-tiba membuat game tersebut. Meski begitu, Jim berhasil menampilkan akting yang dalam, dan perkembangan karakternya akan menjadi semakin menarik pasca turning point kedua.
Di film ini memang secara jelas akan ditunjukkan sesuatu yang mungkin bertentangan atau tabu atau gak biasa dikonsumsi. Ada juga adegan-adegan menjurus seksual yang digunakan untuk menguatkan emosi. Cuman dibalik itu, sebaiknya kita menonton “The Boys in the Band” dalam scope yang lebih luas.
Terdapat kelemahan dalam hal bagaimana film bercerita sehingga bisa memunculkan anggapan menyedihkan, atau membosankan karena sifat ‘heavy dialogue’. Perubahan karakter utama di awal masa konfrontasi pun cukup mengagetkan. Kayak meledak gitu aja. Cuman, nilai universal yang ada tetap tersampaikan dengan baik. Mulai dari confession sampai self-love. Dua hal yang sebetulnya gak mudah, even bagi kita.
Director: Joe Mantello
Casts: Jim Parsons, Zachary Quinto, Matt Bomer, Andrew Rannells, Michael Benjamin Washington, Robin de Jesus, Tuc Watkins, Charlie Carver, Brian Hutchison
Duration: 121 Minutes
Score: 7.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
The Boys in the Band
The Boys in the Band menceritakan persahabatan yang diuji dalam sebuah pesta di malam hari. Michael (Parsons) mengundang teman-temannya untuk merayakan hari ulang tahun salah satu sahabat mereka yaitu Harold (Quinto).Pesta ini secara tak terduga kedatangan tamu mengejutkan. Di situ lah suasana menjadi canggung dan sekalian aja mereka buka-bukaan tentang perasaan dan masa lalu masing-masing.