Jika berbicara mengenai genre di film Indonesia, maka yang paling populer tentu saja genre horor dan drama. Semakin hari, semakin banyak film dari kedua genre populer ini yang diproduksi. Genre horor dan drama selain tidak membutuhkan budget mahal, juga masih sangat disukai masyarakat. Hal ini terbukti dari jumlah penonton film-film Indonesia yang urutan teratasnya didominasi oleh film ber-genre horor dan drama. Maka dari itu, menjadi sebuah anomali jika ada film skala kecil yang justru berani melawan arus. Film yang diproduksi dengan dana terbatas, namun bergerak di genre yang kurang populer.
Tahun ini, film Indonesia yang berani melakukan dobrakan seperti itu adalah “Tengkorak”. Ini merupakan film ber-genre fiksi ilmiah (sci-fi), yang diproduksi secara independen. Tidak melalui campur tangan production house besar. Hal tersebut tentunya membuat kucuran dana yang ada bagi seluruh kru menjadi terbatas. Mastermind dari film “Tengkorak” adalah Yusron Fuadi, salah satu dosen Universitas Gajah Mada (UGM). Ia kemudian dibantu oleh civitas akademika UGM dan ISI Yogyakarta, plus beberapa seniman lokal.
Walaupun menderita keterbatasan dana, Yusron dan tim tidak putus asa. Mereka terus menggarap film di sela-sela kesibukan masing-masing dan akhirnya “Tengkorak” membuahkan hasil dengan mencatat prestasi mengagumkan di pentas internasional. Film ini tercatat sudah melakukan premiere di Amerika Serikat.
“Tengkorak” menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia dalam festival film “Cinequest”, yang diselenggarakan di San Jose – California. Tidak hanya itu, laman The Jakarta Post juga menulis bahwa “Tengkorak” dinominasikan sebagai film terbaik di kategori “Fiction, Fantasy, or Thriller”. Bagi film indie yang diproduksi oleh civitas kampus, jelas raihan tersebut merupakan sebuah pencapaian di luar dugaan.
Seperti yang diketahui, fenomena alam biasanya memiliki bekas yang cukup besar bagi kehidupan umat manusia. Yusron kemudian mencoba untuk merepresentasikan salah satu efeknya, sekaligus mengeksplor bagaimana kita bisa merespom sesuatu yang baru dan asing. Suatu hari, diceritakan terjadi sebuah penemuan yang membuat gempar dunia. Umat manusia menemukan fosil tengkorak setinggi 1.850 meter. Umur dari tengkorak ini diduga 170 ribu tahun dan fosilnya sendiri baru ditemukan setelah gempa hebat mengguncang Yogyakarta pada tahun 2006 silam.
Penemuan ini membuat bingung para ilmuan sampai pemuka agama. Dunia lalu berdebat antara terus melakukan penelitian atau menyembunyikan hasil temuan dari masyarakat luas. Di dalam film ditampilkan, situs dan kantor lembaga penelitian dijaga sangat ketat. Bahkan, tentara yang berjaga tidak segan untuk menghabisi nyawa mereka yang berani menelusuri fosil tengkorak lebih dalam.
Seorang gadis bernama Ani (Eka Nusa Pertiwi) suatu ketika terjebak dalam situasi berbahaya tersebut. Ia berada di tengah-tengah konspirasi, yang bisa membuat nyawanya terancam. Setelah lolos dari maut, Ani berusaha mengungkap misteri di balik fosil tengkorak. Dibantu oleh beberapa orang teman, Ani memberanikan diri untuk masuk lebih dalam dan akhirnya mengetahui sesuatu yang mengejutkan.
Meski genre-nya fiksi ilmiah, namun “Tengkorak” lebih mengedepankan pengolahan ide yang rasanya sudah gila. Film memberikan sebuah pertanyaan kepada kita, tentang bagaimana jadinya jika ternyata manusia bukanlah makhluk paling sempurna di dunia. Premis ini jelas bisa dihubungkan dengan konteks penemuan fosil sehingga penonton dapat menduga-duga, apa sih yang sebenarnya sudah berhasil ditelusuri di fosil tengkorak sana.
Lebih jauh, pada acara gala premiere yang diselenggarakan di Jakarta, Yusron mengungkapkan sumber referensi untuk cerita filmnya. Ia secara gamblang mengatakan bahwa inspirasi “Tengkorak” muncul dari pengalamannya saat kecil. Gilanya, pengalaman tadi berhubungan dengan hal yang berbau sensitif. Yusron pun menyebutkan bahwa ia sampai membuka kitab-kitab agama samawi sebagai rujukan narasi.
Rujukan tadi kemudian ditampilkan secara jelas di dalam salah satu scene. Saat mengantarkan cerita ke turning point kedua, seorang tokoh baru secara tak terduga berhasil menyingkap maksud dari misteri fosil tengkorak, yang selama ini ditutup-tutupi. Scene yang ada secara close up menyorot ketika tokoh tersebut mendapatkan maksud setelah menelaah sebuah item yang sakral. Tensi langsung kembali meninggi, di mana karakter utama menjadi bangkit kembali. Setelah diberi tahu maksud sesungguhnya, Ani memiliki tekad dan semangat baru agar sanggup menyelesaikan apa yang dapat membahayakan umat manusia.
Sayangnya, masa-masa sebelum film menyentuh turning point kedua menjadi saat di mana kita berada dalam kebingunan. Film dibuka oleh montage sequence yang merupakan serangkaian shot yang menunjukkan rangkaian proses dari sebuah peristiwa. Sequence berjalan dari waktu ke waktu, dan dalam kasus ini menunjukkan perkembangan peristiwa mulai dari saat ditemukannya fosil tengkorak sampai sekarang. Yusron memanfaatkan begitu banyak cuplikan berita di dalam segmen ini. Cuplikan tersebut menghadirkan reporter, narasumber, atau rakyat jelata yang sedang diwawancara mengenai pendapat mereka tentang fosil tengkorak. Cuplikan yang ada memang variatif. Terlihat dari banyak bahasa yang dituturkan, mulai dari Bahasa Inggris, Perancis, Yunani, Rusia, hingga India.
Namun, terlalu banyak cuplikan membuat durasi dari montage sequence jadi terlalu panjang. Para narasumber berbicara banyak dan beberapa penyajian dalam berbagai bahasa membuat penjelasan menjadi kian bertele-tele. Memang, penggunaan banyak bahasa di satu sisi bisa menyokong tuntutan naratif karena penemuan fosil membuat geger tidak hanya Indonesia, namun juga seluruh dunia. Tapi di sisi lain, penjabaran ini cenderung membosankan dan memancing kantuk. Panjangnya betul-betul bikin gregetan. Cukup disayangkan mengingat “Tengkorak” dibuka dengan cukup powerful, namun tensinya semakin lama jadi semakin kendor.
Montage sequence juga terlihat memengaruhi tahap persiapan. Dalam tahap ini dikenal istilah eksposisi, di mana film memperekenalkan tokoh-tokoh penting beserta latar belakangnya. Kita segera ingin berkenalan dengan Ani, tapi hal itu tidak sepenuhnya dapat terpenuhi karena eksposisi karakter harus berbagi jatah dengan penjabaran konflik. Narasi jadi semakin ‘riweuh’ karena film menampilkan satu tokoh lagi yang memegang peran kunci, yaitu Yos (Yusron Fuadi).
Dari sini terlihat kalau film harus menunjukkan Ani dan Yos secara imbang agar setidaknya penonton ‘ngeh’ sama eksistensi mereka berdua. Tugas yang sulit, karena cut dari satu shot ke shot yang lain harus berjalan dinamis dan bisa menyokong narasi. Blessing in disguise, tuntutan ini memunculkan satu penggambaran unik. Terdapat momen di mana Ani dan Yos yang belum saling kenal, berada di frame yang sama. Ini membuat posisi dari kedua karakter jadi semakin kuat, namun jika disambungkan ke penokohannya, kita masih kesulitan dalam mengetahui siapa sosok Yos sebenarnya.
Melihat ke segi teknis, tidak mengejutkan jika “Tengkorak” justru akan lebih banyak mengeksplor kemisteriusan cerita dibanding menampilkan kemegahan visual yang biasanya ada di dalam film fiksi ilmiah. Seperti halnya film-film genre fantasi, film fiksi ilmiah umumnya kaya akan suguhan efek visual (CGI). Maka dari itu, film genre ini membutuhkan dana yang tak sedikit.
Nah, karena budget-nya minim, “Tengkorak” hanya menampilkan sedikit scene yang melibatkan penelitian dari situs fosil tengkorak di dalam mise-en-scene. Tercatat, scene yang menyangkut penelitian dan segala macamnya hanya ada di tahap persiapan. Kemudian efek animasi komputer baru mulai menunjukkan dirinya secara jelas di tahap resolusi.
Masalahnya, terdapat ketidakcocokan fungsi setting di tahap persiapan. Setting seharusnya sesuai dengan konteks cerita, terlebih lagi mampu meyakinkan kita bahwa kita sedang berada di dalam peristiwa yang tampil sesuai dengan latar waktu dan kondisinya. Sayang, film belum mampu mewujudkan hal tersebut. Oke lah, anggap saja teknologi dan segala bentukan komputer yang ada di balai penelitian fosil tengkorak sudah sesuai dengan latar tahun. Tapi, cerita juga menuturkan bahwa Indonesia bekerja sama dengan Jerman dalam melaksanakan penelitian.
Aneh rasanya jika teknologi yang tampil masih terkesan kurang advance. Film berlatar waktu masa kini dan keadaannya Indonesia sedang bekerja sama dengan dunia internasional. Tapi, penggambaran latar dan properti yang langsung menyangkut dengan penelitian belum mencerminkan hubungan yang padu antara unsur naratif dengan ruang.
Tapi, “Tengkorak” punya keistimewaan yaitu dialognya yang lebih banyak menggunakan Bahasa Jawa. Didominasi oleh aktor lokal, film tidak malu-malu dalam menunjukkan jati dirinya. Sebuah keputusan yang baik, karena selain menjadi ciri khas yang otentik, penggunaan Bahasa Jawa yang lebih superior juga cocok dengan konteks dialog yaitu mengenai bahasa bicara, plus semakin menguatkan kesan natural dari akting para pemain.
Saking naturalnya, banyak Bahasa Jawa kasar yang juga masuk ke dalam dialog film. Kata-kata seperti “As*”, ” J*ncuk”, “C*k” dan lain-lain terlontar dari para pemeran. Maka dari itu, sebaiknya tidak membawa penonton anak-anak dulu, atau dampingi mereka agar sang anak tahu bahwa penggunaan kata-kata tersebut tidak lebih dari tuntutan narasi. Sedikit intermezzo, Yusron pun sedikit bercanda ketika ditanya mengapa dirinya memutuskan untuk lebih banyak menyertakan Bahasa Jawa, bahkan sampai yang kasar. Yusron menjawab, dia juga ingin melestarikan “prokem language” lokal. Biar nanti “As*” dan “J*ncuk” tidak kalah dengan kata-kata seperti “F*ck” dan “Sh*t”.
Terakhir mengenai misterinya. Ini yang menjadi main course dari “Tengkorak”. Ide yang sudah gila akan sia-sia jika tidak dikemas sedemikian rupa, sehingga penonton akan terus antusias menerka-nerka. Teknik pemberian informasi cerita yang dibuat terbatas, kemudian plot yang setia untuk berada di luar garis pemisah antara orang dalam dan orang luar bekerja dengan semestinya. Dua poin ini, ditambahkan satu scene yang menunjukkan salah satu dampak fatal dari ditemukannya fosil tengkorak, membentuk rasa penasaran hingga akhir cerita. Kita tidak bisa menebak, apa yang akan dilakukan oleh Ani dan kawan-kawan setelahnya, kemudian apa bahayanya bagi umat manusia.
Sedikit disayangkan, cerita menjadi agak lemah di tahap konfrontasi. Penonton sulit untuk mengetahui apa yang sedang direncanakan oleh Ani dan Yos karena sepertinya tidak ada yang betul-betul mereka rencanakan di sini. Penonton juga sulit untuk melihat apakah ada sesuatu yang harus dipecahkan, karena tidak ada yang betul-betul harus dipecahkan sampai terjadi perseteruan intens antara pihak protagonis dan antagonis. Cerita film baru naik lagi menjelang turning point kedua, sampai adegan klimaksnya.
Untuk yang satu ini, apa yang ditampilkan mungkin akan menjadi sesuatu yang cukup memuaskan karena tampil secara jelas. Film betul-betul menampilkan rahasia dari fosil tengkorak secara ekstensif lewat penggambaran yang tetap sederhana. Bagi kita yang gemas karena merasa tidak diberikan satu pun petunjuk mengenai misteri fosil tengkorak pasti akan lebih excited melihatnya. Meski begitu, setelah menyaksikan apa yang ada di layar, penyelesaian semacam ini bakal membuatmu bertanya-tanya. Berangkat dari sana, “Tengkorak” menimbulkan satu sensasi yang jelas kurang afdol jika kita memutuskan untuk berhenti, cukup melakukan satu kali observasi.
Buat Chillers yang tertarik, film ini sudah bisa kamu saksikan di layar lebar mulai 18 Oktober 2018.
Director: Yusron Fuadi
Starring: Eka Nusa Pertiwi, Yusron Fuadi, Gus S Mana, Muhammad Abe, Giras Basuwondo, Rukman Rosadi
Duration: 130 Minutes
Score: 7.0/10