“I want to fall from the sky like rain and remain forever in the place where I belong.” – Senhorinha.
Netflix kembali mengeluarkan salah satu film unggulannya di bulan ini. Film yang diberi judul “Sergio” ini bisa disebut unik bagi bangsa Indonesia, karena karakter utama di film ini mempunyai karir diplomatik yang panjang, salah satunya di Timor Timur (sekarang Timor Leste-red).
Film biopik yang disutradarai oleh Greg Barker ini sebetulnya tak terlalu istimewa, karena aspek naratifnya pernah ia bawakan dalam bentuk film dokumenter dengan judul yang sama di tahun 2009. Memang film ini merupakan film panjang pertamanya yang secara eksplisit ia kuasai luar dalam, yaitu tentang kehidupan almarhum diplomat PBB ternama, Sérgio Vieira de Mello.
Dalam film dokumenternya kala itu meraih respon positif dari berbagai kalangan dan menerima nominasi di sejumlah ajang festival. Kini Barker membuat biopiknya dengan lebih fokus pada karakter Sérgio dalam kepintarannya mengatasi permasalahan Timor Timur dalam memperjuangkan negara tersebut menjadi negara merdeka dan berdaulat (setelah memutuskan hubungan dengan Indonesia-red). Juga apa yang ia kerjakan untuk PBB dalam menangani masalah invasi Amerika Serikat ke Irak di tahun 2003.
Biopik tersebut tak melebar kemana-mana dan fokus hanya ke dua elemen tersebut, namun kini dengan pendekatan yang lebih personal dan intim, terutama dengan kedekatannya dengan sesama karyawan PBB, Carolina Larriera (Ana de Armas). Namun kenyataannya eksekusi yang dilakukan Barker terlalu sederhana dan dengan timeline terbatas, kita dipaksa melihat hanya seutas melodrama yang berbau romansa.
Menit pertama berjalan, tampak Sérgio (Wagner Moura) sedang diwawancarai untuk menjabat sebagai utusan khusus PBB pasca invasi Irak. Dengan enggan Sergio menerima tugas ini dengan harapan nantinya ia dapat memulai kehidupan dengan tenang bersama kekasihnya, Carolina Larriera (Ana de Armas).
Namun, rencana indah itu akhirnya berantakan saat markas PBB di Irak di bom pada 19 Agustus 2003, dan Sérgio terjebak di bawah puing-puing bangunan. Ketika dia berjuang untuk tetap hidup, Sérgio kemudian memikirkan masa lalunya, soal keputusannya yang membawanya pergi ke Irak dan saat pertama kali ia bertemu kekasihnya itu di Timor Timur.
Premis yang sederhana ini kemudian dikembangkan lewat alur maju mundur, yang memulai naratif dari Sérgio selama tiga tahun terakhir, dan kembali lagi lewat perjuangannya meregang nyawa di Irak. Rasa optimisme yang tinggi ini membuat asa nya untuk hidup muncul, terutama saat mengingat kembali masa lalunya. Namun repetisi ini terus dimainkan dengan konstan, sampai saatnya ia tak kuasa lagi menahan nafasnya.
Sepanjang waktu film ini berjalan, ketegangan dan emosi mampu diciptakan secara dramatis lewat ketegangan saat pemboman (walaupun samar-samar) dan perasaan suka citanya saat bersama Carolina.
Romansa Sérgio bersama Carolina memang salah satu kekuatan film ini, termasuk juga bagaimana ia melakukan pekerjaannya di Timor Timur dan Kamboja. Penggambaran karakter Xanana Gusmao saat menjadi Jenderal, juga sangat meyakinkan. Dan juga saat Sérgio bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Kepresidenan untuk memberitahu syarat yang diminta Xanana Gusmao juga menarik disimak. Tentunya banyak dari kita yang belum memahami kondisi waktu itu seperti apa, terutama pasca Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia.
Naskah yang ditulis oleh Craig Borten (Dallas Buyers Club), membuat karakter Sérgio yang terkenal karismatik, makin diperdalam. Cara ia membuat orang yang sulit diajak bicara, dengan mudahnya ia taklukkan, bahkan dengan tokoh yang sulit ditemui sekalipun. Dan bagusnya lagi, film ini tak berkonfrontasi terlalu dalam soal masalah politik, terutama perbedaan politiknya dengan Amerika Serikat yang kala itu diwakili oleh utusan khusus Presiden George W. Bush, Paul Bremer (Bradley Whitford) soal invasi mereka ke Irak.
Begitu dalamnya niat dari Sérgio untuk membantu negara yang ia tangani dengan sungguh-sungguh, salah satunya lewat pendekatan humanis. Di Irak, ia bahkan tak meminta penjagaan tentara Amerika Serikat untuk mengawal Gedung PBB, sebuah tindakan instan setelah ia melihat sendiri perlakuan represif mereka terhadap masyarakat sipil. Yang menarik adalah saat ia mengajak bicara seorang ibu tua yang dibantu oleh usaha mikro yang dikelola Carolina. Sang ibu yang bernama Senhorinha itu kehilangan dua anaknya saat pemberontakan, mempunyai satu keinginan yang membuat Sérgio menangis.
Penggambaran apik dari Wagner Moura (Narcos), terhadap karakter yang satu ini akan membuat orang simpatik dan tertarik melihat “Sergio”, juga terhadap Carolina yang tampil dibawakan dengan sangat memikat oleh Ana de Armas.
Biopik seperti inilah yang seharusnya ditampilkan seorang sineas, terlebih Barker telah menampilkan sisi lain dari Sérgio di versi dokumenter yang ia buat. Perspektif dari dua jenis penggambaran inilah yang saling melengkapi, fakta dari aspek dokumenter dan intimasi pribadi dari biopik, sesuatu yang tak mungkin bisa kita dapatkan dari sumber mana pun.
Namun begitu, bukan berarti film ini tak ada kekurangannya. “Sergio” memang mampu menampilkan sosok berkarisma yang piawai dalam pekerjaannya, namun tidak sebaliknya dalam mengurus keluarga. Kita hanya mendapat sedikit emosi di saat akhir hayatnya. Hanya footage resmi yang muncul belakangan diucapkan oleh Kofi Annan (Sekretaris Jenderal PBB saat itu-red) saat mengumumkan korban-korban ledakan bom, selebihnya film ini hanya menarasikan romansa antara Sérgio, Carolina dan betapa ia mencintai kota Rio de Janeiro selama ini.
Walaupun karirnya sebagai diplomat selama 34 tahun harus berakhir di reruntuhan gedung, warisannya tentang perdamaian dunia akan terus menginspirasi generasi muda di bawahnya.
Director: Greg Barker
Casts: Wagner Moura, Ana de Armas, Brian F. O’Byrne, Bradley Whitford, Pedro Hossi, Sahajak Boonthanakit, Vithaya Pansringarm
Duration: 118 Minutes
Score: 6.3/10
The Review
Film biopik yang disutradarai oleh Greg Barker ini bercerita tentang kehidupan almarhum diplomat PBB ternama, Sérgio Vieira de Mello yang meninggal saat sebuah bom meledak di markas PBB di Irak pada 19 Agustus 2003. Kisahnya diperankan dengan baik oleh Wagner Moura (Narcos) dan Ana de Armas (Knives Out). Film ini menceritakan masa lalu Sergio dalam usahanya dalam membantu negara itu menjadi mandiri dan hubungan indahnya dengan kekasihnya, Carolina. Namun, rencana indah itu akhirnya berantakan saat markas PBB di Irak di bom pada 19 Agustus 2003, dan Sérgio terjebak di bawah puing-puing bangunan. Ketika dia berjuang untuk tetap hidup, Sérgio kemudian memikirkan masa lalunya, soal keputusannya yang membawanya pergi ke Irak dan saat pertama kali ia bertemu kekasihnya itu di Timor Timur. Film ini sudah bisa kalian saksikan di Netflix
Discussion about this post