Masih segar di ingatan kita bagaimana film “Sebelum Iblis Menjemput” kerap dibanding-bandingkan dengan “Pengabdi Setan” pada tahun 2018 lalu. Sama-sama merupakan karya horor yang brilian dari sineas Indonesia, “Sebelum Iblis Menjemput” memberikan tidak sekedar horor yang menakutkan, namun juga kegilaan unsur violence yang paten.
Film ini pun berhasil meraih prestasi membanggakan karena diputar hingga ke tiga festival film mancanegara sekaligus. Yang pertama adalah L’etrange Film Festival di Perancis, kemudian Fantastic Film Festival di Amerika Serikat, dan yang terakhir adalah BFI London Film Festival. Sudah barang tentu, proyek film keduanya kali ini menjadi sorotan. Akan ke mana lagi perjanjian dengan iblis ini akan menjemput korban-korban berikutnya?
Cerita yang ditampilkan dari “Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2” cukup berbeda dengan apa yang disajikan dari film pertama. Hanya saja, ini bukan termasuk pemilihan yang “fresh”. Alfie (Chelsea Islan) suatu hari diculik oleh sekelompok orang. Mereka ternyata adalah mantan anak-anak panti asuhan. Mereka meminta bantuan Alfi untuk mengalahkan sesosok iblis yang menghantui para mantan anak panti tersebut. Di dalam prolog, “Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2” (SIMA 2) menampilkan sequence yang cukup menjelaskan bahaya yang mengintai para mantan anak panti. Nanti sepanjang perjalanan, misteri itu sedikit demi sedikit akan terbongkar.
Melihat eksposisi bahwa karakter korban kali ini adalah para mantan anak panti, tentu akan mengingatkan kita pada cerita “Ratu Ilmu Hitam” yang disutradarai Kimo Stamboel. Selain asal muasalnya sama, kejadian memilukan yang ada juga persis sama. Hanya motif kenapa mereka kembalinya yang berbeda. Itulah mengapa kami menyebut bahwa SIMA 2 memberikan cerita yang beda namun tidak serta-merta segar juga.
Terdapat kejanggalan-kejanggalan kecil yang apesnya cukup mengganggu. Kebanyakan datang dari dialog antar karakter. Menjelang tahap resolusi, karakter Alfie mengucapkan sebuah kata kunci yang menjelaskan karakter antagonis. Sayang, kata kunci tersebut bukan lah sesuatu yang sudah diketahui secara umum.
Yang kedua adalah, pengingkaran dalam dialog. Saking gemasnya, jika penulis ada di posisi orang yang “dikorbankan” maka penulis akan bertanya mengapa harus pergi sendiri? Relasi hubungan antara dua karakter antagonis pun tidak dijelaskan secara lebih lanjut. Cuma setidaknya value yang ingin disampaikan masih bisa tersampaikan dengan baik. Bahwa hak anak-anak itu juga penting untuk diperjuangkan, apalagi bagi mereka yang kurang beruntung. Kita tidak boleh semena-mena terhadap anak-anak, tidak boleh memanfaatkan kepolosan mereka.
Influence dari film horor lain seperti “Insidious” dan juga “The Exorcist” sangat jelas terasa. Berkat tuntutan naratif, kita akan diajak berjalan-jalan di dunia mistis. Walaupun tidak ada “pintu merah”-nya, tapi isi dari beberapa sequence sangat mencerminkan Insidious. Mulai dari penuansaan, kemudian desain produksi, dan arahan sutradara kepada aktor dan aktrisnya yang terlibat di dalam set.
Kemudian untuk pengaruh “The Exorcist”, kami melihatnya pada salah satu bentuk penampakan iblisnya. Memang hal ini tidak terlalu masif ditampilkan, namun gunanya influence atau mungkin tribute seperti ini wajib diapresiasi lebih. Untuk tampilan iblisnya, Timo Tjahjanto kembali berhasil menyuguhkan keseraman hakiki di film kali ini. Bentuk iblis yang layaknya manusia cuman lebih pucat bikin merinding. Bahkan, karakter antagonisnya saja bisa dibikin make-up nya seperti itu hingga aura jahatnya sangat terpancar.
Untuk segi sinematiknya, beberapa kali film menampilkan shot yang asik. Salah satunya adalah ketika Alfie diserahkan buku mantra oleh teman-teman barunya. Di situ kita bisa melihat pergerakan kamera yang merupakan kebalikan dari POV shot. Jika biasanya arah pandang kamera persis seperti apa yang dilihat seorang karakter, maka yang satu ini merupakan lawannya. Kemudian segi editing-nya juga patut diacungi jempol. Yang paling “ngehe” adalah ketika film memanfaatkan teknik ‘Match Cut’.
Dalam editing, seorang sineas dapat melakukan pergantian shot dengan kontinuitas grafik yang dibentuk oleh berbagai unsur. Mulai dari mise-en-scene, warna, komposisi, busana, dan lain-lain. Nanti akan ada saatnya ketika transisi dua shot yang berbeda ditampilkan dengan teknik cutting. Efek kaget jadi bisa terasa karena dua shot yang berbeda ini pada dasarnya memiliki komposisi visual yang serupa. Bedanya ya cuma perintilan-perintilannya tadi untuk mendukung kesan detail. Terakhir, di babak konfrontasi akan ada semacam efek kamera yang sengaja digunakan untuk mendukung tuntutan naratif. Hal ini biasanya lazim ada, cuma sayangnya di situ ada sosok yang harusnya bisa membuat takut tapi ternyata tidak sama sekali.
Kekurangan berikutnya adalah sesuatu yang sifatnya klasik. Tidak lain tidak bukan adalah CGI. Sama saja dengan film horor lokal kebanyakan, aspek ini begitu jelas kekurangmulusannya. CGI yang berupa api nampak seperti apa yang biasa kita lihat di video klip. Untungnya, meski CGI api membara ini merusak suasana, namun ada juga bagian yang nampak lebih baik dibanding film pendahulunya.
Untuk bagian akting, Chelsea Islan kembali memerankan sosok wanita yang tangguh. Tomboy nya kelihatan lagi karena di sini ia akan bertemu dengan banyak orang baru. Kemudian untuk para karakter baru tersebut, masing-masing dari mereka memiliki traits tersendiri kecuali karakter yang dimainkan oleh Baskara Mahendra. Dia terlihat biasa saja, cuman karakternya jadi lebih hidup berkat karisma yang dipancarkan oleh sang Aktor Pendukung pilihan Tempo di tahun 2019 tersebut.
Timo dinilai berhasil dalam mengeluarkan kemampuan akting terbaik dari ensemble cast-nya. Selain itu, ia juga bisa mengarahkan tuntutan khas berikutnya yaitu adegan-adegan ekstrim. Nanti akan ada saatnya aktor-aktris muda itu dilempar, dijedotin, disiksa lah pokoknya. Jadi kemampuan akting dan ketahanan fisik kembali digenjot dan hasil memang tidak bohong.
Mulai dari pemeran yang screen time nya paling minim sampai yang paling banyak, semua berhasil memberikan penampilan yang seengaknya membekas lah! Jika kudu memilih, rasanya pemeran baru yang paling berhasil di sini adalah Widika Sidmore. Ia bisa menjadi penyeimbang bagi Alfie. Sayang, ketika karakter manusianya pada bagus-bagus, karakter iblis nya malah kurang. Ada yang kemunculannya tau-tau hilang. Lalu ada juga iblis yang entrance-nya udah keren nih, tapi enggak tau setelah itu rimbanya ke mana.
Still a good follow-up but never been better than the previous one. “Sebelum Iblis Menjemput Ayat 2” mencoba untuk memberi narasi berbeda walaupun konfliknya sendiri bukan sesuatu yang fresh. Eksplorasi terhadap dunia ilmu hitamnya juga coba lebih digali lagi walaupun ada beberapa kunci yang masih kurang jelas maksudnya.
Violence-nya tidak terlalu parah untuk ukuran penonton dewasa karena hanya ada sedikit scene yang menampilkan merahnya darah. Selebihnya darah diperlihatkan dengan warna yang lebih gelap entah itu karena pengaruh cahaya atau memang darahnya hitam saja. Masih lebih bikin menggelinjang “Ratu Ilmu Hitam”.
Ending cukup bikin bingung karena karakter antagonis (iblis-iblisnya) yang dari awal sudah meneror kita tiba-tiba digantikan oleh sesosok makhluk yang dari tampilannya cukup zonk. Bikin bumpy, tapi di sisi lain kita masih bisa menarik kesimpulan dari sana dan tentunya cerita iblis ini masih bisa berlanjut ke ayat berikutnya.
Director: Timo Tjahjanto
Starring: Chelsea Islan, Widika Sidmore, Baskara Mahendra, Karina Salim, Arya Vasco, Lutesha, Shareefa Daanish, Hadijah Shahab, Aurelie Moeremans
Duration: 110 Minutes
Score: 7.5/10
The Review
Sebelum Iblis Menjemput: Ayat 2
Sekuel langsung dari Sebelum Iblis Menjemput ini menyajikan cerita yang berbeda, namun tak terasa fresh. Sebelumnya tema yang serupa dengan ini pernah diangkat ke layar lebar. Walau begitu ketegangan dan teknik mumpuni dari sang sutradara Timo Tjahjanto masih bisa mengejutkan kita yang menonton film ini, terutama lewat makhluk-makhlu yang muncul di film ini.