Di awal bulan Oktober ini kita memperingati Hari Batik Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Oktober. Untuk merayakannya, Titimangsa Foundation bekerjasama dengan Fourcolours Films merilis film pendek berjudul ‘Sekar’. Dalam film yang berdurasi sekitar 30 menit ini, mengisahkan seorang perempuan buta bernama Sekar (Sekar Sari) yang menjadikan batik tulis buatan ibunya sebagai pusat dunianya.
Setiap kali ibunya (yang diperankan oleh Christine Hakim) menggoreskan motif batik dengan canting dan lilin, Sekar akan meraba, menebak makna yang terkandung di setiap corak, walaupun selama ini dirinya tak diperbolehkan memegang canting dan lilin yang dipakai ibunya.

Seperti misalnya nama Sekar sendiri diberikan oleh sang ibu dari motif terkenal Sekar Jagad yang menampilkan makna kecantikan dan keindahan sehingga memesona siapapun yang melihatnya. Lalu berlanjut ketika sang ibu membuat motif lainnya untuk pesanan orang, dengan mudahnya Sekar menebak kalau yang digoreskan itu adalah motif Parang. Motif bergelombang untuk sebuah kegigihan dan sikap pantang menyerah terhadap ombak kehidupan yang akan terus datang.
Tak lama hubungan kedua insan ibu dan anak ini agak terganggu dengan hadirnya seorang pemuda (Marthino Lio) yang jatuh hati pada Sekar. Pemuda yang berprofesi sebagai pembuat perak ini juga selalu membuatkan hiasan tusuk konde dari perak tiap kali bertemu Sekar. Dan sama seperti sang ibu, Sekar selalu menebak motif yang diguratkan sang pemuda pada hiasan tersebut.
Namun sang ibu khawatir akan hubungan Sekar dengan pemuda tersebut. Keinginannya untuk terus bersama Sekar selalu dijawab dengan diplomatis, sampai pada akhirnya sang ibu berbicara dengan pemuda tersebut dan memperbolehkan Sekar untuk duduk bersama sambil memegang canting dan ikut menemani sang ibu membatik.
Film pendek yang disutradarai dan ditulis naskahnya oleh Kamila Andini ini memang sangat sederhana. Kamila yang sebelumnya membesut ‘The Mirror Never Lies’ (2011) dan ‘Sekala Niskala’ (2017), mampu menginterpretasi batik dengan makna simbolis yang terkadang samar namun memberikan kesejukan bagi Sekar yang menjiwai segala sesuatunya lewat pendengaran dan perasaan yang hadir lewat batik.
Dialog intim antara Sekar dan sang ibu sangat emosional, dan mengajak para penonton berkomunikasi tidak semata lewat ucapan semata, namun juga lewat bunyi dan perasaan yang dihadirkan lewat batik.
Sosok sang ibu sebagai pembatik idealis terhadap karyanya dan tidak terpengaruh oleh gerusan batik printing, menggambarkan kekuatan sang ibu untuk terus melestarikan budaya batik tanpa harus takut terhadap tekanan pasar di luar.
“Dalam film ini kita akan melihat banyak lapisan di batik yang bisa dilihat selain lewat visual. Ada cerita, sentuhan, harmoni yang sebenarnya hadir di situ. Semua diharapkan bisa merasakan batik lewat makna tersirat di balik itu,” kata Kamila, pada di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta (1/10).
Pemutaran perdana film pendek ini juga merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Batik Nasional yang digelar dari 1 hingga 14 Oktober di Galeri Indonesia Kaya, Mal Grand Indonesia ini, yang juga dibarengi dengan pameran batik yang menampilkan para pembatik dan ragam kain batik yang berasal dari sejumlah daerah di nusantara, di sini pengunjung dapat melihat secara langsung proses pembuatan sebuah kain batik sekaligus bisa membelinya secara langsung.