“We are alone. No matter what they tell you, we women are always alone.” – Sra. Sofía.
Film ini adalah salah satu film yang begitu digembar-gemborkan agar bisa sukses di Oscar tahun depan. Mulai dari mereka yang berargumen akan kualitas filmnya, hingga ke “fakta kompor” macam Roma merupakan film Netflix dan apakah Oscar sudi untuk memberikan nominasi bagi film yang dianggap tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai sebuah film bioskop?
Meski begitu, jika kita mengesampingkan segala argumen tersebut, Roma sepertinya memang film berkualitas tinggi. Sejauh ini, karya terbaru dari sutradara Alfonso Cuaron tersebut sudah mendapatkan nominasi dari beragam acara penghargaan kelas A seperti Golden Globes, Critics Choice, dan SAG Awards. Tidak lupa, Roma juga dinobatkan sebagai salah satu dari sepuluh film terbaik 2018 versi American Film Institute (AFI). Pencapaian-pencapaian tersebut membuat kita penasaran, memang se-spesial apa sih Roma itu?

Well, sebelum kita mengulas tentang filmnya, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Roma merupakan sebuah memoir dari Alfonso Cuaron. Semasa kecil, ia dibesarkan di sebuah keluarga kelas menengah di Meksiko. Rumahnya cukup besar untuk menampung empat orang anak, ayah, ibu, nenek, seekor anjing, dan dua buah mobil. Saat itu keluarga dari Nyonya Sofia (Marina De Tavira) memiliki seorang asisten rumah tangga bernama Cleo (Yalitza Aparicio). Film kemudian mengikuti perjalanan Cleo dalam mengurusi rumah dan anak-anak Nyonya Sofia, plus mengurus kehidupannya sendiri.
Sebagai bentuk memoar yang dipersembahkan untuk seseorang, Alfonso memutuskan untuk membuat Roma dalam konsep hitam-putih. Ini dirasa tepat karena konsep seperti ini memang biasanya mewakili waktu yang sudah berlalu. Seringkali pula konsep hitam-putih digunakan dalam film berwarna ketika cerita sedang menceritakan bagian kilas balik (flashback). Maka dari itu, secara garis besar penggunaan warna hitam-putih sudah sesuai dengan tuntutan naratif. Tinggal bagaimana Alfonso mengemas paket secara keseluruhan sehingga Roma tidak terlihat sebagai film ala klasik yang membosankan.

Untuk menghindari itu, Roma menyampaikan gambar demi gambar memanfaatkan kecanggihan teknologi kamera. Film ini menggunakan kamera Alexa 65 HD Quality, yang merupakan salah satu kamera paling canggih untuk digunakan dalam dunia perfilman saat ini. Kamera tersebut bisa menangkap objek dengan sangat tajam dan hasilnya bisa kita lihat dari gambaran sederhana yang tampil di awal film Roma.
Alexa 65 HD Quality secara cantik menampilkan keindahan dunia “jadul” 70-an. An artful love-letter, di mana kita bisa melihat perubahan warna yang murni dari konsep hitam-putih ini. Tone yang sebetulnya membosankan berhasil dibuat lebih kaya dan ketika melihatnya, kita seperti ingin memotong kemudian membingkai gambar-gambar tersebut untuk dipajang di dinding rumah. Contoh kecil dari keajaiban kamera ini adalah, di salah satu bagian ketika latar waktunya sedang cerah, warna terang dari film bisa terlihat menjadi agak krem. Di sini Roma menunjukkan kualitasnya sebagai film dengan landasan klasik tapi output-nya pop. Sangat memanjakan mata.

Kemudian mengenai pengambilan gambarnya. Ada dua gaya yang sangat dominan di Roma. Pertama adalah pan. Ini merupakan pergerakan kamera di mana shot seringkali digambarkan pada pandangan mata kamera secara luas. Pergerakan kamera pan adalah horisontal, entah itu ke kanan maupun ke kiri, dengan posisi kamera tetap pada porosnya. Di dalam film, pergerakan kamera pan berguna untuk menimbulkan kesan memasukkan penonton ke dalam cerita. Kita bisa melihat secara langsung suasana keluarga Nyonya Sofia, isi rumah mereka, bahkan hingga denahnya juga bisa diraba. Meski tidak mengusung konsep “breaking the fourth wall”, penempatan kamera pan ini menjadikan penonton sebagai anggota keluarga berikutnya, atau Alfonso yang sedang berjalan kembali ke masa lalunya.
Teknik kedua adalah long take. Ini sudah menjadi semacam signature dari Alfonso Cuaron yang biasanya bisa kita nikmati di film-film sebelumnya. Long take sendiri memiliki pengertian di mana durasi sebuah shot lebih lama dari durasi shot pada umumnya. Pemanfaatan long take menimbulkan efek kontinuitas yang bukan tidak mungkin bakal membuat kita menahan nafas saking asiknya (atau kagumnya) mengikuti arah kamera bergerak.

Roma memanfaatkan teknik long take dengan dimensi jarak long shot, di mana tubuh karakter masih terlihat dengan lengkap dari atas ke bawah, namun background dari tempatnya berjalan adalah yang dominan. Ini sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh film, di mana ketika long take terjadi, latar belakangnya adalah isi rumah yang diperlihatkan mulai dari lantai dua. Efek pencahayaan juga bermain dengan cantik. Long take di Roma memang tidak sebombastis long take di “Gravity”. Teknik ini ditempatkan secara sederhana dan berfungsi selain untuk mendukung tuntutan narasi juga agar tampilan hitam-putih semakin terlihat stylish.
Lanjut tentang bagaimana film men-setting sebuah adegan besar yang melibatkan banyak orang (extras). Ada satu saat di mana Roma menampilkan sedikit unsur sejarah dalam narasinya. Di situ karakter utama terlihat sedang membeli sesuatu dan apesnya, di saat yang sama kota Mexico City juga sedang panas-panasnya. Set-up dan waktu klimaks dari ketegangan tersebut ditampilkan dengan brilian. Tentu tidak mudah dalam menampilkan adegan yang mana latar belakangnya tidak kalah kuat dengan latar depan. Harus ada pengarahan yang baik agar penonton bisa menangkap emosi yang ada, tidak hanya dari karakter utamanya namun juga orang-orang di sekelilingnya.

Seperti halnya Orson Welles, Cuaron juga memanfaatkan pergerakan pemain pada latar depan, latar belakang, deep focus kamera, dan sudut kamera sehingga menghasilkan kesatuan gambar yang utuh. Ini sesuai dengan apa yang sedang diceritakan, di mana latar tempat di bagian ini sedang tidak kalah menarik untuk ditampilkan ke permukaan. Ditambah dengan tedengar sayup-sayupnya suara keributan dari kejauhan, bagian yang satu ini memang tidak boleh dilewatkan.
Untuk para pemeran, di sini lah Roma terlihat begitu otentik. Film tidak menampilkan satu pun bintang besar. Ini membuat Roma semakin berasa memoir-nya karena kita seperti melihat kisah orang lain, yang betul-betul ditampilkan oleh orang lain tersebut. Bukan oleh Nicole Kidman, atau Jennifer Lawrence, atau Lady Gaga, dan segala macam aktris dan aktor lainnya. This one looks like real people because we don’t know them. Kredit patut dialamatkan kepada Yalitza Aparicio yang memerankan Cleo. Ia tampil solid, di mana Cleo akan menjadi spotlight yang mendapatkan masalah berat seiring waktu berjalan. Selain itu, chemistry yang terjalin antara Cleo dan anak-anak Sofia juga terlihat genuine. Background pekerjaan Cleo yaitu sebagai guru memudahkannya untuk menyatu dengan anak-anak. Rasanya tidak perlu untuk memberikan prediksi yang terlalu muluk untuk performance Yalitza di sini. Ia sudah bermain baik dan itu sudah cukup.

Hanya saja, karena Roma adalah passion project berbentuk memoar, kita sebaiknya mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum menontonnya. Film ini sama sekali tidak memiliki scoring. Hanya diagetic sound saja, di mana seluruh suara memang berasal dari dunia filmnya seperti suara dialog antar karakter, suara benda-benda, atau musik atau lagu yang dimainkan oleh tokoh di dalam film. Absennya unsur scoring ini justru membuat Roma sedikit membosankan, dan bukan tidak mungkin bagi kamu yang nonton film ini ketika sudah capek bekerja seharian akan segera ketiduran. Salah satu fungsi music scoring adalah untuk membangun mood. Emosi apa yang ingin dibuat berdasarkan scene yang ada. Jika tidak memiliki ini, maka penonton harus bekerja ekstra keras karena mood hanya di-setting dari akting para karakter saja dalam mengolah dialog.
Kemudian mengenai awal ceritanya. Karena ini sebuah memoar yang ditampilkan dari karakter yang disayangi oleh Cuaron dulu, maka kita perlu untuk segera masuk ke Cleo. Tidak hanya siapa dia, namun juga mengenai permasalahannya dalam hidup agar terbangun rasa peduli. Tapi film tidak segera menunjukkan hal itu. Roma lambat pada masa awal filmnya, di mana Cuaron memutuskan untuk melakukan eksposisi secara lambat sehingga elemen-elemen artistik bisa tampil secara maksimal. Jelas ini butuh waktu dan kita baru akan klik sama Cleo di babak berikutnya.


Value ceritanya simpel. Mengenai arti dari kebersamaan sebuah keluarga ketika menghadapi masalah. Ini merupakan sesuatu yang universal, dan melihat siapa-siapa saja yang stand-out ke depannya setelah konflik meletus tidak hanya membuat kita mulai memerhatikan Cleo dan Sofia saja, namun juga semakin penasaran dengan keberlangsungan narasinya. Bagaimana keluarga ini tetap stay firm dan menghadapi masalah bersama. Bagaimana anak-anak merespon apa yang terjadi. Itu semua akan tampil menjadi penutup yang memiliki arti dan tentunya tetap dipertunjukkan oleh teknik pengambilan gambar yang wow sekali!
Sebuah film yang cantik dengan konsep tampilan klasik. Banyak hal unik yang berhasil diramu secara apik sehingga Roma menjadi perwujudan dari visi sang sutradara, yang coba dibawa ke level yang lebih tinggi. Jelas sekali bahwa Alfonso Cuaron semakin berada di puncak karirnya sebagai film maker disini. Nasib di awards season? Ah, itu kita lihat saja nanti.
Director: Alfonso Cuaron
Starring: Yalitza Apiricio, Marina de Tavira, Diego Cortina, Carlos Peralta, Marco Graf, Daniela Demesa, Nancy Garcia, Veronica Garcia
Duration: 135 Minutes
Score: 8.5/10