“Life is full of possibilities. You just need to know where to look. Don’t miss out on the joys of life.” – Joe.
Natal tahun ini semakin meriah dengan hadirnya film terbaru dari Disney Pixar, yaitu “Soul”. Film ini disutradarai oleh Pete Docter, yang sebelumnya sukses lewat “Up” dan “Inside Out”. Film “Soul” sendiri awalnya direncanakan rilis di bioskop, namun akhirnya berlabuh di Disney+ akibat pandemi.
Film bercerita tentang Joe Gardner (Jamie Foxx), seorang guru musik di sebuah sekolah, yang baru diangkat sebagai pegawai tetap. Meski begitu, Joe sebenarnya gak terlalu excited karena Ia merasa kesempatan untuk mengejar impian sebagai musisi telah sirna. Eh ternyata, Joe mendapatkan kesempatan sekali seumur hidup ketika diminta jadi pianis pengganti dalam sebuah band jazz.
Mendapatkan julukan “Teach”, Joe yang senang bukan kepalang tau-tau jatuh ke dalam lubang yang menganga di jalan. Ia kemudian terbangun dalam bentuk jiwa dan berada di alam bawah sadar.

Pete Docter kembali membahas tentang sesuatu yang tak nampak dalam diri seorang manusia. Setelah ia membahas emosi lewat “Inside Out”, kini Pete mencoba lebih advance lagi dengan membahas jiwa manusia lewat “Soul”.
Kenapa dibilang lebih advance? Well, mostly karena konsepnya kali ini lebih ruwet dari “Inside Out”. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana dunia alam bawah sadar ditampilkan, lalu bagaimana proses kerjanya juga. Ada beberapa penggambaran yang mirip dengan apa yang dipelajari.
Seperti tempat di mana Joe terbangun setelah jatuh itu mirip dengan siratal mustakim, jalan yang menghubungkan kita dengan surga (dalam film disebut dengan The Great Beyond). Tapi bedanya, kalau jatuh, kita gak masuk neraka melainkan jatuh ke alam bernama The Great Before.

Nah ini menarik karena film mengkonsep The Great Before adalah alam di mana jiwa-jiwa itu, bisa dikatakan, belajar sebelum masuk ke dalam tubuh seseorang. Dalam film ada sebuah konsep di mana sebuah jiwa harus memenuhi poin krusial agar sahih untuk terjun ke dunia. Poin paling krusial diberi nama “Spark”.
Nah, karena jiwa-jiwa cilik ini perlu bimbingan untuk mendapatkan spark-nya, maka dibutuhkan bantuan dari jiwa-jiwa yang akan pergi ke The Great Beyond. Joe, sebagai orang yang baru jatuh ke dalam lubang, termasuk di golongan ini.
Sebuah konsep yang keren dan kembali gak kepikiran sama kita, dan ini adalah cara yang bisa membuat kita invest baik sama Joe yang menjadi mentor dadakan dengan karakter bernama 22 (Tina Fey). Dua karakter ini punya kepentingan masing-masing yang bisa dilihat nanti keterhubungannya.

Masuk ke penggambaran animasi untuk alam bawah sadar dan isinya, khususnya The Great Before. Dari penggambaran karakter, tentunya kita bisa melihat bedanya antara jiwa-jiwa baru dan lama. Jiwa-jiwa baru digambarkan lebih simpel, bulat-bulat lucu. Sementara itu jiwa-jiwa lama sedikit lebih tinggi, dengan atribut yang menempel seperti memakai topi dan kacamata dsb.
Nah yang asik adalah film juga menggabungkan teknik animasi 2D untuk karakter yang bisa dikatakan adalah penjaga di alam bawah sadar. Lalu di The Great Before juga terdapat bangunan yang gak bisa kita langsung cerna itu maksudnya apa meski terkait dengan kepribadian. Lalu nanti akan ada tempat di mana terdapat fasilitas agar si jiwa-jiwa yang akan turun ke Bumi menemukan spark nya.
Tidak lupa, ada juga bagian yang dark, di mana terdapat dua penggambaran berbeda antara orang yang lagi berada di zona nya dengan orang yang malah sebetulnya tersesat. Konsep grande yang coba ditampilkan secara atraktif. Cuman karena tema yang dibahas udah berat, “Soul” kurang cocok untuk anak-anak. Bisa bosan mereka.

Lanjut ke keterkaitan antara Joe dan 22. Eksposisi dari masing-masing karakter sangat jelas. Yang satu pengen segera turun ke Bumi, yang satunya gak mau. Nah bagaimana mereka bisa saling terhubung dan saling memengaruhi sehingga nanti mendapatkan sesuatu, itu yang kita cari-cari. Dari konsep alam bawah sadar tadi jelas penonton dapat melihat keterhubungan antara Joe dan 22.
Nah yang cukup mengagetkan adalah tahap konfrontasinya justru mengambil tempat bukan di alam bawah sadar. Di sini justru kita akan lebih melihat perkembangan dari 22, sementara Joe masih berada di level yang sama, alias belum berkembang. Karakter Joe baru berkembang saat turning point kedua, yang justru ditampilkan dengan konsep anomali.
Biasanya turning point kedua itu diawali dengan karakter utama ada di poin terendah dalam cerita. Sang karakter lalu menemukan trigger untuk kemudian bangkit. Nah justru di “Soul”, apa yang dialami karakter utama adalah sesuatu yang bagus banget. Tapi justru di situ lah “nyes”-nya sehingga turning point kedua memiliki entry yang oke dengan durasi yang tersisa.

Dari sini kita bisa melihat sebuah pendewasaan yang ngena banget. Pertama, bagaimana kita peduli dengan orang lain. Tidak egois, apalagi buat orang yang sebetulnya menjadi tanggung jawab kita. Poin ini memang menjadi satu-satunya tools untuk menciptakan aroma bawang dan toh juga gak bawang-bawang amat.
Cuman di sisi lain hubungan mentor-buddy ini juga memunculkan value besar dari “Soul” yaitu mengenai purpose hidup. Bagaimana kita menjalani hidup yang ada di dunia dengan purpose di dalamnya. Bagaimana kita bisa memanfaatkan purpose itu untuk kebaikan selama hidup di dunia? Bagaimana jika kita belum merasa menemukan purpose dalam hidup?
Ini kena banget asli buat penonton usia 20-an, yang mana mulai mencari makna dan tujuan hidup gue tuh apa. Gimana kalau apa yang menjadi purpose hidup kita belum tercapai, atau mungkin gagal untuk diraih? Well, seperti yang pernah dibilang sama karakter Dory, “just keep swimming”. Ini bukan akhir dunia kok. Just keep jazzing.

Jika dibalik, toh juga kita sebetulnya masih berada di kehidupan yang sama ketika apa yang kita tuju itu tercapai kan. Mungkin akan menjalani rutinitas seperti biasa, meski accomplishment yang ada membuat “props”-nya jadi lebih terlihat beda. But yeah, either we made it or not, we’ll gonna be fine. Nothing to worry about, atau bahkan sampai disesali hingga kita jadi depresi. The show must go on, apapun kondisinya bukan? Kurang lebih itu lah yang bisa ditangkap dari film ini.
Tidak lupa, dalam tahap konfrontasi, “Soul” juga mengembangkan cerita menggunakan presence dari karakter-karakter pendukung agar feel-nya lebih berasa, apalagi buat si 22. Ini emang pro-kontra sih karena Joe Gardner nya jadi sedikit ketutup, cuman dengan eksposisi 22 yang gak bisa dibilang remeh, lalu pemanfaatan konsep anomali menjelang turning point kedua, membuat tertutupnya karakter Joe memiliki penawar yang lumayan.

By the way, akan ada sebuah scene kecil yang sepertinya berdampak besar, yang mana menggunakan unsur metafora.
Bagaikan ikut seminar motivasi yang kena banget, tapi anehnya tanpa acara nangis-nangis segala. “Soul” adalah sebuah perjalanan untuk kembali mensyukuri hidup, yang dipandu oleh kisah mentor-buddy antara karakter Joe Gardner dengan 22.
Build-up narasi dipadukan dengan penggambaran alam yang tidak pernah kita jumpai selama ini. Keduanya terhubung dengan baik, meski tetap terasa berat dan presence dari karakter utama yang tetap ada namun perkembangannya baru meledak di turning point kedua. Another feels good movie by Pixar, apalagi untuk menyongsong tahun baru 2021.
Director: Pete Docter
Cast: Jamie Foxx, Tina Fey, Daveed Diggs, Questlove, Richard Ayoade, Sam Lavagnino, Phylicia Rashad, Angela Bassett, Graham Norton, Rachel House
Duration: 100 Minutes
Score: 8.0/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Soul
Soul menceritakan tentang Joe Gardner (Jamie Foxx), seorang guru musik di sebuah sekolah, yang baru diangkat sebagai pegawai tetap. Meski begitu, Joe sebenarnya gak terlalu excited karena Ia merasa kesempatan untuk mengejar impian sebagai musisi telah sirna.Eh ternyata, Joe mendapatkan kesempatan sekali seumur hidup ketika diminta jadi pianis pengganti dalam sebuah band jazz.Mendapatkan julukan "Teach", Joe yang senang bukan kepalang tau-tau jatuh ke dalam lubang yang menganga di jalan. Ia kemudian terbangun dalam bentuk jiwa dan berada di alam bawah sadar.Apa yang terjadi dengan Joe kemudian? Dan apakah ia bisa kembali ke bentuk fisiknya?