“We want a world where we’re safe to be ourselves. To think like we want, without having to answer to anybody for it. We have to be there for each other.” – Eli Goore
Satu lagi film yang digadang-gandang akan menjadi nominee Oscar tahun ini. Judulnya adalah “One Night in Miami”, yang bercerita tentang kumpulnya empat orang sahabat , yang juga merupakan tokoh-tokoh besar yaitu Malcolm X, Muhammad Ali (saat itu namanya masih Cassius Clay), lalu Jim Brown, dam yang terakhir adalah Sam Cooke.
Mereka berkumpul untuk merayakan kemenangan Cass menjadi petinju nomor satu dunia. Tapi ternyata, Malcolm, yang mengundang mereka semua ke tempatnya, punya rencana berbeda. Dari situ muncul lah sebuah dialog, yang bahkan beberapa kali menyulut pertengkaran, antara empat sekawan tersebut. FYI, “One Night in Miami” dibuat berdasarkan pementasan teater yang ditullis oleh Kemp Powers. Kemp juga yang menulis naskah untuk versi filmnya, dan Kemp sendiri sebetulnya sudah memancing perhatian kami lewat apa yang Ia tulis di film “Soul” tahun lalu.

“One Night in Miami” dibuka dengan memperkenalkan empat sekawan itu. Mereka adalah representatif dari bidang yang berbeda-beda. Malcolm datang mewakili hak asasi manusia. Jim adalah seorang atlet NFL sukses yang kini sedang memasuki karir yang baru. Sam Cooke berangkat dari dunia musik, sementara Cass jelas sama dengan Jim, datang dari dunia olahraga.
Uniknya, tak seperti ketiga yang lain, Cass di sini sedang berada di posisi transisi sebagai manusia. Prolog menampilkan sesuatu yang berbeda dari profil karakter mereka yang sebetulnya bernama. Regina dan Kemp justru memutar hal itu 180 derajat terbalik. Kita akan melihat empat sekawan ini menelan pil pahit dalam hidup mereka masing-masing, dan pil pahit ini sukses berbicara secara konteks tentang apa yang akan dibawakan oleh filmnya nanti.
Jika bertanya apa yang menjadi bagian favorit dari prolog? Tentu jawaban paling benar adalah bagiannya Jim Brown. Di sini Cilers bisa tercengang karena film mengakhiri bagian Jim dengan sesuatu yang tidak kasar namun menyesakkan. Sebuah kondisi di mana sang megabintang NFL ternyata dikerdilkan. Gak ngaruh seberapa kuatnya dia, seberapa populernya dia, namun Jim tetap seorang outsider.

Singkat cerita, empat tokoh ini kemudian berkumpul di sebuah motel di Miami – Florida. Di sini film harus bisa dengan smooth masuk ke permasalahan. Jika dilihaat, caranya boleh juga karena awalnya memanfaatkan humor dan kemudian masuk semakin dalam. Masuk semakin dalamnya memanfaatkan eksposisi dari salah dua karakternya, yaitu Malcolm X dan Cassius Clay.
Perdebatan mulai terjadi dan merembet ke hal yang sudah kita duga sebelumnya. Malcolm di sini akan jadi sorotan karena dari eksposisi yang ditampilkan, Ia memberikan sebuah pernyataan yang cukup serius terkait dengan kondisi sosial masyarakat Amerika pada tahun 60-an tersebut. Nah, kurang lebih ini nanti akan merembet ke Sam Cooke dan di saat itu lah suasana jadi semakin memanas.
Tenang, memanasnya ini bukan tanpa sebab. Lewat dialog yang ditulis Kemp dan acting yang fluid dari ke-4 aktor, kita bisa melihat apa sih yang diinginkan dan bagaimana keinginan seseorang itu tidak dapat dengan mudah disetujui karena masing-masing pribadi memiliki cara berbeda dalam memaknai dan menjalani apa yang menjadi tujuannya.
Flaw tentu ada. Salah duanya itu soal interseksi dan Jim Brown. Kita bahas Jim Brown dulu deh, karena lebih sederhana. Dia bisa dikatakan karakter terlemah ketika ke-4 orang ini sudah berkumpul. Yang bisa kita lihat dari Jim adalah bagaimana ia memberi tahu perkembangan karirnya, dan kemudian lebih menaampilkan kesan yang cool.
Nah soal interseksi, ini penting juga karena keempat orang tersebut berasal dari beragam disiplin bidang. Bagaimana film menyatukan itu semua dalam satu mangkok yang sama? Kuncinya diberikan dengan jelas di tahap konfrontasi. Paling berasanya, ya lagi-lagi ketika perseteruan memanas antara Maalcolm dan Sam. Meski begitu, terdapat satu interseksi yang cukup sulit untuk masuk yaitu mengenai transisi Cassius dan hubungannya dengan Malcolm.

Sulit untuk melihat bagaimana sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan itu relate dengan yang berhubungan sama sosial politik. Kalau untuk kepentingan pribadi, mungkin masih bisa. But then again, bagaimana itu bisa dihubungkan dengan tema besarnya? Di sisi lain hal ini menunjukkan flaw dari satu karakter yang dari awal nampak suci dan mengundang simpati, padahal Ia memiliki pemikiran yang sangat hitam-putih lagi militan.
Tapi mesti diakui, diluar itu konflik yang diomongin oleh para karakter mengalir lancar. Hal ini tak lepas dari bagaimana penerapan blocking pemain, dan yang tak kalah pentingnya lagi, akting. Empat aktor inI memerankan karakter masing-masing dengan baik. Yang paling memorable adalah Leslie Odom jr. sebagai Sam Cooke. Lewat outfit-nya yang paling kece dari semua, Leslie memberikan bagaimana karakter Sam dengan perspektif lainnya mengenai empowerment.
Sam juga bisa terlihat santai dan juga intens. Konflik memanas pun salah satunya dengan ada dia di dalamnya. Yang menjadi poin plus di sini adalah, film tidak menyia-nyiakan kemampuan Leslie dalam menyanyi. Dalam sebuah scene di akhir, kita akan melihat Sam Cooke menyanyikan sebuah langu dengan penuh penghayatan dan dengan suara yang sangat indah.
Berikutnya adalah Kingsley Ben-Adir. Dia memerankan Malcolm X, karakter yang sangat penting di film ini. Di luar interseksi dengan profilnya sebagai seorang muslim yang taat, Malcolm sangat vokal terhadap hak asasi orang kulit hitam dan perjuangan itu bisa kita lihat dari bagaimana Kingsley memotret karakternya di film ini. Ada lah beberaapa kali aktingnya membuat kita terdiam. Belum lagi Malcolm di sini juga sedang merasa was-was. Ia merasakan sesuatu yang berada diluar jangkauannya.

Eli Goree berperan sebagai Cassius Clay yang nanti akan berganti nama menjadi Muhammad Ali. Sungguh peran yang menantang untuk berperan sebagai juara dunia, apalagi “One Night in Miami” akan dibuka oleh pertarungannya. Meski begitu, Eli bisa menampilkan tuntutan naratif dengan baik, tidak hanya lewat tampilan fisik namun juga attitude seoarng juara yang begitu menonjol.
Terakhir adalah Aldis Hodge sebagai Jim Brown, legenda NFL. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Jim adalah sosok karakter yang cool. Dia yang paling tidak meledak-ledak, kalem. Meski begitu, Aldis tetap mampu menampilkan bagaimana Jim berpikir dan menyampaikan gagasannya dengan lebih bijaksana.
Film ini memang berdasarkan kejadian nyata, dengan penambahan dramatisasi pada dialog yang dikeluarkan oleh keempat karakternya. Vulture menulis, keempat tokoh ini memang berteman dan memang sempat bertemu dalam sebuah malam di Miami. Nah, ambiguitas tentang apa yang sebetulnya terjadi dalam event tersebut sangat menarik untuk dikulik, dengan kebebasan kreatif yang diambil Regina King dalam menampilkan apa saja yang terjadi di sekitar peristiwa tersebut.
Hasilnya, Regina menampilkan bahwa apa yang dibicarakan di sana adalah percakapan mengenai identitas, kemudian tanggung jawab (mengingat keempat orang ini memiliki pengaruh) terhadap kesetaraan warga kulit hitam di Amerika Serikat, dan bagaimana masing-masing dari mereka bereaksi terhadap hal tersebut. Beberapa trivia dari referensi sejarah tidak lupa ditampilkan seperti Muhammad Ali yang sedang berfoto di kolam renang, kemudian Malcolm X dengan hobi fotografinya.
Director: Regina King
Cast: Kingsley Ben-Adir, Leslie Odom jr., Aldis Hodge, Eli Goree
Duration: 111 minutes
Score: 7.7/10
(Editor: Juventus Wisnu)
WHERE TO WATCH
The Review
One Night In Miami
'One Night In Miami' berdasarkan dari drama Kemp Powers, film ini berlatar pada malam bersejarah pada tahun 1964 ketika Cassius Clay merayakan kemenangan gelar juara tinju kelas berat dunia bersama tiga teman terdekatnya yaitu penyanyi Sam Cooke, aktivis Malcolm X, dan bintang sepak bola Jim Brown.Drama yang awalnya dinominasikan untuk Olivier Award pada 2017 untuk best play oleh Kemp Powers, sekarang akan disutradarai sebagai film fitur oleh Regina King.Film ini mengimajinasikan kembali kisah nyata tentang apa yang terjadi pada malam keempat pria itu merayakan kemenangan Clay sebelum ia dikenal sebagai Muhammad Ali.