“Sometimes I feel like I’ve already seen everything that’s going to happen. And it’s a nightmare.” – Cherry.
Tinggal menunggu waktu bagi seorang aktor muda untuk mencoba tantangan yang lebih tinggi. Toh ini juga dibutuhkan oleh mereka agar kemampuannya sebagai aktor lebih terasah.
Bulan lalu Zendaya sudah membuktikannya di film drama-romansa “Malcolm & Marie”. Nah kini giliran rekannya dari franchise “Spider-Man” yaitu Tom Holland yang melakukan hal serupa lewat film “Cherry”.
Di sini Tom berperan sebagai seorang biasa, yang menjalani kehidupan yang kurang mengenakkan. Berawal dari sebuah dinamika hubungan percintaan remaja, karakternya lalu pergi ke akademi militer sebelum bergabung bersama tim medis di Perang Irak. Setelah itu, ia kembali dan menjadi seorang pecandu.

Kelihatan sudah ada beberapa poin sekaligus yang dapat membuat Tom menggali potensi aktingnya. Mulai dari mempotret seseorang yang trauma, hingga kecanduan itu tadi. Belum lagi drama dari kisah percintaan karakter utama. Itu akan semakin membuatnya berada di tengah-tengah spotlight.
Filmnya sendiri terdiri dari lima babak, plus prolog dan epilog jadi ya panjang sih. Udah gitu disajikannya juga secara slow pace. Susunan naratifnya sembilan puluh persen lempeng lurus ke depan, dengan bagian variasinya tampil di depan dan ini sudah lazim digunakan. Fase demi fase kehidupan dilalui secara perlahan dan penuh drama.
Udah gitu penggunaan suara naratornya juga termasuk banyak, jadi jatohnya kayak penonton berasa didongengin sama Tom Holland. Memang sih, di beberapa scene yang ada narasinya, “Cherry” menggunakan konsep breaking the fourth wall. Namun itu belum cukup untuk mengusir rasa bosan yang ada gara-gara penceritaan yang lamban tadi.
Toh juga sebetulnya secara garis besar tema yang ingin ditunjukkan walaupun penting namun sudah beberapa kali diangkat. Jadi kembali lagi ke paragraf pertama, alasan utama betah mantengin ini karena penasaran aja sama Tom Holland. Dia mampu menampilkannya sejauh apa?
Dari segi sinematik, dari awal sudah ditunjukkan beberapa sajian visual yang menegaskan kesan flashy atau stylish. Ini bisa jadi pisau bermata dua sih karena di satu sisi ini tentu membuat filmnya jadi nampak keren dari awal.

Tapi di sisi lain apakah hal ini sesuai dengan tuntutan naratifnya? Apakah kondisi yang ada di layar cukup nyambung dengan kesan yang ingin dimunculkan dari creative technical decision tersebut? No. Apakah hal ini sesuai dengan kondisi narator ketika sedang menceritakan pengalaman tersebut? No either.
Kemudian beranjak ke tahap setelah perang, di sini ada semacam social commentary yang nyeleneh ditampilkan oleh film, di mana secara langsung merujuk ke latar tempat yang bersangkutan. Kemudian di saat perang, terdapat satu scene yang lumayan gross tapi diperlukan. Somehow, latar peperangan dan juga crime membuat “Cherry” punya variasinya sendiri.
Meski begitu, porsinya kan sama-sama besar antara dua poin itu sama drama romansanya. Perpaduan antara ketiganya akan menjadi pertanyaan. Bisa nge-blend dengan oke gak nih kira-kira?
Hal yang menjadi concern berikutnya adalah, bagaimana film me-maintain karakter-karakter pendukungnya yang mana juga kurang baik. Dalam artian, tidak ada satu pun karakter pendukung, kecuali pacarnya Tom Holland di film ini, yang memorable lah seenggaknya. Dalam bagian perang, kita tahu apa yang menjadi momok bagi karakter utama. Tapi di sisi lain kita tidak bisa invet juga ke sana karena poin persahabatan yang ditampilkan masih kurang mampu untuk membuat kita, “Oke ni orang bedua udah sohib nih!” atau semacamnya.
Masih di tahap yang sama, terdapat scene yang ganggu banget dan kecenderungan dari “Cherry” juga sih. Mereka suka menampilkan sebuah scene ketika satu karakter pendukung diperkenalkan. Gak semuanya berhasil dan di yang bagian perang ini sepertinya kita juga tidak membutuhkan scene tersebut.
Tidak ketinggalan, nanti penonton juga akan melihat sebuah penampilan Tom Holland yang beda, tapi jatuhnya malah maksa. Kesannya jadi kocak dan ini membuat rasa yang ingin ditularkan apda penonton jadi sekedar angin lalu.
Akting dari Tom Holland oke. Ia mampu membuat penonton bisa kasian sama karakternya. Cuman di sisi lain, tidak banyak waktu yang Tom miliki untuk menampilkan perkembangan karakter itu sendiri. Dalam hal mendalami, mulai dari nestapa satu ke nestapa lainnya, itu bagus. Keliatan lah. Tom bisa memakan hal itu.
Tapi pendalaman karakter saja tidak cukup. Penonton juga ingin melihat bagaimana perkembangannya. Nah apakah Tom mampu menjawab tantangan itu juga dalam waktu yang singkat itulah yang tidak kalah penting untuk ditunggu. Tom pastinya terlihat berbeda dari yang mungkin biasa teman-teman lihat aktingnya ya. Ia di sini lebih suram, lebih raw, lebih stressfull, dan ada lah satu dua scene yang mewakili ini.
Cuman walaupun penampilan Tom bagus, namun rasanya masih belum bisa bilang kalau performa ini adalah kaliber Oscar. Belum. Belum selevel itu. Sabar, semuanya butuh proses.

Dalam menyajikan ketersambungan antara muatan PTSD dan junkie, film ini menempatkan poin “what if” sebagai midpoint trigger-nya. Jadi semuanya itu bermula dengan pertanyaan yang akan men-drag back kita ke masa eksposisi dulu, di mana semuanya masih baik-baik saja, belom ada militer, belom ada apa, benar-benar ketika terjadi turning point pertama.
Aneh juga sih sebetulnya melihat solusu yang muncul dari pertanyaan drag back tersebut, cuman bisa jadi itu perngaruh dari source material nya. Hanya saja, hal ini bisa membuat penonton merasa aneh dan akhirnya kehilangan empati terhadap pasangan muda tersebut.
Lalu kita juga semakin sadar akan midpoint ini lewat pemanfaatan satu indikasi yaitu munculnya karakter baru. Hadirnya dia berdampak pada intensitas film yang semakin tinggi, dan khusus untuk “Cherry”, ketersambungan antara PTSD dan junkie tadi.

Capek dan frustasi adalah kesan pertama setelah nonton film ini. Tom Holland akan menuntun kita untuk melewati babak demi babak tanpa ada satu pun turns yang bisa membuat kita jadi excited. Sudah begitu kita jadi makin sulit untuk masuk ke dalam cerita karena penggunaan narator dan breaking the fourth wall yang terlalu masif.
Narator bikin kita kayak didongengin lalu breaking the fourth wall lebih efektif jika diterapkan dalam sebuah film yang ingin mengangkat sesuatu yang berbau komedi.
“Cherry”, dengan penggambarannya yang kayak begini, jelas kurang sesuai dengan creative decision tersebut. Beberapa visualnya yang ala-ala trippy di awal rasanya juga kurang cocok dengan tuntutan naratifnya sehingga tidak menyumbangkan apapun selain terlihat keren. Biasanya disebut dengan style over substance.
Sedikit kaitannya dengan itu, ada penampakan lainnya yang dirasa ga sesuai sekali. Pertama adalah di salah satu proses awal masuk militer. Yang kedua adalah di akhir film, yang membuat tampilan Tom maunya lebih dewasa namun jatuhnya konyol.
Penasaran melihat akting Tom Holland di film ini? ‘Cherry’ sudah bisa kalian tonton di Apple TV+.
Director: Joe Russo, Anthony Russo
Cast: Tom Holland, Ciara Bravo, Michael Gandolfini, Jack Reynor, Forest Goodluck, Jeff Wahlberg
Duration: 142 Minutes
Score: 6.4/10
WHERE TO WATCH
The Review
Cherry
Cherry mengisahkan perjalanan hidup seorang pria bernama Cherry yang penuh suka duka dengan gaya narasi mendongeng oleh pemeran utamanya.Dengan durasi panjang, film ini akan mengupas jatuh bangun karakter Cherry yang hidupnya terpuruk setelah perang usai. Bagaimana kelanjutan film ini? Tonton segera di Apple TV+