“If the law differentiates on the basis of sex, then how will women and men ever become equals?” – Ruth Bader Ginsburg.
Salah satu tokoh ikonik di abad 20 yang kini masih menjabat sebagai Hakim Agung Amerika Serikat, Ruth Bader Ginsburg, atau biasa dikenal dengan nama RBG, hadir dalam sebuah film biopik yang menceritakan tentang kehidupan dan awal karirnya.
Berawal dari seorang pengacara yang kini menjadi Hakim Agung. “On the Basis of Sex” juga menjadi peringatan 25 tahun Ginsburg diangkat ke Mahkamah Agung dan kisahnya yang inspirasional bisa kita nikmati di layar lebar Indonesia.
Walaupun film ini tidak sepenuhnya bertutur sebagai biopik, karena pada sesungguhnya “On the Basis of Sex” hanya mengambil rentang waktu yang terbilang pendek, yakni sejak awal dia kuliah pada tahun 1956 hingga era 70’an. Namun pada era ini lah Ginsburg menapaki karirnya di dunia yang penuh ketidakadilan dan pergolakan, kehidupan keluarganya yang naik turun dan juga beberapa ide nya yang terbilang revolusioner untuk masa itu. Sebuah dramatisasi visual yang kaya akan sisi edukasi ketimbang sebuah film biopik layar lebar.
“On the Basis of Sex” dimulai pada tahun 1956, ketika Ruth (Felicity Jones) menjadi satu dari hanya sembilan wanita yang terdaftar dalam kelas baru yang berisi sekitar 500 pria di Harvard Law School. Meskipun dikritik oleh dekan sekolah itu sendiri, Erwin Griswold (Sam Waterston), karena “mengambil tempat yang seharusnya menjadi milik lelaki” di Harvard, Ruth dengan cepat naik ke peringkat teratas di kelasnya pada tahun berikutnya. Bahkan ketika suaminya Martin (Armie Hammer) – seniornya sesama mahasiswa Hukum Harvard menderita kanker testis, Ruth membantu kuliah suaminya, dengan mengikuti semua kuliah suaminya dan dirinya sendiri demi mendapatkan gelar sarjana hukum mereka, sementara pada saat yang bersamaan merawat bayi perempuan mereka yang baru saja lahir.
Maju ke awal tahun 70-an, Ruth sudah menjadi profesor di Rutgers Law School yang mengajarkan tentang hukum dan gender, tetapi rasa frustrasi nya makin menjadi ketika dia tidak dapat memerankan peran yang lebih aktif dalam perjuangan melawan isu seksisme yang saat itu sudah dilegalkan. Namun, ketika Martin menyampaikan ide (sekilas kelihatannya tampak sebagai kasus yang biasa-biasa saja) yang melibatkan perpajakan, Ruth menyadari bahwa kemenangan di sini bisa menjadi preseden yang akan bertentangan dengan diskriminasi gender yang telah berlangsung lebih dari seabad lamanya. Bertekad untuk menyelesaikan kasus ini, Ruth bekerja sama dengan Martin dan direktur hukum nasional ACLU (American Civil Liberties Union), Mel Wulf (Justin Theroux), bersama-sama mereka berusaha membawa perubahan yang sudah diperjuangkannya selama bertahun-tahun.
Film ini disutradarai oleh sutradara senior, Mimi Leder (The Peacekeeper, Deep Impact) yang akhir-akhir ini lebih banyak menyutradarai serial televisi. Naskah film ini ditulis oleh keponakan Ginsburg sendiri, Daniel Stiepleman. Secara keseluruhan film ini memang tidak menyajikan melodrama ruang sidang yang seharusnya tampil lebih galak dan penuh debat, namun ditampilkan lebih halus dan mencari aman lewat cut scene beberapa momen penting saja ketimbang mengaktualisasi adegan panjang yang sebenarnya harus tampil, sehingga terlihat lebih real. Memang tidak salah melakukan pendekatan seperti itu, karena lebih menghibur dan tetap efektif menginspirasi orang, walaupun sebenarnya kita hanya mendapat secuil perjalanan Ginsburg yang sebenarnya memiliki rentang waktu terbilang panjang.
Relasi Ruth yang naik turun dengan Martin dan kedua anaknya juga digambarkan proporsional sejajar dengan mainframe film ini. Suka duka yang dialami Ruth bersama keluarganya menggambarkan perjuangan seorang super woman yang mampu melakukan apa saja, kuliah di dua tempat sekaligus, mengurus suami yang sedang sakit dan sekaligus mengasuh anak, bukanlah pekerjaan yang mudah. Ketika anaknya, Jane (Cailee Spaeny) mulai beranjak remaja, masalah makin bertambah di era keterbukaan akan emansipasi perempuan dan persamaan hak yang disuarakan di seluruh Amerika kala itu.
Untuk sisi teknisnya, nuansa pertengahan abad 20 digambarkan dengan detil di setiap aspek, terutama dari kostum yang digarap oleh Isis Mussenden (The Chronicles of Narnia Trilogy, Masters of Sex), juga desain produksi oleh Nelson Coates (Crazy Rich Asians) yang menggambarkan setting jelang tahun 60’an kala Ruth melamar di berbagai firma hukum besar di New York. Shot-shot menarik juga datang dari Michael Grady (The Leftovers) yang akan memberi visualisasi menawan di sepanjang film.
Buat kamu yang menyenangi biopik dengan latar belakang masalah isu gender dan persamaan hak, film ini sangat pantas menjadi rujukan, terutama karena Ginsburg sendiri merupakan pembuka jalan agar kaum perempuan memperoleh kesempatan yang sama dengan kaum pria, begitu pun sebaliknya. Meski demikian, film ini memiliki pesan yang sangat bermakna yaitu perubahan nilai-nilai budaya tidaklah cukup untuk dijadikan pembenaran secara legal jika nilai-nilai hukum dan kelembagaan nya sendiri tidak berkembang dan orang-orang di balik lembaga itu tak memiliki visi yang sama dengan apa yang terjadi di luar sana.
Director: Mimi Leder
Starring: Felicity Jones, Armie Hammer, Justin Theroux, Jack Reynor, Cailee Spaeny, Stephen Root, Sam Waterston, Kathy Bates, Chris Mulkey
Duration: 120 Minutes
Score: 7.8/10