“We’re both failures, you and me, but at least I have an excuse. You’re just mediocre.” – Vivian.
Ini merupakan film keempat dari antologi “Welcome to Blumhouse” setelah “The Lie”, “Black Box”, dan juga “Evil Eye”. Di sini Blumhouse bercerita tentang bagaimana seseorang berurusan dengan ambisi sendiri, sehingga menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan.
Adalah Juliet (Sydney Sweeney), yang merupakan gadis dengan bakat musik luar biasa. Sayangnya, ia selalu mendapatkan semacam apresiasi yang kurang diharapkan. Ia seperti selalu berada dibawah bayang-bayang kakaknya, Vivian (Madison Iseman), seorang siswi senior yang nanti akan masuk ke Jiulliard. Baik Julie maupun Vivian bersekolah di tempat yang sama. Nah sekolah mereka ini ternyata pernah mendapatkan sebuah kasus di mana seorang murid perempuan diketahui tewas secara mengenaskan.
Dilihat dari eksposisinya, maka film ini akan memperlihatkan dua hal. Yang pertama adalah rivalitas kakak-adik yang tentu akan menjadi sesuatu yang menarik. Apalagi Juliet dan Vivian dianugerahi bakat yang sama. Jealousy pasti tak terhindarkan.

Kemudian yang kedua adalah musik. Ini juga penting karena kedua karakter penting itu sekolah di sekolah musik. Akan menarik untuk melihat bagaimana persaingan kaka-adik dibalut dalam alunan musik klasik. Semuanya pun bermula ketika pihak sekolah memutuskan untuk tetap mengadakan konser, yang pada aslinya konser tersebut akan menampilkan siswi yang tewas tadi sebagai performer utamanya.
Seiring dengan dentingan piano, film membuat ambience yang terasa kelam dan gloomy. Hal ini sudah bisa kita rasakan sedikit dari awal. Lalu untuk menegaskan awalan dari sebuah bagian yang intens, film membuat semacam treatment yang asik. Di sini kita bisa melihat permainan bayangan, yaitu bayangan pada objek. Jadi di sini bayangan pada objek terbentuk saat cahaya gagal menerangi seluruh permukaan objek.
Hasilnya adalah efek siluet yang biasa digunakan baik unruk motif cerita atau faktor estetika. Penerapan sinematik yang berasa berikutnya adalah mise-en-scene ketika Juliet masuk ke alam bawah sadar. Di situ warna langsung berubah dan dari sana kita diperkenalkan sebuah cahaya yang nanti akan terus menuntun hingga akhir.

Cahaya ini bisa dibilang membuat “Nocturne” gak terlalu terpaku sama formula horor biasa, karena di sini memang akan ada unsur klenik yang muncul. Tapi di sisi lain, kita akan sangat jarang melihat gangguan atau presence dari makhluk halus. Tercatat cuma sekali muncul, itu pun gak dibikin kaget, terus make-up hantunya juga kelihatan kurang meyakinkan akibat keberanian sineas menyorot wajah setannya secara close-up.
Presence gaib ini hanya dimunculkan lewat sebuah cahaya. Hal tersebut dibuat agar sejalan dengan apa yang tersimpan dalam benda klenik yang ditemukan pada turning point pertama. Apa yang akan kita lihat dalam catatan tersebut kurang lebih akan ditunjukkan juga secara simbolis di dalam film. Sesuatu yang sebetulnya nampak kurang lazim karena bentuknya yang bercahaya.
Lain dari itu, tampilan ini juga dibuat menggunakan animasi komputer sehingga tidak menyramkan, atau dalam kata lain sangat tergantung pada kepiawaian akting Sydney sendiri. Sayang, terdapat kelemahan dalam aspek naratif mengenai kutukan ini. Biasanya ada saat di mana karakter utama mencari tahu, which is, itu ada di dalam film.

Hanya saja, apa informasinya dirasa masih kurang menjawab hukum kausalitas dari kutukan itu. Somehow, hal ini membuat “Nocturne” tidak ubahnya horor remaja biasa, yang dilandasi oleh sifat alamiah mereka. Bedanya, film ditampilkan dengan penuh alunan musik klasik yang membuatnya terlihat cukup berbeda. Mewah, kemudian tidak terlalu ramai dan bising juga.
Karena membahas tentang ambisi, kita juga mesti lihat nih, ambisi macam apa sih yang mau diutamakan oleh film. Lho kok begitu? Karena dari awal kita melihat ada dua ambisi yang sama-sama dimiliki oleh Juliet. Pertama, adalah ambisi untuk menjadi yang terbaik. Kedua, adalah ambisi untuk menjadi sekedar lebih baik dari kakaknya.
Mana nih kira-kira yang dipilih? Setelah ditonton, lebih berasa domestik, sih. Feel menjadi yang terbaik dan menjadi yang lebih baik selalu bersinggungan. Cuman kalau dilihat dari bagaimana tahap konfrontasi berjalan, terlihat jelas ada perenggutan di sana. Sudah terbaca, perenggutan ini ada hubungannya dengan unsur gaib, cuman yang jadi masalah apakah untuk menjadi yang terbaik kita harus sampai merenggut?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Merenggut” adalah menarik dengan paksa. Ini sesuai dengan apa yang akan kita lihat. Makanya, di satu sisi konflik kakak-adiknya jadi kuat banget, bahkan menjurus ke sesuatu yang tidak patut, tapi di sisi lain konflik mengenai keinginan si adik itu jadi agak kabur. Padahal di salah satu scene, kita bisa melihat unsur itu ketika Juliet bertengkar dengan salah satu gurunya.
Walau demikian bottom line dari segala dualisme ini masih terasa jelas, sih. Film mengingatkan kita untuk tidak melakukan hal yang kelewat batas demi mendapatkan ambisi. Berambisi itu boleh aja, sah-sah aja, namun tidak bisa dilakukan dengan segala cara. Apa yang dilakukan dalam film ini jelas sudah kelewat batas dan mereka berusaha menggunakan itu agar penontonnya tetap waras.
Untuk bagian akting, Sydney dan Madison berkolaborasi dengan baik sebagai kakak-adik. Khusus untuk Sydney, karena dia adalah pemeran utama, maka kita perlu melihat apakah dirinya bisa membawakan perubahan karakter Juliet dengan jelas. Bisa dibilang Sydney membawakannya sesuai dengan tuntutan naratif.

Di awal kita masih melihat Juliet yang berontak, kemudian secara gamblang perubahan karakter ini akan jadi lebih jauh setelah terjadi sesuatu yang tidak terduga. Bukan tidak mungkin jika perubahan sikap Juliet bisa bikin kita bergumam kesal, tapi di sisi lain kita tentu tidak melihat dirinya yang langsung menjadi sosok yang “evil”, ya. Selain itu, memang unsur akting yang membuat film jadi lebih intense. Balik lagi, hal ini dikarenakan film cukup kesulitan membangun unsur seram secara visual di beberapa kesempatan.
Karena “Nocturne” ber-setting di sekolah musik, maka elemen yang satu ini tidak boleh kelewatan. Lagu yang paling disorot tentu saja adalah Saint-Saens. Kemudian ada juga Devil’s Trill karya Tartini. Masing-masing lagu punya perannya sendiri. Ada yang lebih ke arah memansakan konflik, ada yang lebih ke mengaktifkan sisi mistik.

Lalu agar nampak meyakinkan, beberapa kali kamera mengarahkan lensanya ke tangan dari pemain piano secara close-up. Shot semacam ini akan meningkatkan excitement kita dalam menikmati lagunya ketika sampai di not-not yang sulit.
Sebagai film horor, “Nocturne” tidak menyuguhkan teror dari hal-hal yang biasa kita saksikan dalam film horor, sehingga membuatnya tidak menyeramkan. Justru film lebih ke arah thriller karena ketegangan yang muncul bisa terus dijaga secara konsisten lewat cerita yang berfokus pada hubungan kakak-adik.
Cuman dibilang thriller juga kurang pas karena adanya aspek supranatural dan secara jelas satu kali menunjukkan penampakan. Jadi secara pengemasan, film ini masih terbilang tanggung. Semacam ada rasa canggung sebelum naik panggung. Meski begitu di sisi lain, once film sudah menetapkan arah cerita, seenggaknya mereka total di sana. Perasaan ini lah yang terus men-drive film sampai konser besarnya tiba.
Director: Zu Quirke
Casts: Sydney Sweeney, Madison Iseman, Jacques Colimon, Ivan Shaw, John Rothman, Rodney To, JoNell Kennedy
Duration: 90 Minutes
Score: 7.2/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Nocturne
Nocturne bercerita tentang bagaimana seseorang pianis dengan ambisinya yang besar, menghalalkan segala cara untuk mencapai kesuksesan.Apakah pianis itu berhasil memperoleh kesuksesan yang ia inginkan?