Masih segar di ingatan, ada sesuatu yang menarik ketika tim “Movie Freak” Binus TV masih dalam proses pencarian narasumber untuk episode yang satu ini. Dengan objektif untuk membahas bagaimana respon narasumber terhadap hasil alih wahana karya-karya Pramoedya di sinema, ternyata masih ada anggapan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang berat. Menakutkan. Membahas karya sastra seakan-akan tidak cocok dibawakan secara ringan dan santai. Bahkan, ada yang menyebut jika tim “Movie Freak” terlalu berani untuk membahas topik tersebut.
Saat itu juga terpikir oleh kami, mengapa anggapan-anggapan tersebut bisa muncul? Memang sih, sastra tidak seringan, let’s say, komik. Dengan gaya bahasa yang sudah berbeda, karya sastra kerap ditempatkan dalam strata yang seakan-akan lebih tinggi. Dalam lingkup yang mungkin lebih eksklusif. Lebih niche, sehingga ketika ada sesuatu dari luar yang ingin masuk dan berkenalan, maka akan disambut dengan dingin.
Ini kurang lebih sama dengan reaksi yang diterima “Bumi Manusia” ketika tersiar kabar tentang pembuatan filmnya oleh Falcon Pictures. Dengan pamor “Bumi Manusia” yang sudah sangat besar, banyak tanggapan negatif dari pembaca bukunya mengenai ketidakcocokan mereka terhadap Iqbaal maupun terhadap visi sutradara Hanung Bramantyo yang ditakutkan lebih menonjolkan unsur romansa dibanding pemikiran-pemikiran Pram di kisah tersebut.
Padahal kalau dilihat-lihat, logikanya, upaya memfilmkan itu bagus untuk menarik minat lebih banyak orang agar aware sama karya yang diadaptasi. Tapi mengapa ketika niatan tersebut datang justru langsung dihajar balik oleh banyak dari para pembaca bukunya sendiri? Nah, berangkat dari sana Adam dan Loki ngobrol-ngobrol bareng Penakota.id. Diwakili oleh Galeh dan Taufik, kami ingin tahu bagaimana pendapat mereka tentang upaya alih wahana yang tidak biasa ini. Mulai dari reaksi ketika mereka pertama kali mendengar kabarnya, setelah menonton filmnya, sampai harapan utopis ke depan. Oh sama satu lagi! Kami juga ingin membuktikan bahwa ngomongin sastra itu juga bisa dibawakan secara santai. Penuh canda tawa, tapi tetap tidak meninggalkan esensinya.
Apa kabar semuanya sehat?
Galeh & Taufik: Sehat, sehat. Alhamdulilah
Habis nonton “Bumi Manusia” tiga jam aman ya?
Galeh: Amaan! Kurang malahan.
Oh kurang ya hahaha! Mungkin kata Mas Galeh kurang, makanya habis itu langsung nonton “Perburuan”! Etapi sebelum kita ngobrol soal “Bumi Manusia” dan “Perburuan”, kita mau tahu dulu dong Penakota itu apa sih dan awal berdirinya gimana.
Taufik: Penakota tuh bukan komunitas. Dia lebih ke platform UGC. User Generated Content. Konten yang dibuat oleh user-nya. Terus Penakota itu terbentuknya awalnya sama alumni Binus juga.
Oh iya? Binusian juga. Binusian tahun berapa?
Taufik: 2011 dia. Fairuz namanya. Jadi awalnya Fairuz gue ajak ke salah satu acara sastra di bilangan Jakarta Selatan. Sepulang dari acara, Fairuz berinisiatif untuk mewadahi, masih ngawang sih, mewadahi pecinta sastra. Lantas kita berdua mengajak dan mengadakan acara sastra kemudian berlanjut di obrolan warung kopi. Setelah berjalan beberapa bulan, kami rasa masih belum cukup nih karena kami berdua gak ada latar belakang sastranya. Maka saya dan Fairuz ngajak Mas Galeh ini.
Wih! Dedengkotnya nih! Hahahaha….
Galeh: Saling sharing lah. Saling melengkapi hehehehe…
Ohhh gitu. Nah coba sekarang kita lihat foto yang sudah dicuri-curi dari media sosial Penakota.id. Nah ini foto seluruh anggota apa gimana?
Galeh: Ini waktu ada acara “Selidik Karya”. Kita bedah karya, bedah buku, dan juga ada diskusi komunitas. Kita ngundang berbagai komunitas sastra. Jadi kita adalah platform yang mewadahi, yang mengintegrasi komunitas terus penerbit dan penulis untuk diketemukan elemen-elemen literasi itu.
Udah ada berapa komunitas atau individu yang tergabung sampai sekarang?
Galeh: Komunitas kebetulan yang sudah masuk di web kami ada enam.
Kalau user individu juga bisa ya?
Galeh: Bisa. Kalian tinggal sign-up aja. Tinggal buat seperti medsos-medsos lain. Bikin akun aja di situ. Kita total (dari) database kalau gak salah ada tiga ribu user sampai saat ini.
Nah kalau yang ini gimana? Penakota bikin koran juga?
Galeh: Ini di Jawa Pos.
Ribuan Penulis Dapat Honor 100 Ribu per Karya?
Taufik: Ini lebay sih sebenarnya hahahaha!
Galeh: Itu clickbait sebenarnya. Tujuannya bukan hanya honor, tapi untuk mempersatukan para penulis dengan kesukaannya masing-masing. Soalnya penulis itu ingin berkarya di suatu tempat nih, misalnya di Kebon Jeruk. (Terus) dia ingin bertemu dengan temannya di Makassar. Nah, kita bisa lihat di fitur “Geo Tagging” dan “Wisata Literasi”. Kita bsa menemukan teman-teman penulis di berbagai daerah di Indonesia.
Oke, jadi buat silaturahmi ya sebenarnya bukan buat honor. Mungkin itu kebijakan redaktur sananya kali ya hahahaha! Nah ini adalah website-nya.
Taufik: Iya. Jadi ada “Kertas Mingguan” .
Galeh: “Kertas Mingguan” itu kumpulan karya yang ada di Penakota.
Taufik: Setiap minggunya kita pilih, kita kurasi, yang mana menurut kita layak buat dipublikasi. Dipilihnya dari sub yang bisa mereka post ya. Bisa puisi, cerpen, naskah drama dan resensi.
Jadi di Penakota itu kumpulan. Ada puisi, ada cerpen, naskah drama. Itu berarti mesti sign-up dulu, terus kita bisa kasih tulisan-tulisan ke kalian ya. Dan setiap minggu ada kurasi.
Galeh: Kita kurasi. Terus yang terpilih masuk homepage.
Mantap! Nah itu tadi soal Penakota dan sekarang kita mau ngomongin film yang gak jauh-jauh dari sastra. Dari tahun lalu tuh udah rame. Soal “Perburuan” dan “Bumi Manusia”. Apa sih yang paling kalian suka dari kedua kisah itu jika merujuk pada versi novelnya?
Galeh: Pertama kita bahas dulu soal “Bumi Manusia” ya.
Boleeeh. Ini (bahasnya) gak tiga jam kan? Hahahahaha!
Galeh: Waduh panjang ya hahaha! Jadi “Bumi Manusia” itu ibaratnya kalau anak sastra jatuh cinta pada pandangan pertama. Karena ibaratnya seperti kanon, atau karya yang dikatakan paling dibaca dan paling dibahas di lingkungan kampus. Entah itu di ruang kuliah, atau di ruang nongkrong seperti di kedai kopi dan lain-lain. Nah, “Bumi Manusia” itu banyak die-hard fans nya. Banyak garis kerasnya.
Jadi ketika berbicara “Bumi Manusia” ada pihak-pihak yang memang murni dari orang sastra, yang mungkin belum mau terbuka dengan kemjuan zaman. Atau dia posesif. Sangat posesif terhadap “Bumi Manusia”. Karena apa? Karena ide “Bumi Manusia” itu pada dasarnya menentang kapitalisme, menentang perbudakan, isu-isu yang sensitif yang di zaman itu sangat penting karena mengenai kolonialisme. Penjajahan lah intinya.
Cuman dibawakannya lebih soft dengan percintaan ya?
Galeh: Betul.
Tapi gimana sih responnya ketika dijadiin film?
Galeh: Kalau dari pribadi ya, gue sebagai pengajar juga, sangat senang. Karena “Bumi Manusia” itu kan gak semua orang tahu. Maksudnya dalam arti bukan hanya orang sastra aja yang baca. Banyak orang di luar sastra itu masih awam terhadap “Bumi Manusia”, atau karya-karya Pram. Sebenarnya Falcon dan Hanung itu punya visi yang bagus. Ketika dia memutuskan untuk memfilmkan, alih wahana dari karya buku jadi film, itu ingin membuka gerbang pemikiran karya-karyanya Pram. Gerbang pemikiran dia tentang anti rasialisme, anti diskriminasi, bagaimana sistem kolonialisme atau penjajahan saat itu begitu berat. Membuat orang tuh merasa, ‘Wah ini harus ditentang nih hal-hal seperti ini’. Udah gak zaman.
Berani untuk berbicara ya!
Galih: Betul. Berani ‘Speak up’. Nah makanya untuk penonton Generasi Milenial dan Generasi Z itu penting untuk menonton ini. Harapan utopisnya sebenernya gini, ketika (sudah) nonton, mereka akan baca bukunya. Dari situ ntar lama-lama akan mengenali gagasan-gagasan yang ada di pemikirannya Pram. Untuk memantik lah.
Ohhh. Itu kan yang khas dari “Bumi Manusia”. Kalau “Perburuan”?
Galeh: Suka karena Richard Oh yang nyutradarain. Richard Oh itu dia main simbol. Dia main semiotik, surrealis. Kalau “Bumi Manusia” kan memang sudah vulgar dalam arti sudah jelas semua. Dalam satu tatapan itu jelas itu tentang apa kan. Gak main simbol. Kalau di “Perburuan” tuh main surrealisme, semiotik, dan banyak scene-scene yang menggambarkan arthouse. Jadi ketika si Adipati di goa itu dia mainin korek, itu kan ada montase. Montase dia tiba-tiba berubah langsung jadi gondrong. Itu di bukunya juga memang seperti itu. Kenapa tidak dibikin lama? Ya itu. Karena medium buku dan film ketika diinterpretasi, diadaptasi, pasti ada otoritas sutradara. Otoritas produser berperan juga.
Produser sih ya! Yang ngasih duit.
Galeh: Logika produksinya gitu sih.
Kalau Taufik gimana? Ketika lo tau “Bumi Manusia” dan ‘Perburuan” akan difilmin, reaksinya?
Taufik: Gue pertama kaget ya. Pasti itu ada pro-kontranya. Sebab kalau ngomongin novel dialihwahanakan menjadi film pasti ekspektasi orang itu beda-beda. Karena kita yang baca, ya itu imajinasi kita.
Gimana dengan ekspektasi lo waktu itu?
Taufik: Gue sejujurnya belum sempet nonton nih. Mungkin di weekend. Kalau dari orang awam kayak gue yang baru kenal sastra kulitnya doang, gue tahu Pram dari awal adalah sastrawan legendaris. Pernah keluar-masuk penjara, karya-karyanya sangat keras.
Galeh: Sebenarnya itu ke politik sih. Kalau kita bahas secara ringan seperti ini mungkin akan menjadi kontroversi.
Kalau kontroversi rating kita naik!
Galeh: Hahahaha! Maksudnya gini. Ini kan berdasarkan sejarah ya. Yang udah kita riset. Orde baru kan pemikiran-pemikiran yang kritis itu dibungkam. Banyak karya-karya populer seperti film, musik, teater dan lain-lain itu dibungkam. Seperti karya Rendra, karyanya Pram sendiri, bungkam. Karena kekuasaan 32 tahun itu. Hingga akhirnya udah reformasi, karya Pram akhirnya boleh dibaca bebas dan difilmkan. Ini sebenarnya tonggak bagus untuk kesusastraan Indonesia dan untuk generasi Millenials dan Z supaya mereka terbuka dan gak ahistoris. Mereka harus tahu sejarah bangsa mereka sendiri. Meskipun novel ini fiktif ya, tapi berlatarbelakang sejarah Indonesia.
Nah tapi biasanya kan ada “Bookworm Curse” nih katanya. Kalian sendiri kalau nonton film berdasarkan buku itu harus pleketiplek sama atau ada toleransi ga sih?
Galeh: Kalau gue pribadi ketika nonton film dari karya adaptasi, gue malah mengharapkan sesuatu yang lain.
Aaah!
Galeh: Kalau gue udah baca bukunya, ketika ada di buku dan ada di film ya udah sama aja. Ga ada bedanya. Gue malah pengen sutradara dan produser itu punya interpertasi lain terhadap karya yang dibedah dan diangkat jadi film. Waktu itu kan karya ini (Bumi Manusia) pernah dijadiin teater juga yang dimainkan waktu itu sama Reza Rahadian, kalau gak salah. Itu keren sih! Maksudnya ada pembaruan.
Kalau Taufik gimana? Apakah ada toleransi atau harus seratus persen sama? Harus mirip.
Taufik: Kalau “harus” itu gak mungkin ya. Gue menikmati itu sebagai seni yang berbeda. Kalau baca ya nikmatin itu sebagai sebuah tulisan. Kalau kita ngeliat film, nikmatin itu sebagai sebuah tontonan.
Oke. Jadi harus peka terhadap medianya itu apa. Btw tadi Mas Galeh bilang nonton filmnya dulu nanti jadi pemantik buat orang ntar baca bukunya. Kalau kita ketahui kan bukunya “Bumi Manusia” dan “Perburuan” udah lama ya. Apakah nanti bakal diterbitin lagi? Atau kita (masih perlu) lomba-lomba ke Kwitang?
Galeh: Biasanya gini. Kadang kalau film yang booming setelah dari buku yang juga booming, kadang penerbit entah mau beli karyanya Pram (atau tidak), tapi tergantung apakah keluarganya Pram mengizinkan? Sekarang kan masih dipegang oleh Lentera Dipantara. Apakah mau cover-nya diubah menjadi cover film? Edisi film? Itu kan kadang kontroversi. Orang yang suka sama buku Pram pasti ketika cover-nya berubah apakah ini jadi terlihat dangkal (bagi mereka) apakah gimana. Itu sebenarnya menarik. Tapi kalau buat generasi muda itu sebenarnya bagus. Ketika ngelihat cover-nya, ‘Oke lah cover-nya dari film’. Ketika baca, nah itu lah hal yang penting untuk memperkenalkan dari film ke buku.
Jadi gak denial juga.
Taufik: Iya.
Yang penting isinya ya. Nah kalau ngomongin isinya, sekarang isi filmnya kita mau bahas, Smart Viewers! Film “Bumi Manusia” dulu deh. Menurut elu gimana filmnya? Apakah sesuai ekspektasi?
Galeh: Kalau dari “Bumi Manusia” gue lihat sih, kalau dari angka ya, rating-nya 75 lah. Hanung sudah mendapatkan harta karun nih dari Pram. Dia pasti butuh banyak riset kan, dia bahas tentang kostumnya juga. Kalau kita lihat di propertinya, banyak kostum yang terlalu baru. Kinclong kayak dari laundry. Itu kan zaman kolonial Belanda. Pasti kan mereka perjuangannya banyak debu, banyak penyiksaan, tapi itu (di dalam film) kayaknya terlalu clean. Mungkin tone itu pilihan Falcon lah. Gue gak bisa men-judge karena ya, mereka punya otoritas, mereka punya logika produksi untuk pasar. Kita gak bisa men-judge, tapi dari gue menyayangkannya itu. Dari segi kostum, dari tone warnanya. Tapi sebenarnya gak masalah sih. Gue nonton “Grand Budapest Hotel” ketika itu tone-nya itu bagus banget. Dan itu bikin orang jadi tertarik.
Itu keren banget. Film favorit si Loki!
Galeh: Ketika orang awam ngeliat “Bumi Manusia” pasti first impression-nya pengen yang cemerlang-cemerlang gitu. Yang warna-warna gitu lah. Yang post-modern banget. Mungkin itu alasan mereka. Ya itu lah, gak bisa memuaskan banyak pihak hehehehe.
Ngomongin soal Iqbal, aktor ini yang paling menyita perhatian netizen. Setelah melihat filmnya, gimana nih pendapat lo soal Iqbaal?
Galeh: Gue baru pertama kali nonton karyanya Iqbaal ya di “Bumi Manusia” ini. Belum pernah nonton “Dilan” jadi gak tahu seperti apa. Gue gak peduli dengan siapa yang main, tapi ya gue lihat sebenarnya cocok aja. Karena Minke di sini kan emang orang Jawa yang seusia 17-18 tahun kan. Dan gue juga ketika orang-orang banyak nge-judge dan menghujat, gue lagi-lagi coba riset nih! Ternyata si Iqbaal itu ketika dia kuliah, dia sudah baca dan nulis review novel “Bumi Manusia”. Itu yang bikin gue, ‘Oke nih orang gak main-main. Berarti dia gak cuma modal tampang tapi otaknya juga ada’. Itu yang bikin gue suka. Kadang orang mungkin pengen ngehujat karena first immpression Iqbaal terlalu menye-menye. Dilan, gitu kan. Tapi setelah dilihat aktingnya oke juga sih.
Taufik gimana waktu pertama kali tahu Iqbaal yang meranin Minke?
Taufik: Gue gak bisa komentar banyak karena belum nonton. Iqbaal mungkin terkenalnya ini ya, stereotipe-nya dari film terdahulu. Bad boy, terus juga lebih terdahulu lagi dia dari Coboy Junior yang menye-menye. Jadi mungkin nilainya dari luarnya doang.
Nah kalo “Perburuan”? Film ini dikasitau informasinya bisa dikatakan mendadak. Menurut kalian gimana filmnya? Apalagi banyak semiotika di situ kan kata Galeh.
Galeh: Kalo gue setujunya dengan ada perbedaan “Bumi Manusia” dan “Perburuan”, gue rasa Falcon bukan pengen memecah konsentrasi sih. Supaya “Bumi Manusia” rame, “Perburuan” gak rame. Bukan. Kata gue sih cuman pengen merayakan gagasan Pram di bulan kemerdekaan. Makanya (rilis) di hari yang sama; 15 Agustus. Dan gue lihat film “Perburuan” lebih oke sebenarnya secara pribadi. Kalau idealis, lebih oke dari “Bumi Manusia” karena secara pribadi gue suka film-film arthouse, dan adegan-adegan surreal yang di ladang jagung, ketika di goa dia (Adiptadi sebagai Hardo) main korek ada montase-montase, itu oke. Cuma, memang gak terlalu dramatis. Karena emang di bukunya ketika gue baca juga gak terlalu dramatis. Dia bukan film aksi yang penuh kejar-kejaran. Bukan. Dia lebih kepada kontemplasi si tokoh terhadap situasi yang didapat ketika didapat. Meski (berlatar) perang, tapi dia main “stream of consciousness”.
Ini kan “Bumi Manusia” udah difilmin. “Perburuan” udah difilmin. Dari masing-masing kalian, karya dari Pramoedya mana lagi yang lo pengen lihat di film?
Galeh: Gue pengen sih “Bukan Pasar Malam”. Ada, karyanya Pramoedya. Itu keren karena dia mainin ceritanya itu benar-benar seperti karyanya Haruki Murakami. Dia penuh simbol-simbol, alur ceritanya itu gak bisa ditebak. Ada plot twist juga. Dia main narasi-narasi eksistensial.
Wadaw…
Galeh: Filosofis lah pokoknya! Filosofis banget. Kayak Sartre. Selain Tetralogi Buru, gue suka “Bukan Pasar Malam”. Gue udah baca dan sampai selesai. Ketika difilmkan itu pasti menarik sih.
Taufik: Kalau gue paling berharap “Gadis Pantai”.
Yang aslinya mau disutradarai Richard Oh ya!
Galeh: Bukan “Gadis Partai” ya?
Wahahaha! Bukan. Berat kalau yang itu.
Taufik: Nanti ketipu sama judulnya. Oh “Gadis Pantai”! Pas difilmin…
Galeh: Bukan di pantai. Hehehe…
Tonton film “Bumi Manusia” yang masih tayang di bioskop-bioskop favorit Chillers. Untuk lebih tahu atau ingin men-submit karya ke Penakota.id, kamu bisa langsung mengunjungi official website mereka di sini (https://penakota.id/).