“The only other forum in which participants are weighed, measured and publicly examined before being assigned their value is a cattle market.” – Sally Alexander.
Tahun 1970, acara pageant sedang memasuki masa jaya. Bagaimana tidak, acara ini ditonton oleh seratus juta penonton. Lebih banyak dari final Piala Dunia.
Meski begitu, mereka tidak menyangka akan ada satu bahaya yang mengancam acara ke depan. “Misbehaviour” adalah film yang menceritakan ulang peristiwa tersebut, ketika Women Liberation membuat onar di siaran langsung Miss World 1970 di Inggris.
Film ini berisikan banyak bintang-bintang ternama dari lintas generasi. Mulai dari Keira Knightley, Jessie Buckley, Gugu Mbatha-Raw, hingga yang senior macam Lesley Manville, Greg Kinnear, dan Rhys Ifans. Mereka semua tersebar di berbagai kubu. Ada yang di sisi Women Liberation, ada yang di sisi panitia acara Miss World, ada yang di sisi kontestan.

Jelas sudah, sepertinya film akan lebih wide dalam bercerita, tidak hanya menampilkan sudut pandang dari Women Liberation saja misalkan.
Ini tentu menjadi menarik karena “Misbehaviour” secara mengejutkan tidak memiliki cerita yang membosankan. Dengan tempo sedang, film akan berpindah-pindah point of view, karena mereka tahu salah satu kekuatan film adalah cast, maka mereka mencoba agar film ini memanfaatkan kartu ensemble dengan baik.
Karakter utama tetap berada di Sally (Knightley), seorang mahasiswi yang telah memiliki anak. Dari awal kita sudah diberikan beberapa scene yang menyokong kenapa Sally menjadi karakter utama dan motif Sally dalam memperjuangkan gerakan Women Liberation hingga viral di acara Miss World.
Belum lagi scene yang powerful antara Sally dengan ibunya. Kemudian, yang menarik dari sudut pandang ini adalah bagaimana proses dari lahirnya ide hingga eksekusi protes Miss World.

Terdapat perbedaan mencolok antar tokoh Woman Liberation, which is sesuatu yang cukup deep dan kita butuhkan. Konflik-konflik yang terjadi di seputar dunia mereka pun bukan karena konfrontasi langsung antar sesama anggota, melainkan hal-hal lain yang terasa lebih masuk akal. Meski begitu, di sisi lain Sally memiliki satu kelemahan terbesar yang bisa saja memicu stereotipe.
Slogan film ini memang secara gamblang nampak sesuai dengan gerakan Women Liberation. “We are not beautiful, we are not pretty, we are angry”. Toh grup yang dipimpin oleh cewek bernama Jo (Buckley) ini ditampilkan sangat agresif. Jo sendiri digambarkan sebagai karakter yang kesannya rebel abis.
Tapi tunggu, film ternyata tidak denial dalam menampilkan dinamika dari gerakan ini. Jadi kita sebaiknya juga perlu melihat proses Women Liberation sebelum hari-hari. Agresif memang menjadi sesuatu yang menonojol, salah satu ciri khas.
Tapi mereka dalam mengambil keputusan bergerak bukan tanpa pertimbangan dan tentangan. Salah satunya adalah mengenai sikap dan respon mereka terhadap media. Cerita menampilkan hal-hal itu, bahkan tidak malu untuk memberikan flaws dari gerakan tersebut agar dinamikanya semakin jalan. Hal ini sedikit banyak memberikan pengetahuan baru dan dibutuhkan.

Nah yang menarik adalah bagaimana “Misbehaviour” juga terbuka untuk menampilkan sudut pandang dari pihak lainnya. Dalam hal ini dari panitia dan juga dari para kontestan. Dari panitia, kita akan melihat beberapa karakter penting seperti Eric Morley (Ifans), sang empunya Miss World. Kemudian komedian legendaris Bob Hope (Kinnear) juga bisa ditempatkan di sini.
Cerita dari sudut pandang ini predictable, cuman untungnya memiliki detil-detil yang cukup mengejutkan. Kita bisa-bisa kaget melihatnya, karena memang hal seperti itu tidak sopan, bahkan merendahkan. Sisi geopolitik juga ada di sini, cuman film sepertinya tidak ingin berlama-lama di sana.
Yang menarik justru apa yang tersaji dari para kontestan Miss World. Ada beberapa kontestan yang disorot di sini yaitu Jennifer Hosten – Miss Grenada (Batha-Raw), Pearl Jansen – Miss Africa South (Loreece Harrison), Maj Johansson – Miss Sweden (Clara Rosager), dan Sandra Wolsfeld – Miss USA (Suki Waterhouse).

Masing-masing punya ciri khas masing-masing. Tapi yang paling menarik adalah bagaimana mereka menyikapi keikutsertaan msing-masing dan arti Miss World itu sendiri. Terkait isu geopolitik yang nanggung, justru disinggung sedikit mendalam di bagian ini.
Timing ketika irisan-irisan narasi itu menyatu layak ditunggu. Semuanya bertemu pada malam puncak. Bagaimana Women Liberation menjalankan aksinya, kemudian ditanggapi oleh panitia dan para kontestan. Kemudian yang tidak kalah penting adalah, bagaimana secara sinematik film ini menunjukkan acara kontesnya.
Kalau dilihat dari segi sinematik, kontes Miss World ini nampak memiliki gaya visual yang berbeda dengan dominan warna yang cerah-cerah. Berbeda dengan ambience aslinya yang terasa glam. Dari tampillan para kontestan, tata rias dan hairdo-nya oke lah, walaupun perintilan penting macam mahkota masih terlihat kurang wow. Film juga menampilkan ruangan voice over yang terlihat meyakinkan. Tiga bagian yang sepertinya penting di sini adalah di adegan yang isinya menginfokan, memperlihatkan, dan yang menjadikannya lawakan.

Pada sesi memperlihatkan, film menguatkan notion eksploitasi lewat cara yang tidak langsung, yaitu menyorot wajah juri yang sedang melihat kontestan. Meski begitu sungguh, bagian ini kurang nyaman untuk dilihat, dalam artian ‘nyes’ nya dapet banget. Di sini kita bisa melihat apa yang dikritisi secara gamblang.
Cuman, film juga mencoba konsisten untuk ‘cover both sides’. Bukan ke arah panitianya tentu, melainkan ke arah para kontestan. Poin ini sangat ditunjukkan dalam scene di mana Sally bertemu dengan salah satu kontestan. Akting dari para aktris tidak kalah powerfulnya di sini. Tidak nampak kecanggungan.
Kita bisa melihat dua pemikiran bertemu, yang mana keduanya memiliki akar yang kuat. Entah apa jadinya babak akhir tanpa scene ini. Meski begitu, di sisi lain kita akan kesulitan untuk mendapatkan apa yang sebetulnya ingin disampaikan.

Hal itu disebabkan karena salah satu cerita memang ditonjolkan di awal, dengan karakter utama yang jelas, sementara yang lain baru muncul menjelang pertengahan dengan karakter yang nampak semakin kuat seiring berjalannya waktu. Ini cukup tricky, sehingga apa yang sebenarnya ingin disampaikan justru seakan-akan menjadi kabur.
Meski hal yang paling menonjol dari awal adalah unsur feminismenya, kita tidak bisa melihat “Misbehaviour” dari sudut pandang itu saja. Film ini bercerita tentang kritik yang diperlukan, lalu kemudian disajikan lewat beberapa pemikiran. Stereotipe bukan tidak mungkin akan bermunculan dari karakter-karakter yang digambarkan, bahkan untuk karakter utama sekalipun.
Kemudian, masuknya insight kontestan di pertengahan masa juga menjadi salah satu perhatian. Meski coba berbicara lebih luas, tetap ada hal yang masih kurang gereget. Hal yang sebetulnya tidak kalah menarik untuk dibahas, meski tidak ada hubungan langsung dengan para karakter sehingga cukup dimaklumi.
Performa akting dari ensemble cast-nya bagus, begitu pula dengan setting visual kota London dan orang-orangnya pada tahun yang bersangkutan. Gak nyangka, kontes kecantikan itu kompleks juga.
Director: Philippa Lowthorpe
Starring: Keira Knightley, Jessie Buckley, Gugu Mbatha-Raw, Rhys Ifans, Greg Kinnear, Lesley Manville, Suki Waterhouse, Clara Rosager, Loreece Harrison
Duration: 106 Minutes
Score: 7.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Misbehaviour
Misbehaviour bercerita tentang agenda dari sekelompok wanita dalam rencana untuk mengganggu kompetisi kecantikan Miss World 1970 di London.Berhasilkah mereka melakukan aksinya itu?