Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • All
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
    Star Wars Novel

    Sambut 50 Tahun LucasFilm, Novel Star Wars Dirilis Ulang

    Biion Footwear

    Biion Footwear dan DC Comics Rilis Sepatu Bertema Batman & Superman

    Godzilla's World

    Sambut Film ‘Godzilla vs. Kong’, Uniqlo Rilis T-Shirt Limited Godzilla’s World

    sonic the hedgehog

    Masuki 30 Tahun, Sonic the Hedgehog Rilis Action Figure Versi Terbatas

    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
Cineverse
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • More
    • All
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
    Star Wars Novel

    Sambut 50 Tahun LucasFilm, Novel Star Wars Dirilis Ulang

    Biion Footwear

    Biion Footwear dan DC Comics Rilis Sepatu Bertema Batman & Superman

    Godzilla's World

    Sambut Film ‘Godzilla vs. Kong’, Uniqlo Rilis T-Shirt Limited Godzilla’s World

    sonic the hedgehog

    Masuki 30 Tahun, Sonic the Hedgehog Rilis Action Figure Versi Terbatas

    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech
No Result
View All Result
Cineverse

Joker, Ketika Fiksi Mencolek Kepedihan Realita Hidup yang Pahit

Marvin Emir by Marvin Emir
November 13, 2019
in Featured, Movies
Joker, Ketika Fiksi Mencolek Kepedihan Realita Hidup yang Pahit
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Baca Juga:

Review Film: ‘Ajeeb Daastaans’

Review Series: ‘The Way of the Househusband’

Walau filmnya secara perlahan sudah mulai diturunkan dari teater, tak dipungkiri film solo villain ikonik Batman, Joker, masih terus diperbincangkan baik oleh awam maupun fanboy.

Bukan hanya dikarenakan faktor teknikalitas yang mumpuni saja, namun juga dikarenakan konsep serta tampilan kisahnya yang mencolek realita beberapa individu di luar sana yang juga menderita kondisi miris yang dialami oleh si Joker-nya, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix).

Bukan, kami bukan mengacu pada kondisi keterpurukan ekonomi yang dialami Arthur dan si ibunda tercinta, Penny (Frances Conroy). Tentunya kondisi yang dimaksud disini adalah kondisi kesehatan yang dialami Arthur alias tertawa yang tidak bisa dihentikan atau dalam bahasa medisnya, Pseudobulbar affect.

Faktanya, kondisi medis tersebut eksis dan lumayan banyak orang di luar sana yang juga mengalaminya.

Dan melalui kisah asal-usul si Pangeran Kriminal Gotham ini, sutradara sekaligus penulis naskah, Todd Phillips (The Hangover), ingin mengedukasi audiens-nya terhadap kondisi yang disebutkan tersebut.

Dan dalam memberikan pembelajarannya, Phillips cs benar-benar gamblang dan tepat banget (sesuai kenyataan). Ketepatan penggambaran kondisinya bahkan sudah dibenarkan oleh para penderita di dunia nyata (real-life).

Selain ingin memberikan pembelajaran terhadap kondisi Pseudobulbar affect, melalui Joker, Phillips juga ingin mengingatkan audiens-nya (terutama di negaranya sendiri) bahwa kesenjangan sosial antara si kelas atas dan si kelas bawah, memanglah masih ada.

Dan seperti yang kita saksikan di filmnya, Arthur mirisnya, mengalami seluruh kondisi yang telah disebutkan tersebut. Dirinya ditampilkan harus berjuang menghadapi kemiskinan yang dialami di tengah kondisi kesehatannya yang sangat memprihatinkan tersebut.

Nah ketika menjelang babak kedua filmnya, diperlihatkan bahwa perjuangan Arthur, semakin berat saja. Hal ini disebabkan oleh berbagai rintangan yang dihadapinya yang mana salah satunya, adalah perundungan (bully).

Bahkan komedian sekaligus pembawa acara talkshow idolanya pun, Murray Franklin (Joaquin Phoenix), juga turut merundungnya. Dan ketika sudah tidak tahan lagi, Arthur pun menjadi geram dan perlahan, membuatnya menjadi pembunuh gila berdarah dingin.

Walau kita sadar bahwa perubahan yang dialami oleh Arthur ini adalah salah. Namun dikarenakan latar belakang yang telah disebutkan, tak pelak, kitapun turut iba dan bahkan sedikit mendukung tindakan yang dilakukannya .

Nah lihat lagi deh kata di atas, sadar. Dengan kata lain, kita sadar banget bahwa apa yang dilakukan Arthur memanglah salah. Kitapun juga sadar bahwa terlepas filmnya berdasarkan kondisi miris dunia nyata, Joker pada esensinya, tetaplah sebuah film fiktif.

Herannya terlepas sudah sadar banget, kita masih saja sering melihat audiens yang langsung super sensitif sendiri setelah menyaksikan filmnya.

Spesifiknya setelah menyaksikan, mereka seakan “mendadak sadar” kalau selama ini, ia mengalami kondisi seperti yang dialami oleh Fleck. Tak ayal fenomena ini langsung viral dan membuat kita-kita merasa miris sendiri.

Padahal, tindakan glorifikasi kelainan mental bukanlah hal yang terpuji. Logikanya, aneh saja bukan kalau kita mendengar seruan senang atau “gagah” seperti: “Saya juga memiliki kelainan bawaan seperti Joker”. Dengan kata lain, penyakit bawaan kok malah dibanggakan?

Karena penyakit bawaan bukanlah bakat terpendam atau preferensi seksual yang apabila “diumumkan”, masih wajar-wajar saja. Justru hal seperti ini seharusnya disembunyikan saja. Lagipula, tidak ada untung-untungnya juga kita mengumumkan kelainan yang kita derita.

Alasan lainnya juga tentu dikarenakan tidak semudah itu  atau belum tentu ketika kita mengalami ciri kondisi yang dialami oleh Arthur, kita lantas menderita kondisi yang serupa.

Yang bisa mem-vonis, hanyalah psikolog atau psikiater, dokter. Dengan kata lain yang ahli di bidangnya. Tak ayal jika “fenomena” ini kerap dianggap sebagai hal yang super konyol.

Seakan hal tersebut belum konyol banget, kita beberapa waktu lalu juga mendengar kalau filmnya ini juga dianggap sebagai glorifikasi terhadap tindak kekerasan (violence) yang mana di dalamnya termasuk kekerasan bersenjata (gun violence).

Anggapan ini muncul karena ditampilkannya beberapa adegan Joker yang melakukan tindakan kekerasan termasuk penembakan. Oke kalau dilihat dari kacamata tersebut, wajar banget apabila tanggapan demikian lantas muncul.

Lebih jauhnya, tindak kejahatan bersenjata saat ini, kian menggila saja di Amerika Serikat. Jadi sekali lagi wajar apabila kesensitivan seperti demikian lantas timbul. Tapi tetap saja sekali lagi kesensitifan tersebut sangatlah konyol.

Sekarang begini saja deh. Sebelum Joker, banyak banget film yang menampilkan adegan “glorifikasi kekerasan” yang serupa atau bahakn lebih parah kesadisannya. Kita ambil saja contoh film-film seperti: Scarface (1983), The Godfather (1972), atau yang menjadi template inspirasi Joker, Taxi Driver (1976).

Film-film legendaris yang telah disebutkan terutama Taxi Driver, jugalah menampilkan glorifikasi kekerasan yang mengkhawatirkan. Tapi mengapa dulunya film-film tersebut tidak diprotes?

Contoh lain yang lebih gampangnya lagi adalah film Watchmen (2009) dan seri Netflix-Marvel, The Punisher. Walau keduanya dikategorikan sebagai film superhero, namun tetap saja karakter-karakter di kedua filmnya melakukan tindakan kekerasan yang di luar batas normal alias, sadis banget.

Ya kita lihat saja sosok Frank Castle aka si Punisher (Jon Bernthal). Sosoknya memang membela kebenaran. Tetapi metode yang dilakukannya adalah dengan tidak segan-segan membunuh musuh-musuhnya.

Dan ketika melihat hal tersebut, semenjak musim pertamanya dirilis di tahun 2017, kami tidak mendengar sama sekali ribut atau protes “glorifikasi kekerasan” yang heboh dari ujung telinga ke ujung telinga. Memang terdapat beberapa protes yang kita dengar. Tapi sekali lagi, tidak seheboh seperti yang diterima oleh Joker.

Terlebih lagi kalau kita saksikan lagi Joker secara seksama, adegan berbau glorifikasi kekerasan yang ditampilkan sangat minim dan tidak sesadis seperti yang diduga pertama kali. Walau sekali lagi kami tegaskan disini, tindakan kekerasan yang ditampilkan di Joker memanglah buruk.

Nah berdasarkan argumen-argumen tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya ketika menyaksikan tema sekaligus tampilan film seperti Joker, ada baiknya bagi kita untuk tetap memandang filmnya sebagai bentuk hiburan pelepas stress saja.

Walau filmnya berdasarkan atau memang mengambil inspirasi real-life, tetap saja pada akhirnya film adalah film. Alias sebuah karya yang bersifat fiktif (terkecuali 100% dokumenter). Janganlah menelan bulat-bulat apa yang ditampilkan di adegannya.

Karena apabila kita terlalu menelannya secara bulat, dijamin kita sendiri yang akan merugi. Istilahnya yang membuat filmnya “ha ha, hi hi”, kita malah yang sewot sendiri. Kritis boleh asal, jangan berlebihan dan asal emosi saja!

Tags: 2019arthur fleckBatmanDCfanboyfeaturefiksiJoaquin PhoenixJokerMelali NewsmirisNetflixpenny fleckPseudobulbar affectrealitastudi karakterthe punisherthomas wayneTodd PhillipsWatchmen
Marvin Emir

Marvin Emir

"Life is always an unsolved mystery, so just embrace it to the fullest"

Related Posts

Ajeeb Daastaans

Review Film: ‘Ajeeb Daastaans’

the way of the househusband

Review Series: ‘The Way of the Househusband’

Army of the Dead

‘Army of the Dead’ yang Disutradarai Zack Snyder Rilis Trailer Perdananya

April 14, 2021
gundam

Netflix Akan Buat Film Live-Action Gundam

April 14, 2021

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Cineverse Banner Cineverse Banner Cineverse Banner
ADVERTISEMENT

Cineverse

© 2020 - 2021 Cineverse - All Right Reserved

Follow Us

  • Home
  • About Us
  • Pedoman Pemberitaan Media Siber
  • Privacy Policy
  • Kode Etik Jurnalistik

  • Login
  • Sign Up
No Result
View All Result
  • Home
  • Movies
  • Series
  • Reviews
  • Hype
  • About Us
  • More
    • Games
    • Hobby
    • Lifestyle
    • Tech

© 2020 Cineverse – All Right Reserved.

Welcome Back!

Sign In with Facebook
Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Sign Up with Facebook
Sign Up with Google
OR

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In