“If you can’t live your principles into bad times, I guess their principles in just hobbies.” – Jack Hastings.
Perpolitikan dengan film tidak akan pernah habis untuk dibahas. Apalagi di masa sekarang, di mana Amerika Serikat dipimpin oleh seorang presiden yang kontroversial seperti Donald Trump. Dalam film ini, titik tersebut bakal dimanfaatkan untuk cerita tentang betapa melelahkan dan mengerikannya proses kampanye di Negeri Paman Sam.
Disutradarai oleh Jon Stewart yang dikenal sebagai pembawa acara talkshow, “Irresistible” bermula dari masa pemilihan umum Donald Trump melawan Hillary Clinton. Kita lalu diajak berkenalan dengan karakter Gary Zimmer (Steve Carell), seorang konsultan politik yang habis kalah.
Suatu hari, Gary melihat sebuah video viral tentang seorang bapak yang dengan berani menentang pemerintahan di kotanya. Gary kemudian punya ide untuk mengorbitkan bapak ini sebagai calon walikota Deerlaken dari Partai Demokrat. Manuver ini ternyata tercium oleh rival Gary, yaitu Faith (Rose Byrne). So, kita akan melihat pertarungan politik dalam sebuah kota kecil Wisconsin.
Di sini ada beberapa poin yang menarik untuk dilihat. Pertama adalah komedinya. Bagaimana subject yang terbilang berat yaitu persaingan politik bisa ditampilkan secara menyenangkan. Toh di situ lah tujuan Steve Carell ada bukan?
Kemudian mengenai politiknya. Kita mau tau juga nih, kayak gimana sih sistem kampanye ala Amerika itu, mumpung scope yang ditampilkan di sini hanya lah scope sebuah kota. Nah terakhir mengenai scope-nya itu sendiri. Bagaimana Kota Deerlaken ditampilkan. Mulai dari kotanya seperti apa, orang-orangnya kayak gimana, dan masalah apa sih yang menimpa kota tersebut. Setidaknya itu adalah poin-poin krusial. Pertanyaannya, apakah film bisa mewujudkan semuanya? Tidak juga.

Untuk bagian hepi-hepinya, film ini termasuk ‘hit and miss’ karena unsur kelokalan yang mereka bawa. Belum tentu hal ini bisa ditangkap oleh penonton di sini karena tingkat proximity-nya berbeda. Meski begitu, lawakan-lawakan Steve cs masih bisa memunculkan gelak tawa.
Kemudian mengenai persaingan politiknya. Ini adalah poin yang paling bisa dirasakan dari film. Bagaimana Gary meyakinkan Jack Hastings (Chris Cooper) dan bagaimana seluruh kegiatan kampanye ini benar-benar mengubah kota. Audiens pun bisa melihat kompetisi antara Gary melawan Faith juga makin lama makin gereget.
Lalu akan ada saatnya juga kita bakal diajak ke bagian-bagian yang tidak biasa. Di mana kita akan melihat penggambaran analisa yang expert dalam menjalankan sebuah presidential campaign secara serius.
Sayangnya, Kota Deerlaken ini jadi benar-benar hilang ditelan Bumi ketika film sudah memasuki pertengahan konflik. Once they are announcing Jack as candidate, everything changes.
Padahal, lagi-lagi, jika ada film yang menyertakan sebuah daerah maka penting bagu film untuk menyertakan daerah tersebut dalam pembahasan naratifnya. Karena tempat bisa lebih memengaruhi seseorang daripada seseorang memengaruhi tempat tersebut.
Sebuah tempat mendefinisikan, mencirikan, dan juga menantang individu. Hal ini hanya bisa kita lihat di waktu awal Gary datang. Selanjutnya, boom! langsung berubah semuanya dikontrol oleh Gary. Perpindahan tone nya kurang smooth dan anehnya lagi, selain kotanya makin hilang, Jack Hastings nya juga hilang.

Screen time karakter ini langsung menurun drastis padahal ia juga merupakan karakter kunci dalam “Irresistible”. Beberapa kali ada saatnya ingin tahu, gimana perasaan dan respon karakter Jack melihat perubahan kotanya.
Dari segi karakter, sebetulnya film ini memang kekurangan influence Jack Hastings. Tapi di sisi lain, peran ini seakan-akan digantikan oleh karakter Diana Hastings (Mackenzie Davis), yang merupakan anak perempuan Jack.
Adem ayem di awal, karakter ini semakin menunjukkan eksistensi di tahap konfrontasi. Tapi presence dari Diana sendiri masih terhitung biasa aja, jauh kurang menarik jika dibandingkan dengan Faith. Rose Byrne menampilkan akting yang bagus sebagai pesaing berat dari Gary, sehingga ketika Gary bilang kalo dia kesel sama Faith kita juga bisa merasakan kekesalannya.
Nah menjelang akhir, tepatnya di turning point kedua, Diana Hastings baru mulai gereget. Hal ini dipicu oleh tindakan mengagetkan yang dilakukan oleh Diana, dan dialognya dengan salah satu karakter pendukung lain. Di sana kita bisa melihat untuk pertama kalinya arc dari Diana. Bahwa karakter ini sebenernya lebih penting dari yang kita duga sebelumnya.
Cuman ya gitu. Masalah kelokalan benar-benar jadi isu besar di sini. Audiens akan kesulitan untuk mengetahui apa sih yang sebetulnya dibutuhkan oleh kota karena film hanya berfokus pada persaingan politik yang ironisnya hanya ditampilkan dari satu sudut pandang saja.
Padahal yang namanya kampanye, pasti tujuannya selain mendapatkan sebanyak mungkin dukungan adalah kita bisa melihat apa solusi yang ditawarkan oleh calon kandidat. Solusi ini gak mungkin ada tanpa pembeberan masalah. Karena yang menjadi sorotan adalah Kota Deerlaken, maka masalah yang mau dilihat ya masalah Kota Deerlaken.

Dari situ lah konflik bisa berangkat jadi lebih gripping. Sayang, hal itu sama sekali tidak ditunjukkan. Nol. Ini membuat film menjadi seru memang, tapi di sisi lain berasa lempeng dan cepat saja. Ya masih untung lah ada jokes dari Steve dkk tapi kan bukan itu sebetulnya hal paling utama yang dicari.
Tahap resolusi film benar-benar putar balik. 180 derajat berbeda. Film seakan-akan mengolok dirinya sendiri yang dari awal selalu menampilkan semua ini dari sudut pandang Gary, sang karakter utama. Kita tidak bisa melihat konteks yang lebih luas.
Bisa jadi ini disengaja dan itu lah resiko yang ingin mereka ambil. Hasilnya adalah di tahap resolusi ini. Mengejutkan, di mana karakter yang awalnya biasa-biasa aja menjadi sangat mencuat dan pertanyaan mengenai dirinya langsung terjawab. Ia adalah orang yang cerdas dan sangat peduli terhadap kotanya.
Ia seperti diposisikan sebagai Jon Stewart yang ingin bilang kalau kita anak muda harus melek politik karena sistem yang ada di dalamnya sungguh tidak enak.
Kemudian sebagai generasi penerus, kita juga mesti aware terhadap isu yang ada di sekitar kita. Cuman sayang, resiko dari pengambilan kejutan ini cukup besar. Film jadi punya sedikit waktu untuk meluruskan semuanya. Akibatnya jadi maksa karena penjelasan penting masih tercecer hingga credit title.

Dalam part ini, ada satu creative approachment yang terbilang asik. Mungkin treatment ini diambil oleh Jon agar sesuai dengan tuntutan naratif yang sedang menampilkan sebuah flashback. Di situ kita dapat melihat perubahan gaya visual menjadi terlihat seperti diambil menggunakan handycam.
Kalau Chillers sudah menonton “Da 5 Bloods”, kurang lebih mengingatkan seperti itu. Di-shot nya sih dari angle yang sama dengan adegan aslinya ya. Cuman yang bikin beda adalah cara penyajiannya di layar, berdasarkan situasi yang ada saat itu.
Sebuah satir politik masa kini yang lumayan. Film sangat mengglorifikasi sistem kampanye politik Amerika sehingga lupa terhadap kepentingan untuk menampilkan ciri khas kelokalannya. Film jadi melakukan asimilasi yang terlalu lebay. Meski begitu, pesan yang mau disampaikan masih terlihat jelas.
Kemudian unsur komedinya juga masih aman lah walaupun ada yang kurang lucu dan jokes “roaming” yang tentu tidak dapat dihindari. Pengembangan karakternya minim, bahkan termasuk karakter utamanya. Screen time Chris Cooper benar-benar dibawah ekspektasi! At the end hanya ada satu karakter yang membekas buat kita, dimainkan oleh Mackenzie Davis.
Director: Jon Stewart
Casts: Steve Carell, Rose Byrne, Mackenzie Davis, Chris Cooper, Topher Grace
Duration: 101 Minutes
Score: 7.0/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Irresistible
Film 'Irresistible' menceritakan saat seorang ahli strategi politik, Gary Zimmer (Steve Carell), membantu seorang tentara veteran, Jack Hastings (Chris Cooper) untuk menjadi walikota di sebuah kota yang konservatif