“That’s why I like road trips. It’s good to remind yourself the world’s larger than the inside of your own head.” – Jake.
Jessie Buckley adalah seorang cewek yang sedang diajak ke rumah pacarnya. Nama pacarnya adalah Jake (Jesse Plemons), cowok yang well-educated dan baik lah intinya. Mereka pergi cukup jauh dan di musim dingin juga. Si cewek ini juga gak bisa nginap karena dia punya kerjaan di keesokan hari.
Sesampainya di rumah keluarga Jake, ada beberapa hal yang mengganjal pikiran sang cewek ini. Mostly mengenai Jake, kemudian mengenai keluarganya, dan yang terakhir adalah mengenai masa depan hubungan mereka. Sayang, itu hanya lah awal dari keanehan-keanehan lain yang akan kita temukan di sepanjang film.
Film yang disutradarai dan ditulis oleh Charlie Kaufman ini sangat kentara heavy dialogue. Terdapat dua bagian dalam film di mana dua karakter utamanya berbicara panjang. Udah gitu yang dibahas juga macem-macem, sampai mereka membaca puisi atau mengutip isi buku yang pernah dibaca.
Intensitas yang dibangun tidak sebagus chemistry-nya. Udah gitu yang diomongin banyak banget, jadi wajar banget kalau Chillers ngerasa bosan. Bahkan ngantuk. Dari porsi dialognya yang banyak ini menunjukkan bahwa mau gak mau kita mesti fokus ketika film ini. Masalahnya adalah apakah film dapat memberi sentuhan-sentuhan yang bisa membuat penonton tetap sudi anteng? Well, sepertinya tidak bisa.

Shot dan angle yang diberikan Kaufman terhitung pendekatan yang sederhana. Memang semakin mengisyaratkan kalau udah lo merhatiin apa yang diomongin aja. Meski begitu, penggambaran karakter yang ada di sana kan juga itungannya masih tahap awal ya. Mereka adalah sepasang kekasih yang sebetulnya punya masalah terkait komitmen. Itu hal yang biasa sih. Tidak istimewa. Bukan sesuatu yang bisa nge-hook orang untuk langsung masuk ke dalamnya.
Sekali lagi, durasi dari obrolan ini panjang jadi penonton mesti siap-siap. Tahan gak lo untuk mencerna input dialog sebanyak itu dari karakter-karakter yang dinamikanya masih belum greget? Dengan kombinasi tampilan visual yang stagnan?
Metode banyak omong begini jadi sedikit lebih menarik di tahap konfrontasi. Tepatnya ketika tambahan karakter masuk. Toni Collette dan David Thewlis menjadi ibu dan bapak Jake. Kalau dilihat dari aktingnya, ini bisa dikatakan sudah masuk ansambel. So, bakal jadi lebih berwarna dan itu benar terjadi dengan segala plus-minus.
Toni Collette? Lo bisa mengharapkan performa dia yang mengingatkan pada peran ibu di film “Hereditary”. Ini ibu sudah tidak stabil. Dia punya semacam gangguan dan itu benar-benar ditunjukkan. Untuk sang Ayah, dia gak separah Ibu. Justru penampilannya di sini ditunggu-tunggu. Akting unsettling itu hanyalah awal dari apa yang akan mengacak-acak setelah ini.
Kita langsung diajak ke situasi yang kok ini aneh banget asli. Terkait dengan waktu, kita akan diajak untuk menelusuri isu yang dihadapi. Uniknya, penampilan dari Ibu dan Bapak kerap berubah dan berubahnya ini spontan banget. Tanpa tedeng aling-aling, looks nya sudah ganti aja. Ini jadi menarik karena dengan penampilan berubah-ubah apakah film bermaksud untuk memasuki sebuah siklus waktu?

Meski begitu dinamika di atas tidak dijelaskan secara jelas. Justru masalah makin banyak yang muncul sehingga penonton bisa kebingungan, ini tuh kok kayak yang mau diomongin banyak banget ya? Lah kok begini, lah kok begitu? Banyak sekali. Meski begitu setidaknya film menunjukkan kepiawaian departemen make-up nya yang bisa membuat tampilan Toni dan David lumayan meyakinkan. Sayang, hal tersebut tidak terjadi di salah satu sequence pada tahap resolusi. Make-up nya begitu fake, di mana semua orang terlihat pucat maksa.
Di sini rahasia karakter Jake sebagai satu-satunya karakter yang ada namanya jadi lebih jelas. Kasihan juga hidupnya. Apakah semua yang disajikan di sini adalah film menceritakan tentang Jake? Bisa jadi. Jake yang malang karena stuck.
Nah karakter si gadis adalah sudut pandang kita yang bisa diibaratkan masuk ke dalam dunia cowoknya. Sang gadis merasa bingung, pusing, hingga frustasi, which is itu juga yang kita rasakan bukan? Apes, metode penceritaan macam ini memiliki kelemahan besar. Kita akan mencoba untuk empati kepada cerita karakter utama, bukan karakter pendukung, dan itu terjadi.
Konflik Jake menjadi konflik yang sekedar angin lalu saja. Maknanya memang bisa kita gali. Tapi, karena sudut pandang ada di si cewek, maka kita hanya berfokus pada dirinya saja. Apa yang terjadi pada Jake hanya sekedar tahu saja. Karakter Jake yang cenderung datar tidak membuatnya menjadi karakter yang perlu diperhatikan juga.

Sebagai sebuah film arthouse, kita juga akan melihat beberapa treatment nyentrik di dalam “I’m Thinking of Ending Things”. Yang pertama adalah film menjahit ceritanya dengan film lain di pertengahan masa. Walaupun dengan timing yang tidak tepat dan konteks yang sulit dimengerti, namun ini tetap menjadi poin yang menarik untuk diperbincangkan.
Kemudian ada pemanfaatan animasi dalam film ini. Secara gamblang dijelaskan bahwa film animasi ini di-mention dalam percakapan si cewek dengan Jake. Tapi ya lagi-lagi, ini bukan sesuatu yang mudah dicerna walaupun berbeda dengan sisipan adegan film yang tadi, masuknya animasi diawali oleh pembukaan yang lebib baik. Jadi gak tiba-tiba kaget.
Terus yang berikutnya adalah adanya tari di dalam beberapa adegan. Bahkan tarian ini menjadi sesuatu yang penting di tahap resolusi. Kenapa harus ada tari? Apakah tari itu memiliki makna khusus? Again, itu menarik untuk diperbincangkan dalam konteks naratif.
Terakhir adalah suara. Akan sering kita dengarkan konsep Internal Diagetic Sound. Di sini kita bisa mendengar apa yang diucapkan seorang karakter namun tidak demikian bagi karakter lainnya di dalam dunia cerita yang sama.

Menonton film ini jelas membutuhkan tenaga karena semuanya sulit dicerna. Dari awal sampai akhir film, kita disuguhkan banyak clue. Sayang, konstruksi dari bagian-bagian yang mengejutkan ini mungkin hanya lewat dialog saja jadinya sehingga itu belum cukup menolong kita dalam memahami hukum kausalitas yang ada.
Ya, hukum kausalitas menjadi titik lemah film yang memang tidak seperti tidak ingin bergantung pada hal yang dianggap konservatif. Meski begitu, hukum kausalitas sangat penting guna mencerna cerita yang ada. Sesuatu muncul pasti ada penyebabnya. Apalagi ini adalah character driven movie yang diambil dari sudut pandang si cewek.
Secara teknis, Charlie Kaufman tidak perlu diragukan dengan segala keunikan yang ia ciptakan di layar. Mulai dari set hingga vibes, semua sukses menguatkan aura yang tidak nyaman. Menonton “I’m Thinking of Ending Things” bukan tidak mungkin akan membuatmu “Struggling to think about every things”.
Director: Charlie Kaufman
Casts: Jessie Buckley, Jesse Plemons, Toni Collette, David Thewlis, Guy Boyd
Duration: 134 Minutes
Score: 7.0/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
I'm Thinking of Ending Things
'I'm Thinking of Ending Things' menceritakan seorang perempuan muda yang bingung dengan hidup yang ia jalani, termasuk dengan kekasihnya sendiri.Apakah yang terjadi dengannya? Bisakah ia menyadari apa yang ia rasakan selama ini?