“Do you believe in evil, Professor? I didn’t, until that night.”- Mike Priddle
Film ini merupakan adaptasi dari pementasan teater yang sukses di tahun 2010. Dibuat oleh Jeremy Dyson dan Andy Nyman, mereka berdua kemudian membawa kengerian versi teaternya ke layar lebar. Dalam versi teater, Ghost Stories berhasil membuat penonton berteriak ketakutan. Kisah ini kemudian bertahan sampai dua tahun di West End – London, kemudian turut dimainkan pula di luar negeri yaitu di Kanada, Rusia, Australia, Cina, hingga ke Peru.
Anyway, proses adaptasi ini tentu bukan tanpa hambatan. Terdapat tantangan ketika Andy dan Jeremy memutuskan untuk membuat versi film dari Ghost Stories karena ada hal yang harus disesuaikan berdasarkan ketentuan format yang ada. Kepada Deadline, Andy mengutarakan bahwa salah satu challenge-nya adalah mereka harus mengganti satu elemen di dalam narasi karena elemen tersebut, walau punya arti penting, dinilai lebih cocok untuk ditampilkan di versi teater. Beruntung, duo ini menemukan solusi yang pada akhirnya membuat Ghost Stories menjadi karya yang berkualitas, baik itu untuk film maupun drama sandiwara.
Film bercerita tentang Profesor Goodman (Andy Nyman), seorang lelaki skeptis yang hidup sendiri. Ia memiliki ketertarikan terhadap hal-hal berbau metafisik, sayangnya ketertarikan tersebut bukan hal yang positif. Profesor Goodman tidak percaya akan eksistensi mereka yang katanya tak kasat mata. Melalui acara televisinya yaitu “Psychic Cheats”, ia berusaha untuk mengungkap trik dari acara-acara yang kalau di Indonesia itu semacam “Dunia Lain”, ” Uka-Uka”, atau yang paling kekinian: “Karma”.
Selain sibuk mengungkap kebobrokan acara-acara semacam itu, Profesor Goodman juga mengawasi gerak-gerik salah seorang psikolog. Layaknya Ed dan Lorraine Warren di film The Conjuring, pekerjaan sang psikolog ini adalah menyelidiki banyak kasus misteri. Suatu hari, tanpa disangka-sangka sang psikolog tersebut menghilang. Beberapa hari setelahnya, sebuah surat datang ke rumah Profesor dan isinya adalah tantangan yang diberikan oleh si psikolog edan. Ada tiga kasus berbeda yang harus dipecahkan oleh Profesor Goodman. Ia menyelidiki kasus-kasus itu dan buktikan bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.
Melihat bagaimana alur cerita dirancang sedemikian rupa ketika sang profesor menyelidiki satu demi satu kisahnya, semakin setuju pula kami dengan predikat film ini sebagai horor british terbaik. Set-up yang disusun dengan menceritakan terlebih dahulu backstory dari masing-masing saksi memberikan kedalaman yang cukup berarti. Setelah itu, kita baru memasuki zona teror yang dialami.
Formula yang begitu sederhana, di mana posisi Profesor Goodman hanya mendengarkan sedangkan kita sebagai penonton diajak flashback ke malam kejadian. Tapi, semua jadi sangat memuaskan karena kejutan-kejutan kecil dan juga jumpscares yang ditampilkan secara efektif. Sound mixing-nya gak ada obat! Film ini sama sekali tidak menyajikan makanan mentah, bahkan cepat saji. Mereka bisa menimbulkan kesan yang datang dari mana saja dan kapan saja. Hasilnya? Memuaskan. Tidak jarang ada yang begitu terkejut sampai mengeluarkan sumpah-serapah dan berdasarkan pantauan iseng, banyak juga penonton yang menutup mata hampir di sepanjang penyelidikan Profesor Goodman.
Kengerian ini semakin didukung oleh penggambaran karakter dan performa apik dari masing-masing aktor. Semua tampil solid sehingga memberi nyawa bagi Ghost Stories. Andy, meskipun berperan sebagai tokoh utama, tapi seiring berjalannya waktu kita juga semakin bisa melihat perkembangan karakternya. Profesor Goodman ternyata tidak sekuat yang dikira sebelumnya. Mike Priddle (Martin Freeman) sebagai pemain yang paling dikenal luas juga terlihat karismatik. Dibanding dua kasus lainnya, kisah dari Mike Priddle memang memiliki porsi paling sedikit. Tapi ternyata, itu hanya sebuah permulaan dari kejutan yang besar.
Gelar MVP boleh diberikan kepada aktor muda, Alex Lawther. Ia memerankan seorang remaja yang sangat ketakutan dan rapuh gara-gara “pertemuan” supranatural yang dialami. Hal tersebut membuat karakternya menjadi gila. Ketika ditampilkan layar, penonton bisa merasakan ketidaknyamanan yang berasal dari masa lalu. Trauma ini kemudian dieksploitasi menjadi sesuatu yang membuat ambience tertentu. Senyuman Alex bisa dideskripsikan sebagai versi bagus dari “Willem Dafoe Grin” yang ada di film Truth or Dare baru-baru ini. Sebuah senyuman intimidatif yang sama sekali tidak terlihat seperti lelucon.
Kemudian penampakan setan yang menjadi punchline yang pas. Mereka ditampilkan sebagai klimaks dari set piece yang sudah susah payah dibangun. Sosok dari setan di Ghost Stories tidak melebar hingga ke level yang konyol. Bagaimana bentuknya, kemudian penampilannya secara keseluruhan, plus sokongan musik yang menggelegar membuat kita benar-benar berada di posisi para saksi. Terkesiap, terpaku, dan tidak tahu harus ngapain lagi selain pasrah. Tapi apakah kata “pasrah” merupakan satu-satunya jalan keluar bagi Profesor Goodman? Sepertinya tidak. Dia yang mengawali semuanya. Kamu tak perlu mengharapkan hal-hal berat macam jalinan emosional yang ada di dalam kasus. Semua murni teror menyeramkan yang menimpa tiga orang pria. Cermin sesungguhnya tetap ada di dalam diri Profesor sendiri. Bagaimana ia, sebagai orang yang pragmatis, menyikapi hal-hal semacam itu. Lebih jauh lagi, kita juga akan melihat bagaimana ke depannya ia dapat menyelesaikan urusannya sendiri.
Berkat awal penceritaan yang relate sekaligus menyentil kita sebagai orang yang (akuilah) doyan hiburan-hiburan berbau mistis, kemudian bagian selanjutnya yang menyerupai sebuah paket combo, Ghost Stories adalah sajian yang tidak hanya sudah lama dinanti-nanti namun juga padat berisi. Butuh usaha untuk bisa melalui seluruh kasusnya, dan itu akan bermuara pada satu konklusi yang timbul merajut setiap penggalan cerita. Kalau kamu sudah tidak kuat, coba lambaikan saja tangan ke kamera.
Director: Jeremy Dyson, Andy Nyman
Starring: Andy Nyman, Martin Freeman, Alex Lawther, Paul Whitehouse
Score: 8.3/10