“We have to take what we can, when the taking is good.” – King-Lu.
Film ini bisa dibilang unik. Karena cukup tidak menyangka bahwa sebuah film period drama ber-setting Amerika pada abad ke-19 ternyata memiliki unsur cita rasa. “First Cow” adalah film yang sebetulnya sudah mencuri perhatian sejak sebelum pandemi melanda.
Film ini dipuji oleh para kritikus sebagai salah satu yang terbaik tahun ini. Apes, karena pandemi “First Cow” menarik perilisannya dari bioskop yang saat itu masih terbatas dan memutuskan untuk rilis VOD. Rencananya sih nanti film ini akan kembali rilis di bisokop setelah kondisi kembali normal.
Ceritanya sendiri berkutat pada dua orang yaitu Cookie (John Magaro) dan King-Lu (Orion Lee). Mereka berdua tidak sengaja bertemu, kemudian memutuskan untuk memulai suatu usaha baru.
Hal pertama yang di-notice dari film adalah rasionya. “First Cow” menggunakan aspek rasio yang lebih kotak, atau biasa disebut dengan “Fullscreen”. Menurut buku “Memahami Film” karya Himawan Pratista, format Fullscreen sudah ditetapkan dengan aspek rasio 1.33:1 oleh Academy of Motion Picture Art and Sciences.

Selama beberapa dekade, format ini telah menjadi standar rasio untuk televisi tabung. Untuk motif penggunaannya terhadap tuntutan naratif, tidak terlalu kuat. Sebagai film yang menampilkan satu masa tertentu dan ditampilkan dalam warna, agak kabur sebetulnya apa fungsi dari penerapan format Fullscreen begini.
Mungkin alasannya adalah untuk menggambarkan intimacy. Karena satu aspek yang menonjol dari film adalah mengenai persahabatan antara Cookie dan King-Lu.
Bagaimana mereka berdua bertemu, kemudian berinteraksi satu sama lain, dan akhirnya memutuskan untuk bekerja sama demi meraih mimpi adalah hal yang sangat terpampang jelas. Cookie dan King-Lu saling membantu untuk melakukan tindakan yang nekat. Kisah persahabatan ini memang sudah dimulai dari tahap persiapan.
Tapi karena “First Cow” beralur lambat, maka kita akan melihat dulu bagaimana persahabatan ini dapat terjalin dengan baik di awal, sebelum mereka melangkah lebih jauh lagi. Harapannya sih biar penonton bisa engage dengan mereka berdua. Jadi ketika film sudah melewati turning point pertama, deep connections-nya sudah ada.
Ceritanya sangat sederhana. Konfliknya juga justru bisa membuat kita tertawa. Tapi kurang lebih, apa yang terjadi dalam “First Cow” ini memang sesuai dengan latar waktu Amerika saat itu. Di mana Amerika menjanjikan sebuah peluang baru bagi semua orang untuk kembali membangun kehidupan. Peluang untuk sukses dengan menjadi apapun yang kita inginkan, dan segala cara bisa ditempuh agar terwujud.

Uniknya, cara yang ditempuh oleh Cookie dan King-Lu termasuk unik dan tidak terpuji. Mereka mengambil jalan yang sebetulnya kekinian banget, yaitu membuka usaha kuliner. Agak gak kepikiran sih, bikin usaha kuliner di Amerika abad ke-19, di mana saat itu mungkin usaha yang ada lebih ke jual beli hewan buruan atau emas dan semacamnya.
Nah yang jadi taruhan adalah ketika film memasukkan sub-text mengenai kelas sosial. Kebutuhan untuk membuat kuliner yang baik dijadikan sebagai motif yang berani untuk dapat menggerakkan cerita yang kecil ini. Ketika melihat apa yang dilakukan oleh Cookie dan King-Lu, lalu apa outcome dan dampak yang mereka hasilkan kepada orang lain di lingkungannya, kita akan merasakan satu tindak kriminal yang terjadi, yang kemudian dimanfaatkan untuk dikaitkan dengan hal kesenjangan sosial.
Lucu juga sih ngeliatnya, walaupun di sisi lain kita tidak melihat ada semacam opression yang diberikan oleh mereka yang punya kuasa sehingga merugikan yang jelata. Toh juga masih kurang jelas bagaimana bisa kita dapat menganggap orang yang berkuasa tersebut sebagai tokoh antagonisnya. Semua hanya didasari oleh kondisi saat itu saja yang sulit namun potensial.
Konflik mulai meninggi ketika usaha kuliner Cookie dan King-Lu semakin terkenal sehingga mengundang satu karakter baru untuk datang. Di sini lah saat di mana konflik semakin meninggi tapi di sisi lain juga semakin lucu secara tidak langsung.

Cerita yang awalnya lambat sekali perlahan-lahan mulai menarik. Kurang lebih ini gara-gara akses informasi tertutup yang diberlakukan oleh film, sehingga kita sebagai audiens hanya tahu semuanya dari kacamata Cookie dan King-Lu saja.
Nah, untuk menghantar ke turning point kedua, film baru deh menggunakan variasi naratif. Di sini film menggunakan batasan informasi cerita terbuka, yang berhasil membuat kita jadi deg-degan.
Bagian ini sebetulnya predictable sekali. Pasti akan ada saatnya atau waktunya seperti ini. Cuman karena build-up nya sudah matang jadi kita sudah enak untuk mengikuti alurnya.
Untuk segi visual, film ini tentu banyak menampilkan alam liar Amerika pada abad ke-19. Hutan-hutan, sungai, dengan rumah-rumah penduduk yang masih sederhana apa adanya yang terbuat dari kayu dan jalanan yang berlumpur. Baju yang dikenakan oleh para pemain juga terlihat sudah sesuai dengan latar waktunya dan juga status sosialnya.
Cukup menarik ketika melihat pakaian yang dikenakan oleh tetua Indian yang ada di film ini. Pakaian yang dikenakan lebih berunsur barat dibanding lokal. Untuk mendukung otentisitas, film juga menyertakan Bahasa Indian di dalam sedikit percakapannya. Terlihat bagus, sanggup membawa kita ke dunia cerita dengan baik.

Kemudian, meski tidak memiliki keterkaitan dengan dialog di scene yang bersangkutan, ada saat di mana sineas memanfaatkan framing secara utuh melalui posisi dan pergerakan pemain baik pada latar depan maupun latar belakang. Ditambah pula dengan pergerakan kamera dan rasionya, creative decision ini cukup menyegarkan.
Sebuah film yang mengangkat tentang keinginan, kenekatan, peluang dan ketimpangan dalam bingkai persahabatan. Alurnya lambat, sehingga membuat paruh pertamanya sangat rentan akan ancaman kebosanan.
Beruntung di pertengahan, film bergerak ke arah yang cukup menghibur. Kita bisa melihat kenekatan yang dapat menjaga fokus pada cerita yang dialami oleh Cookie dan King-Lu. Asik, namun dalam konteks tertentu.
Director: Kelly Reichardt
Casts: John Magaro, Orion Lee, Toby Jones, Ewen Bremner
Duration: 122 Minutes
Score: 7.1/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
First Cow
'First Cow' menceritakan bagaimana di awal abad ke-19 di Amerika, dua individu yang baru saja bertemu, memulai usahanya dengan seekor sapi yang dijadikan modal mereka dalam berbisnis kuliner