“I know it’s an unusual name, but my mother is rather a fan of word games, and Enola spelled backwards reads…well…alone.” – Enola Holmes.
Menjadi sesutau yang lumrah ketika sebuah kisah dan juga karakter-karakter legendaris diperkenalkan ulang kepada penonton generasi baru. Ada beberapa caranya, salah satunya adalah dengan mengangkat karakter baru yang ditempatkan di universe karakter yang memorable itu.
Bagi Sherlock Holmes, hal tersebut tentu bukan masalah karena hak kekayaan intelektual dia sudah menjadi domain publik. Kita bebas-bebas aja sebetulnya untuk membuat sebuah penceritaan baru tentang dunia Sherlock Holmes itu. Meski kabarnya sempat mendapat tuntutan dari ahli waris keluarga Sir Arhur Conan Doyle, namun film “Enola Holmes” tetap berjalan.
Bahkan, ternyata film ini sukses berperan ganda yang keduanya saling berkaitan. Pertama adalah memperkenalkan karakter-karakter ikonik tadi kepada generasi baru. Kedua adalah sebagai penentu zaman yang secara sadar (dan unik) diceritakan pada masa yang sebaliknya.

Enola Holmes adalah karakter detektif perempuan yang ahli mencari barang dan orang hilang. Tapi wajib diingat, Enola bukan lah karakter yang diciptakan oleh pengarang asli Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle. Enola adalah karakter yang diciptakan oleh novelis Amerika bernama Nancy Springer.
Bukunya sendiri baru terbit di tahun 2006, jadi emang masih fresh. Dalam kisah ini sejatinya terdapat dua kasus, tapi di awal kita disuguhkan langsung sama apa yang ditampilkan dalam trailer.
Enola suatu ketika terbangun di rumah sendirian. Sang ibu, Eudoria Holmes (Helena Bonham Carter), pergi entah kemana. Sadar ibunya gak pulang-pulang, Enola bertemu dengan Sherlock (Henry Cavill) dan Mycroft (Sam Claflin). Konflik berikutnya muncul di mana Mycroft tidak menganggap Enola sebagai seorang lady yang seharusnya ada di zaman itu.
Banyak hal yang menarik diulas dari “Enola Holmes”. Mungkin di awal kita bisa melihat dari vibes yang ditampilkan film ini. Sutradara Harry Bradbeer membuat film detektif remaja ini dengan asik. Bagaimana ia mengolah sinematografi yang terlihat dan juga terasa dinamis, kemudian banyak menampilkan warna-warna yang cerah. Tidak membuat penuansaan gelap dan menyeramkan, lah!
Prolog menempatkan Enola yang sedang mengendarai sepeda menyambut penonton dengan apa yang Ia alami. Kemudian ternyata aksi yang sedang dilakukan Enola bermuara pada act berikutnya. Itu cukup efektif sebagai daya tarik di awal. Kemudian editing-nya juga luwes sekali.
Mungkin ini bukan termasuk kontinuitas grafik karena gambar lebih ke dilanjutkan, bukan dipadankan lalu dilanjutkan. Namun tetap, arahan seperti ini terbilang fresh bagi sebuah film detektif dan mengeluarkan semangat yang cocok bagi kisah detektif remaja. Belum lagi mengenai adegan aksinya yang meski tidak banyak namun digarap dengan baik. Kombinasi aksi dengan sedikit sentuhan flashback sukses berpadu apik.

Arahan paling bold tentu saja ‘breaking the fourth wall’. Dan ya, hal ini tidak akan hanya kita temui di awal saja. Enola ternyata cukup rajin dalam membimbing penontonnya selama durasi film berlangsung. Ini adalah sesuatu yang asik tapi di sisi lain punya resiko tinggi.
Adanya breaking the fourth wall bisa membuat dunia penonton dan dunia cerita selalu bertubrukan. Bukan tidak mungkin ini bisa mengganggu kenyamanan. Kemudian, breaking the fourth wall membuat film lebih suka memanfaatkan wordy exposistion. Kemudian resiko berikutnya yang mereka tampilkan adalah karakter Mycroft Holmes. Secara perawakan, ini orang udah beda karena terlihat lebih seperti Watson.
Tapi sifatnya, beda banget dengan yang diperkirakan walau bisa banget diprediksi. Jarang lho kita bisa melihat kiprah Mycroft di film layar lebar, dan sekalinya Ia tampil dengan sifat seperti itu adalah sesuatu yang bisa dimengerti, meskipun cukup berat.
Dua kasus yang ada di dalamnya terjahit dengan rapi. Bisa ditebak, karena dua kasus ini sama-sama penting maka tantangan yang ada adalah apakah tersisa waktu yang cukup untuk keduanya. Enola di sini terlihat menjadi helper untuk kasus yang satu, dan untuk kasus yang satu lagi Ia akan menemui satu rintangan besar.
Cuman begini, film memberikan alasan yang lumayan cukup bagi karakter utama dalam terlibat lebih jauh di suatu kasus, meskipun seharusnya di momen itu film juga dapat menguatkan alasan lain yang menjadi kuncinya.
Tapi ya, hal ini masih cukup menolong aspek naratif ketika mulai berubah haluan dari kasus A ke kasus B. Bukan semata-mata karena takdir, tapi takdir lah yang membuat Enola memiliki tanggung jawab untuk membantu.
Film ini mengingatkan hal penting di mana kekerasan tidak bisa menjadi jalan keluar yang tepat. Karakter Enola kemudian membuktikan itu dengan segala kemampuan dan kepribadiannya, sehingga layak menjadi sosok yang kita suka dan ditunggu-tunggu sepak terjang selanjutnya.
Kesukaan terhadap Enola ini tentu tidak lepas dari apiknya Millie Bobby Brown membawakan karakter Enola Holmes. Wah gokil sih ini anak! Dia benar-benar bisa menghidupkan sesosok remaja cewek yang revolusioner. Apa yang menjadi visi dari novel dan juga sutradaranya bisa-bisa sulit tercapai tanpa penampilan yang mengagumkan dari sang aktris. Millie Bobby Brown sukses memberikan warna baru, perspektif baru, dan makna baru lewat Enola Holmes.

Henry Cavill? Well, dia adalah alasan lainnya mengapa kita menonton film ini. Sosok Sherlock Holmes nya sih sama dengan Mycrift ya, alias kurang cocok, di mana Sherlock di sini terlihat begitu tegap, gagah, berotot padahal Sherlock aslinya lebih ramping. Tapi perannya sebagai Sherlock di sini masih oke. Ia juga dapat menjalin chemistry yang baik dengan lawan mainnya, terutama dengan Millie. Bonding antara Enola dengan Sherlock menjadi relationship kakak-adik yang patut ditunggu juga kelanjutannya.
Dalam memecahkan misteri, ada satu senjata yang digunakan oleh film agar kita bisa, at least, ikut dalam memecahkan misteri. Senjata tersebut adalah lewat kata-kata. Eudoria Holmes diceritakan suka sekali bermain kata. Mulai dari membolak-balik kata, hingga mengacaknya jadi tidak beraturan.
Secara tidak langsung ada beberapa saat di mana film memanfaatkan ini. Kemudian kita juga akan ngeh dengan apa yang disajikan di surat kabar, atau apa yang diucapkan oleh karakter lain. Untuk karakter antagonisnya, tidak terlalu menonjol. Film juga harus membagi jatah antara Enola dalam memecahkan kasus-kasusnya, dengan Enola dalam menjadi seorang lady.
Untuk poin kedua hal tersebut akan digubris lebih banyak di pertengahan film. Tapi tenang, berkat awalan yang baik, ketika film masuk ke bagian ini kita sudah tahu bagaimana state of emotion dari Enola dan toh bagian ini pun ditampilkan dengan cara yang efektif, melalui penggunaan montage sequence.

Film berhasil membawa dirinya dari level mengasyikkan ke menggembirakan. Mengapa demikian? Karena “Enola Holmes” tidak hanya piawai tampil beda namun juga bisa mengolah konflik-konfliknya dengan baik. Terhubungnya tuh enak antara yang satu dengan yang lain. Belum lagi akting Millie Bobby Brown di sini terbilang top notch. Ia berhasil membawakan karakter yang menjadi simbol perempuan modern, tapi hidup di zaman yang sangat konservatif.
Berbicara mengenai konteks, unsur perjuangan demi terciptanya kesetaraan tidak dibawakan secara rough, which is diluar dugaan dan itu bagus. Sayang, pilihan sinematiknya tidak jarang melukai film itu sendiri. Belum lagi looks dari beberapa karakter yang jika dilihat dari sampulnya sudah cukup berisiko.
Kemudian ada beberapa bagian penting dalam penceritaan yang forgettable, dan apesnya semua ini mengarah pada intrik terkait RUU Reformasi, yang mana menjadi bagian ter-grande dari konflik. Well, walau begitu, film berikutnya tetap layak ditunggu.
Director: Harry Bradbeer
Starring: Millie Bobby Brown, Henry Cavill, Sam Claflin, Louis Partridge, Helena Bonham Carter, Fiona Shaw, Susie Wokoma, Frances de la Tour, Burn Gorman, Adeel Akhtar
Duration: 123 Minutes
Score: 8.0/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Enola Holmes
Setelah kita mengenal detektif terkenal Sherlock Holmes, kini sang adik, Enola Holmes muncul sebagai karakter baru yang memikat sebagai gadis pemberontak yang berpikiran feminis dan maju di kala Inggris masih berpikiran sangat konservatif