Tak dipungkiri bahwa kasus kehamilan remaja di luar nikah masih lumayan tinggi di negeri kita. Dan umumnya faktor penyebab utamanya, dikarenakan kedua pelakunya kurang mendapatkan edukasi seks yang memadai.
Padahal justru hal tersebut sangatlah dibutuhkan oleh mereka-mereka yang masih belia sehingga jumlah kasus kehamilan karena “kecelakaan”, bisa semakin ditekan.
Nah bisa dipastikan karena hal itulah yang alhasil membuat sutradara sekaligus penulis naskah Gina S. Noer (Ayat-Ayat Cinta), tergerak untuk membuat “Dua Garis Biru”.
Dengan kata lain, Gina ingin agar film ini bisa menjadi media edukasi seks yang sangat efektif bagi remaja-remaja di negeri kita saat ini. Apakah tujuannya mulianya ini tersampaikan sesuai harapan?
Dara (Zara JKT 48) dan Bima (Angga Yunanda) adalah sepasang kekasih yang saling sayang satu sama lain terlepas keduanya memiliki latar belakang yang bagaikan bumi dan langit.
Dara adalah gadis yang berasal dari keluarga mapan dan cerdas di sekolahnya. Sedangkan Bima adalah lelaki remaja yang bersal dari keluarga yang sangat kurang mampu dan ironisnya, kurang begitu cerdas juga di bidang akademiknya.
Tapi seperti yang telah dikatakan, perbedaan tersebut justru tidak menjadi penghalang sama sekali bagi keduanya untuk saling menyayangi satu sama lain. Malah saking lekatnya, keduanya kerap dicap sebagai “suami istri” oleh teman-teman sekelas mereka.
Namun cap tersebut suatu hari menjadi kenyataan setelah Bima dan Dara tidak sengaja “kebablasan”. Sontak gara-gara ini, kehidupan keduanya mendadak menjadi berubah total.
Dan kini di usia mereka yang masih sangat belia, keduanya harus menghadapi realita pahit untuk menjadi ayah dan ibu serta menanggung malu dari teman, orang tua, dan lingkungan sekitar mereka. Mampukah keduanya menghadapi seluruh tekanan ini dengan sebaik-baiknya?
Jujur awalnya kita agak merasa ragu dengan apa yang akan ditampilkan dalam film ini. Rasa cemas akan penceritaan plot yang layaknya bertutur seperti sinetron atau film Indonesia pada umumnya.
Terkadang “Dua Garis Biru” memang terlihat dan terasa demikian. Tapi secara keseluruhan, audiens akan sangat terkejut di sepanjang menyaksikan filmnya. Film ini walaupun memiliki premis yang umum, namun kerennya tidak terlihat cheesy.
Malah kita berani mengatakan kalau film yang diproduseri oleh Reza Servia ini, terlihat seperti film coming of age Hollywood layaknya Juno (2007) atau film-film “berat” Hollywood kebanyakan.
Hal ini tentunya difaktori oleh keputusan shot demi shot yang diambil oleh Gina dan juga naskahnya yang sangat artistik dan to the point. Pokoknya sangat sedikit kita menemukan adegan yang pemahamannya harus dijelaskan lagi ke kita-kita sebagai audiens.
Dan tentunya kita perlu mengacungi jempol terhadap sikap Ginatri yang sangat menghormati keintelektualan penontonnya ini. Lebih jauhnya soal pengambilan gambar, kami sekali lagi terpukau sekali Chillers.
Setiap keputusan pengambilan gambar mau itu close-up, wide, semuanya dilakukan Gina sesuai dengan scene dan emosi yang sedang ditampilkan.
Selain itu ia bahkan menampilkan shot metafora yang dikhususkan bagi buah stroberi yang merupakan shot sekaligus bentuk penulisan naskah yang sangat cerdas yang pernah dilakukan oleh seorang sineas di negeri kita.
Oh ya satu hal lagi, Gina melalui film ini, sukses menyampaikan tujuannya untuk memberikan edukasi seks bagi seluruh remaja tanpa terlihat “preachy”. Ia menampilkannya dengan sangat fun namun, tetap menampilkan realita dengan implikasi yang cenderung kejam dari perbuatan “iseng-iseng” yang dilakukan oleh Dara dan Bima.
Kehebatan Gina juga didukung dengan suguhan soundtrack nya yang terdengar kalem namun tetap atmosferik di kedua telinga. Walau hit dari band lawas Indonesia, Naif – “Jikalau”, membawa nostalgia masa lalu, namun tetaplah “Growing Up” milik Rara Sekar yang sukses mencuri kedua telinga kita.
Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa film ini masih saja memiliki beberapa kekurangan. Selain kisahnya yang terkadang masih terlihat seperti sinetron, kekurangan utama yang paling mengganggu adalah penampilan Angga di film ini.
Entah mengapa, setiap ia tampil di layar, kita akan langsung merasa tak nyaman saja melihatnya. Belum lagi penampilannya di film ini masih terlihat kaku dan kurang pintar seperti karakternya.
Chemistry-nya dengan Zara mungkin baik disini, tapi tetap saja ketika ia tampil secara individual, ia terlihat tidak sekeren seperti lawan mainnya yang menurut kami adalah penyelamat film ini dan bintang dari film ini.
Penampilan Zara sebagai Dara, benar-benar terlihat jauh lebih dewasa dari usianya. Selain itu wajah imutnya memang terlihat sangat karismatik dan membuat kita tersenyum sendiri ketika melihatnya. Dengan kualitas aktingnya yang semakin keren, ya sepertinya ia harus menjadikan akting sebagai back-up karirnya.
Penampilan dewasa Zara juga diperkuat dengan penampilan aktor-aktor pendukung dewasanya yang semakin menyelamatkan film ini. Dan adalah mantan pemeran Indah di sinetron “Tersanjung”, Lulu Tobing yang membuat kami takjub sendiri ketika melihatnya.
Bagaimana tidak? Kami tidak menyangka sama sekali bahwa aktris yang dulunya kerap memerankan gadis “tertindas”, bisa menampilkan sisi kejudesan dan borjuisnya di film ini.
Ia cukup membuat kami kesal mengepalkan tangan sendiri. Tapi di saat yang sama, kami merasa bingung banget dengan treatment karakternya ini.
Ia memerankan ibunda Dara bernama Rika. Dan ia dari pertama terlihat seperti sosok wanita yang akan menjadi tipikal ibunda antagonis Indonesia. Tapi seiring berjalannya adegan, terungkap bahwa ia sebenarnya hanyalah memiliki sikap yang keras, traumatik, dan melihat hitam dan putihnya perbuatan dari pandangannya yang cukup unik.
Kalau demikain, mengapa dari awal audiens sudah di-mindset bahwa ia akan menajdi sosok “nenek sihir jahat?” Tapi ya untungnya Lulu Tobing keren banget dalam memerankan kekompleksan karakternya ini.
Terlepas beberapa kekurangan yang telah disebutkan dan kontroversi panas pemboikotan filmnya, “Dua Garis Biru” tak dipungkiri memanglah film yang sangat dibutuhkan di waktu-waktu sekarang ini.
Gina boleh bernafas lega karena kerja kerasnya selama hampir 10 tahun (draft naskah telah dibuat sejak tahun 2009) ini terbayarkan. Misinya untuk memberikan edukasi seks terhadap para remaja di negeri kita, benar-benar tersampaikan dengan sangat baik.
Semoga saja setelah dirilisnya film ini, tidak hanya angka kasus kehamilan di luar nikah dan di bawah umur bisa semakin menurun, namun juga jumlah-jumlah film-film Indonesia berkualitas seperti ini akan semakin meningkat jumlahnya.
Bagi Chillers yang juga sesuai kedua karakter utama film ini, sangat disarankan untuk menyaksikan film ini. Namun di saat yang sama, bagi kalian yang mungkin sudah tergolong dewasa (20 tahun ke atas), bukan berarti kalian tidak bisa menyaksikan filmnya.
Karena satu faktor keren lagi dari “Dua Garis Biru”, adalah walau filmnya ditujukan pada remaja, namun kita-kita yang dewasa juga masih bisa menikmatinya tanpa harus merasa seperti seseorang yang harus dinasehati lagi mengenai urusan bahayanya seks di luar nikah.
Director: Gina S. Noer
Starring: Angga Yunanda, Zara JKT48, Lulu Tobing, Dwi Sasono, Cut Mini Theo, Arswendy Bening Swara, Ligwina Hananto, Asri Welas
Duration: 113 Minutes
Score: 7.5/10
The Review
Walau memiliki beberapa kekurangan di departemen aktingnya, Dua Garis Biru tak dipungkiri merupakan film yang sangat keren dan efektif dalam memberikan edukasi seks terhadap seluruh remaja Indonesia saat ini dan tentunya, salah satu film Indonesia terbaik yang pernah diproduksi.
Review Breakdown
-
Movie Rating