“Being back here, it is not easy.” – Paul.
Netflix mengeluarkan film unggulan keduanya belum lama ini. Film yang diberi judul “Da 5 Bloods” ini merupakan salah satu film yang ditunggu-tunggu, karena disutradarai oleh Spike Lee, sutradara nyentrik yang vokal dalam bernarasi. Film ini menceritakan tentang empat orang veteran perang yang kembali ke Vietnam. Mereka mengemban dua buah misi, yang pertama adalah bertemu dengan pemimpin mereka yang masih ada di Vietnam. Kemudian yang kedua adalah menemukan harta karun yang mereka dapat ketika berhasil melakukan sebuah misi penyelamatan.
Dengan narasi “black narrative” tentang perang Vietnam, maka pasti di dalamnya juga ada narasi-narasi yang memberi tahu kebenaran tentang apa yang dialami oleh para tentara Amerika yang berkulit hitam selama bertugas di Vietnam dulu.
Menilik sedikit ke sejarah Amerika Serikat, perang Vietnam bisa dibilang adalah sebuah kekacauan di dalam negeri. Karena merupakan perang yang turut disiarkan oleh stasiun televisi, warga AS melihat betapa kejamnya medan perang, sehingga banyak protes berdatangan untuk segera menarik diri.

Bicara mengenai kemanusiaan yang disia-siakan untuk perang, satu info baru yang ditemukan dari film ini adalah orang kulit hitam saat itu dituliskan merupakan sebelas persen dari total penduduk. Tapi di perang Vietnam ada sekitar 32 persen tentara kulit hitam yang diterjunkan di garis depan. Well, terlepas dari informasi yang diberikan, “Da 5 Bloods” memiliki beberapa catatan yang menarik.
Melihat dari segi sinematiknya, oh film ini banyak yang bisa kita bahas. Pertama adalah rasionya. Terdapat perbedaan yang nyata antara ketika narasi berbicara saat zaman sekarang dengan zaman perang. Untuk zaman sekarang, rasio yang ditampilkan basically adalah 2.39:1.
Ini memiliki keunggulan lebar, dan cocok aja jika melihat faka bahwa film ingin menonjolkan unsur pershabatan antar “Bloods”. Rasio ini kemudian akan semakin membesar setelah para Bloods memasuki hutan. Kemudian untuk bagian perang Vietnam, rasio akan berubah jadi lebih kotak, yaitu 1.33:1. Ini dimaksudkan biar sesuai dengan imej televisi, di mana balik lagi, Perang Vietnam adalah perang yang dulu ditampilkan di TV.
Kemudian tonalitas warna, kontras, semua coba disesuaikan ala gambar TV jadul untuk semakin menguatkan tuntutan naratifnya. Terakhir, ada juga yang menerapkan Super 8 23.9:1. Jadi kita bisa melihat gambarnya kayak di-shot melalui handycam. Keterkaitan dengan naratifnya karena ada kalanya para Bloods kembali datang ke Vietnam untuk menikmati perjalanan.
Selesai membahas rasio, menarik untuk melihat transisi yang ditampilkan di dalam film. Sebagai poin artistik, kita bisa melihat beberapa teknik perpindahan gambar yang menarik.

Untuk perbedaan rasio, ada kalanya Spike Lee langsung mengecilkan atau membesarkan border, seiring dengan perubahan visual yang semestinya. Nah, selain itu, kita juga bisa melihat beberapa kali film menggunakan teknik editing “Masking”. Jadi film memanfaatkan sebuah objek untuk menjadi agen transisi dari satu shot ke shot berikutnya.
Ada juga saat di mana film menerapkan overlapping, yaitu manipulasi waktu melalui pengulangan sebuah aksi yang sama. Biasanya, overlapping gini dilakukan di film aksi yang digunakan agar audiens bisa melihat adegan aksi yang ada di layar dari sudut yang beda.
Nah, di “Da 5 Bloods” tidak terlihat penggunaan semacam itu. Belum selesai, ada saatnya juga di mana gambar yang tampil sengaja dibuat pendar. Ini kurang lebih sesuai dengan tuntutan naratif yang saat itu menampilkan memori dari para Bloods akan sesuatu hal.
Lalu karena ini menyangkut Perang Vietnam, maka akan ada saat di mana audiens bisa melihat seberapa ngerinya perang ini. Walaupun tidak ditampilkan dalam masa perang, namun peninggalan-peninggalan perangnya masih tersisa sampai sekarang. Biasanya di daerah-daerah terpencil. Akan ada satu scene yang mencengangkan, di mana tensi coba dibangun perlahan-lahan lewat dialog sebelum gongnya benar-benar kejadian.

Tapi yang bikin gila adalah apa yang di-shot setelah itu. Dibekali oleh raungan, kamera akan memperlihatkan secara jelas apa yang males untuk dilihat, tapi di sisi lain begitulah realitanya. Menarik untuk melihat bagaimana filmmaker membuat scene tersebut nampak nyata karena shot yang ada benar-benar menunjukkan kekacauan.
‘Peak of suspense’ dari sequence tersebut yang tampil tepat setelahnya tidak berhasil mengusir memori kita tentang sadisnya gambar yang tampil sebelumnya. Belum lagi, akan ada banyak violence yang muncul, mostly dari adegan baku tembak.
Untuk akting, ensemble cast dari keempat Bloods berasa chemistry-nya dari awal. Keseruan akting semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Konflik antar karakter mulai muncul, dan di situ performa Delroy Lindo semakin kama semakin oustanding! Ia memainkan karakter yang rumit. Ini ada kalanya membuat Delroy berakting layaknya orang gila, dengan langsung menghadap ke kamera. Delroy juga membuat penonton jadi gemas sekaligus bertanya-tanya.
Gemas karena sikap Paul yang paling ga nyantai diantara para Bloods, kemudian tersirat juga pertanyaan mengenai apa sih sebetulnya yang diinginkan oleh karakter ini. Delroy bisa menampilkan kompleksitas tersebut, dari yang awalnya waras menjadi ganas. Kepedulian audiens pun semakin terbayar lewat apa yang ditampilkan ke depan. Jelas bahwa Paul ini karakter yang sulit diperankan karena ini.
Kita bisa melihat dengan jelas segala macam konflik yang berhubungan dengan pencarian harta ini. Mulai dari konflik kepentingan dari beragam pihak, kemudian keinginan dari pribadi masing-masing Bloods untuk mempergunakan harta itu.

Di sana akan ada konflik-konflik sampingan yang mengelilinginya, seperti hubungan historis antara Amerika dan Vietnam yang ditampikkan belum usai, lalu hubungan ayah-anak yang awalnya maksa tapi akhirnya bagus juga, kemudian masuknya karakter-karakter baru di pertengahan film.
Khusus untuk penulisan mereka, orang-orang LAMB ini tidak terlalu bisa berbuat banyak. Justru hanya dijadikan semacam korban karena terpaksa pasrah dan ngikut aja sama keadaan yang terjadi. Di akhir film pun mereka tidak ngapa-ngapain juga.
Peperangan Vietnam tampil lumayan. Selain menggunakan pendekatan sinematik yang otentik, perang ini cukup seru untuk disaksikan juga walaupun isinya cuma tembak-tembakan dan CG yang disajikan juga masih belum memuaskan untuk sebuah film yang dibuat sama Spike Lee.
Yang bikin seru adalah tampilnya Hanoi Hanna, seorang penyiar radio yang menyiarkan berita untuk para tentara di medan perang. Walau penampilannya sebentar, namun akting Veronica Ngo terlihat keren. Intimidatifnya dapet. Satu pertanyaan besar (atau mungkin isu) di sini adalah bagaimana keempat Bloods ditampilkan.
Alih-alih menggunakan aktor yang lebih muda, mereka masih menggunakan aktor yang sama untuk memerankan versi muda. Ini membuat tampilan kurang dapat dipercaya karena keliatan banget perbedaannya antara Chadwick Boseman yang berperan sebagai Norm, pemimpin para Bloods, dan konco-konconya yang lucunya malah terlihat lebih tua.
Film hanya menunjukkan mereka versi lebih muda lewat foto, dan kalau dilihat-lihat tampilannya seperti ketika Netflix mengubah wajah para aktor senior di “The Irishman”.

Jika melihat dari sudut pandang berbeda, bisa dipahami jika film mendapat kritik soal bagaimana mereka menampilkan warga lokal dan lingkungan sekitarnya. Warga di sana diperlihatkan masih belum bisa merelakan apa yang terjadi ketika perang. Kemudian mereka juga bisa dipergunakan. Kemudian mengenai lingkungannya, pasti akan tertanam di benak kita bahwa Vietnam walaupun sudah keluar dari krisis perang sejak lama, masih ada barbar-barbar nya juga. Lingkungannya ekstrim, dan tidak dapat diterka. Perang tidak benar-benar berakhir.
Melihat pergolakan “Black Lives Matter” yang terjadi saat ini dan juga menyangkut tentang hak asasi, “Da 5 Bloods” jelas terkait dan powerful sekali. Film ini bernafas dengan baik di paruh pertama sehingga kita bisa tahu narasi-narasi apa saja yang ingin disampaikan oleh Spike Lee. Kemudian baru deh di second act filmnya mulai ngegas, diawali oleh sesuatu yang mencengangkan. Keunggulan teknisnya tidak perlu dipertanyakan meski masih ada sedikit kekurangan. Cara penceritaan seperti tadi juga memiliki resiko orang bisa bosan di awal karena banyaknya dialog yang diucapkan.
Director: Spike Lee
Casts: Delroy Lindo, Clarke Peters, Norm Lewis, Isiah Whitlock Jr., Jonathan Majors, Melanie Thierry, Paul Walter Hauser, Jasper Paakkonen, Johnny Tri Nguyen, Chadwick Boseman, Jean Reno, Veronica Ngo, Nguyen Ngoc Lam
Duration: 154 Minutes
Score: 8.2/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Da 5 Bloods
'Da 5 Bloods' yang disutradarai oleh sutradara kenamaan, Spike Lee, bercerita tentang empat orang veteran perang yang kembali ke Vietnam. Mereka mengemban dua buah misi, yang pertama adalah bertemu dengan pemimpin mereka yang masih ada di Vietnam.Kemudian yang kedua adalah menemukan harta karun yang mereka dapat ketika berhasil melakukan sebuah misi penyelamatan.Apakah kedua misi ini berhasil mereka lakukan?