“I’m no speech giver. I’m just a regular guy who keep a stretch of civilization open, but I really am honored to be named Kehoe Citizen of the Year. When you drive the same road day after day, it’s easy to think about the road not taken. I was lucky, I picked a good road early and I stayed on it.” – Nels.
Film ini merupakan remake dari film “In Order of Disappearance” karya Hans Petter Moland. Setelah sukses di festival film Berlin atau yang biasa disebut Berlinale, Hans mendapatkan tawaran remake untuk penonton Amerika. Tidak tanggung-tanggung, Hans kembali menjadi sutradaranya sehingga rasa yang dimiliki oleh film versi remake-nya nanti tak akan jauh beda dengan versi orisinilnya.
Benar saja, sentuhan sang sutradara asli kembali terasa di versi remake-nya, yang kini diberi judul “Cold Pursuit”. Dibintangi Liam Neeson, film ini masih memberikan nuansa yang sama. Sebuah sajian aksi dengan dark comedy yang absurd di tengah-tengah gurun salju.
“Cold Pursuit” bercerita tentang Nelson (Liam Neeson), seorang pembersih salju jalanan kota Kehoe, Colorado, Amerika Serikat. Tugasnya adalah membersihkan jalan dari salju yang menggunung sehingga warga bisa keluar masuk kota. Suatu hari, Nels mendapat kabar bahwa anak laki-lakinya wafat karena overdosis. Merasa anaknya bukan pecandu, Nels sempat terpikir untuk bunuh diri.
Sesaat sebelum menarik pelatuk, Nels bertemu dengan Dante, rekan kerja anaknya yang merupakan seorang pecandu. Setelah mengumpulkan informasi dari Dante, dimulai lah aksi balas dendam Nels kepada orang-orang yang menewaskan putranya.
Meski film di-remake dari sebuah film asal Norwegia, cerita “Cold Pursuit” secara garis besar masih serupa dengan cerita dari film-film Liam Neeson yang lain. Keluarganya diusik, lalu karakter yang diperankan olehnya keluar dan menghabisi para bajingan satu demi satu. Generik memang, namun dengan gaya khas dari Liam dengan mimik muka yang dingin semacam itu, membuat aksi balas dendam atau pengejaran balik ini menjadi sesuatu yang dinanti-nanti. Sesimpel itu saja.
Bagaimana Nels mengejar, mendapatkan, dan menghabisi lawannya satu demi satu. Yang menjadi keunikannya adalah, jarang kita melihat Liam Neeson, dalam melakukan aksi revenge dibumbui oleh percikan-percikan humor. Ini lah yang menjadi ciri khas yang untungnya tetap dipertahankan.
Ada beberapa scene kekerasan yang meski keras sekali, namun juga memancing tawa. Bisa jadi hal ini terjadi berkat tuntutan naratif, di mana Nels bukanlah seorang tukang pukul. Ia hanyalah seorang ayah yang sakit hati, warga terbaik tahun ini di Kota Kehoe.
Sajian “black comedy” lainnya terdapat pada treatment dari cerita. Mudahnya begini, kita harus mencermati dulu kalau “Cold Pursuit” merupakan straight-remake. Film aslinya berjudul “In Order of Disappearance”. Nah, jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, “In Order of Disappearance” akan sangat membantu kita dalam memahami konteks yang satu ini.
Film memiliki keunikan karena ada sistem tertentu di mana film justru menampilkan orang-orang yang tewas dari awal sampai akhir. Ini jelas sebuah anomali dalam film aksi atau laga. Mana ada yang peduli sama pemeran-pemeran yang mati, apalagi kalau mereka bukan bintang besar.
Tapi di sini, mereka “dikuburkan dengan layak”. Setelah shot yang menunjukkan mereka sudah mati, layar akan berubah menjadi hitam dengan cantuman nama dari sang karakter, nama samarannya, dan simbol dari kepercayaan yang mereka anut.
Ada di satu scene, dan treatment semacam ini betul-betul memecah gelak tawa. Dilihat dari sequence-nya dan bagaimana mise-en-scene dari shot akhir, maka “in memoriam segment” ini juga memfasilitasi apa yang terjadi. Yang menjadi lucu tentu adalah feel-nya, di mana kontradiksi yang hadir sangat kentara.
Namun, ada satu kejanggalan dari sistem kematian per segmen ini. Kami tidak bisa berkata bahwa treatment tersebut dilakukan secara konsisten seratus persen. Ada satu kali, di satu scene tertentu, di mana terlihat ketidaksamaan tampilan dari segmen yang satu ini dengan segmen yang lain.
Ya, hanya ada satu. Di mana jika yang lain tampil di blackout, namun tidak dengan yang ini. Kalau kita melihat dari dialog yang ada, bisa jadi ini disebabkan oleh kematian yang tidak ditunjukkan secara langsung, sehingga film memutuskan untuk menerapkan sesuatu yang berbeda agar apa yang sedang ditampilkan tidak nampak patah.
Hanya, downside-nya adalah, penonton jadi kurang ‘ngeh’ dengan tulisan yang ada. Selain karena ditumpuk dengan gambar yang sedang tampil di layar, penonton juga aslinya sedang asik mendengarkan dialog yang sedang diucapkan.
Kembali ke aspek naratif, jika di awal “Cold Pursuit” memberikan apa yang kita inginkan padahal itu sesuatu yang tidak fresh sama sekali, maka mulai memasuki pertengahan film cerita mulai berkembang. Ada kepentingan dari pihak ketiga yang berasal dari satu motivasi yang kuat.
Hal ini merupakan sesuatu yang bagus untuk sebuah remake karena film terbukti ‘aware’ dengan perubahan set dalam aspek sinematiknya. Jika “In Order Of Disappearance” itu berada di pegunungan salju di Eropa, maka “Cold Pursuit” berada di Rocky Mountains.
Jadi, di situ Hans bisa memasukkan unsur ‘native’ yang bisa memperkaya cerita. Memang hal ini tidak ditampilkan terlalu rumit dan banyak friksi. Tapi patut dicatat, tampilnya mereka selain memberi warna lain sehingga apa yang sudah bisa penonton prediksi untuk akhir filmnya memiliki jalan yang cukup berliku untuk bisa sampai ke sana.
Lalu di sini kita bisa melihat bahwa “Cold Pursuit” memainkan teknik penceritaan informasi tak terbatas (Omniscient Narration). Teknik ini disampaikan secara cerdas sampai tahap klimaks. Beberapa karakter penting tidak mengetahui apa yang berada di jalur mereka, tapi penonton tahu.
Ketika hal seperti dimainkan, didukung oleh gaya “dark comedy” yang sudah ada sejak awal dan performa akting yang bagus dari para aktornya, maka terjadi sebuah suguhan hiburan yang menyenangkan.
Jika bermain dengan referensi film terkini, paling pas untuk membawa “Bad Times at the El Royale” (2018). Film arahan sutradara Drew Goddard tersebut juga memiliki teknik penceritaan yang tidak terbatas. Bedanya adalah perasaan yang ditimbulkan, yang merupakan efek dari penceritaan tersebut.
Karakter belum tahu apa yang menimpa mereka namun penonton sudah tahu, jika treatment di “El Royale” akan meningkatkan kadar suspense, sementara di “Cold Pursuit” justru menimbulkan tawa, atau setidaknya senyuman di wajah kita.
Quite frankly, isu di bagian konfrontasi juga dipicu dari munculnya para native. Mereka, seperti yang tadi sudah dibilang, memiliki motivasi yang kuat sehingga terlibat dalam cerita.
Di sini, poin krusialnya adalah bagaimana film menempatkan kameranya, karena sekarang mereka harus bisa memberikan proporsi yang semestinya. Ingat, bukan seimbang namun yang semestinya. Melihat dari demand itu, karakter Liam Neeson aka Nels tetap harus dijadikan yang utama, namun saat cerita semakin berevolusi, kita melihat ada yang abstain dari Nels di sana.
Nels sempat menghilang dan digantikan dengan White Bull, pemimpin para native yang juga memiliki motivasi yang kurang lebih sama dengan Nels. Ini sempat memberikan dualisme dalam tahap konfrontasi tersebut. Buat yang ingin menonton film ini untuk melihat Liam menghajar orang, siap-siap bersabar dulu di waktu-waktu tersebut.
Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah karakter pendukung lain yang merupakan polisi lokal. Di sini ada Emmy Rossum yang berperan sebagai salah satu polisinya. Jika dilihat dari karakternya yang kurang banyak memiliki “screen time”, ibu polisi ini terlihat jelas sebagai orang yang memiliki ambisi.
Ia tertarik kepada kasus yang ada, dan ketika semuanya bertambah besar ia semakin tertarik untuk menyelidiki kemudian menyelesaikannya. Agak disayangkan, hingga film selesai ternyata karakter ini memang tidak memiliki sumbangsih besar. Istilah kata, tidak seperti yang kita duga sebelumnya.
Jangan harap karakter seperti yang diperankan oleh Elizabeth Olsen di film “Wind River” (2017)akan kembali muncul di sini. Dari tuntutan naratifnya saja sudah beda, bahwa Emmy memerankan polisi biasa dan Lizzy memerankan agen FBI. Jadi ya, ada plus-minus yang perlu disikapi, namun jelas kekecewaan tak bisa ditutupi.
Yang sangat disayangkan adalah Laura Dern yang bakatnya disia-siakan begitu saja. Come on, man! Dia adalah salah satu aktris senior Hollywood yang terbaik. Adanya Laura yang memerankan tokoh istri Nels saja sudah memunculkan asumsi bahwa bisa jadi karakternya memberikan sesuatu yang “impactful” bagi Nels. Nyatanya? Zonk.
Istri Nels hanya menyampaikan bahwa mereka sebagai orang tua yang kurang mengenal anak sendiri dan setelah itu sang ibu pergi tak kembali lagi. Yang tidak habis pikir, kenapa semua terjadi begitu saja? Ketika Nels dan istri dirundung duka, mereka tidak dibuat saling menguatkan satu sama lain, merelakan yang sudah ada.
Mereka justru diam tak ada perbincangan satu kali pun. Nels terlihat seperti orang baik yang bodoh di sini. Ia tahu kalau ada yang tidak beres, namun diam. Ini bukan soal hasil, namun prosesnya yang sama sekali tidak ada. Maybe that’s what we called “The Euro Sensibilty”.
Sebuah film aksi dari Liam Neeson yang tidak seperti biasanya. Ia tetap akan mengejar orang-orang jahat dan menghabisinya (kali ini dengan pengadeganan yang lebih sederhana tanpa banyak cut), namun di sini semua dibalut dengan treatment yang lebih berbeda. Aspek sinematografi yang terlihat lebih keren, yang tidak diambil dari sudut yang itu-itu saja coba dilebur dengan alur yang relatif lamban.
Kemudian medan yang disiapkan juga jauh berbeda dari film-film Liam sebelumnya dan itu membuat satu arahan yang disesuaikan dengan kultur setempat. Vibe khas film Eropa tetap bisa dirasakan dari awal, di mana pengambilan gambar sering memadukan antara keliaran dan keindahan alam via “extreme long shot” diiringi oleh musik klasik.
Jelas bukan tipe film action untuk semua, tapi harus diingat bahwa “Cold Pursuit” merupakan remake dari film Norwegia dan dikerjakan oleh orang yang sama.
Director: Hans Petter Moland
Starring: Liam Neeson, Tom Bateman, Emmy Rossum, Julia Jones, Tom Jackson, Laura Dern
Duration: 119 Minutes
Score: 7.3/10