Satu film yang cukup menarik rilis minggu lalu. Judulnya adalah “Black Bear”, yang mana sukses melakukan premiere di Festival Film Sundance 2020. Faktor utama yang membuat film ini menarik tentu ada di Aubrey Plaza, yang berperan sebagai karakter utama.
Aubrey sendiri mendapatkan pujian lewat perannya di sini. Banyak yang berpendapat bahwa ini merupakan “role of her life” nya. Finnaly she got it! Aubrey pun mengungkapkan, Ia menggunakan metode pendekatan akting yang asbtrak guna mengeksplorasi karakter Allison. Dia adalah seorang sineas yang sedang mencari ide untuk film terbarunya di sebuah motel di tengah hutan.
Jadi di sini kita akan dibawa pada dua buah cerita dari pemikiran karakter utama, yang mana dua ceritanya itu memiliki dasar yang sama. Ini menarik karena bisa jadi dua cerita ini merupakan dua versi berbeda, atau bisa jadi pula merupakan sesuatu yang berkesinambungan dari pikiran Allison itu sendiri.
Di cerita pertama, hanya ada tiga karakter; Allison, Gabe (Christopher Abbott), dan Blair (Sarah Gadon). Gabe dan Blair adalah pasangan yang memiliki motel, di mana Blair digambarkan tengah hamil. Nah di versi kedua, akan ada lebih banyak karakter yang muncul. Gak cuma Allison, Gabe, dan Blair saja. Kemudian yang menarik, Gabe di versi cerita pertama memiliki role yang berbeda dengan yang ada di versi kedua.

Tentu terdapat perbedaan jika kita melihat bagaimana dua versi ini berjalan. Untuk versi pertama, secara sinematik kita bisa melihat pergerakan kameranya lebih still. Ini beda banget sama versi kedua, di mana dari scene pertama kita sudah melihat kamera yang terasa handheld. Kemudian ada pula scene yang menggunakan long take menyusuri lorong-lorong motel.
Pada versi pertama, konflik yang ada kan berpusat di sekitaran tiga karakter itu, ya. Dalam artian, benaar-benar hanya mereka. Jadi kita bisa lebih fokus dalam mencerna permasalahan, dan yang lebih penting lagi adalah emosi yang tertanam dari setiap karakter itu berasa sekali.
Hasilnya, bagian yang ini menjadi lebih dalam. Meski begitu, isu yang ditanamkan pada dialog-dialog karakter cukup berat untuk sebuah bagian yang sebetulnya jelas mau kasih tau apa.
Meski begitu bukan berarti bagian kedua gak oke. Bagian kedua ini dinamis banget, dan lebih seru karena kita gak cuma dikasih lihat sudut pandang karakter-karakter tertentu saja, Kita pun jadi lebih tahu nih bagaimana proses filmmaking itu berjalan di bagian kedua ini.

Beberapa tools dimanfaatkan untuk meningkatkan tensi, dan tools tersebut ada hubungannya lah sama kegiatan filmmaking. Selain itu, kelemahan versi pertama yang terletak pada pemilihan isu gak terasa di versi kedua. Versi ini lebih mengedepankan hectic-nya dan juga soal relationship antara sang sutradara dan aktor utamanya.
Untuk urusan ketegangan, versi pertama lebih dapet, mostly berkat akting yang kece dari ketiga aktornya. Versi kedua, adegan pamungkasnya tetap intense dengan tambahan sedikit rasa gemas akibat tuntutan naratifnya.
Film tentu harus menampilkan latar tempat dari cerita ini. Secara gitu, Allison mencoba untuk dapetin inspirasi di tempat yang gak biasa. Sebuah tempat penginapan di tengah hutan, lengkap dengan dek dan danau juga untuk berenang. Money shot tentu saja ada di bagian danau itu, dengan menggunakan establishing dan bikin suasana terlihat berkabut. Cuman film juga gak lupa untuk memperlihatkan area-area lainnya.
Salah satunya yang di-spot adalah rute di penginapan tersebut karena lumayan jaraknya dari bangunan utama ke danau. Berbicara mengenai rute, di kala malam jalanan ini tentu minim pencahayaan dan nanti akan dimanfaatkan untuk memunculkan kejutan. Sebuah kejutan kecil yang di akhir menjadi persoalan besar.
Meski begitu, masih kurang jelas fungsinya dia sebagai kejutan kecil ini buat apa. Dia memang benar-benar ada. Di filmnya pun secara jelas banget ditampakkan di versi kedua. Tapi, menarik untuk melihat bagaimana perannya dia ditempatkan di dalam apsek naratifnya, mengingat timing kemunculannya itu sama, yaitu di setiap akhir dari kedua versi tersebut.

Apakah makhluk ini ditampilkan sebagai penanda akhir dari dua pemikiran berbeda yang didapatkan oleh Allison selaku sineasnya? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu? Masih dipertanyakan. Apalagi dengan tatapan khas Aubrey Plaza saat akhir versi kedua yang seperti menyiratkan sesuatu.
“Black Bear” adalah sebuah pencarian ide cerita yang menegangkan di tengah hutan, disajikan lewat beberapa versi penulisan dari sang sineas. Ceritanya jelas berbicara tentang hubungan antar tiga karakter, dan somehow ini sebetulnya biasa-biasa saja, bahkan bisa juga dibilang “sebenarnya gitu doang”.
Cuman yang bikin asik adalah cara membawakannya yang beda banget. Mulai dari aspek naratifnya dalam artian lebih dinamis dalam penempatan karakter-karakter penting, hingga aspek sinematiknya yang langsung kerasa banget perbedaannya dari awal. Tapi, film tetap sadar bahwa unsur menegangkan tetap yang paling utama. Mau itu cara bawainnya beda, yang pasti ketegangan ini harus ada di setiap versi, which is mereka wujudkan.
Director: Lawrence Michael Levine
Cast: Aubrey Plaza, Christopher Abbott, Sarah Gadon, Paola Lazaro, Grantham Coleman, Lindsay Burdge, Lou Gonzalez, Shannon O’Neill, Alexander Koch
Duration: 104 Minutes
Score: 7.5/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Black Bear
'Black Bear' menceritakan dua buah cerita dari pemikiran karakter utama, yang mana dua ceritanya itu memiliki dasar yang sama. Ini menarik karena bisa jadi dua cerita ini merupakan dua versi berbeda, atau bisa jadi pula merupakan sesuatu yang berkesinambungan dari pikiran Allison itu sendiri.Di cerita pertama, hanya ada tiga karakter; Allison, Gabe (Christopher Abbott), dan Blair (Sarah Gadon). Gabe dan Blair adalah pasangan yang memiliki motel, di mana Blair digambarkan tengah hamil.Nah di versi kedua, akan ada lebih banyak karakter yang muncul. Gak cuma Allison, Gabe, dan Blair saja. Kemudian yang menarik, Gabe di versi cerita pertama memiliki role yang berbeda dengan yang ada di versi kedua.Tentu terdapat perbedaan jika kita melihat bagaimana dua versi ini berjalan. Untuk versi pertama, secara sinematik kita bisa melihat pergerakan kameranya lebih still.Ini beda banget sama versi kedua, di mana dari scene pertama kita sudah melihat kamera yang terasa handheld. Kemudian ada pula scene yang menggunakan long take menyusuri lorong-lorong motel.Pada versi pertama, konflik yang ada berpusat di sekitar tiga karakter itu. Dalam artian, benar-benar hanya mereka. Jadi kita bisa lebih fokus dalam mencerna permasalahan, dan yang lebih penting lagi adalah emosi yang tertanam dari setiap karakter itu berasa sekali.