“This ain’t no virus or a chemical attack. It was real evil. If you see it, it takes on the form of your worst fears.” – Charlie.
Di tahun 2018, muncul sebuah cara baru untuk merayakan “hari akhir” kehidupan manusia, yaitu dengan menonaktifkan salah satu indera. Setelah kita tidak diperbolehkan berbicara, kini peraturannya adalah tidak boleh membuka mata. Bird Box menerapkan peraturan tersebut, dan berkat tools tersebut, film akan menjadi sebuah survival/road trip movie yang menegangkan. Merupakan original Netflix film yang mengadaptasi novel berjudul sama karangan Josh Malerman, Bird Box bercerita tentang seorang wanita bernama Malorie (Sandra Bullock), yang sedang hamil. Di perjalanan pulang Malorie menemukam banyak hal mengerikan di mana warga berusaha untuk membunuh diri sendiri. Panik dengan situasi itu, Malorie lari pontang-panting sampai mendapatkan shelter di satu rumah besar bersama dengan survivor lainnya.
Melihat dari bagaimana cara film ini memanfaatkan panca indera untuk bisa bertahan hidup, maka tidak mengherankan jika ‘Bird Box’ bakal dibanding-bandingkan dengan “A Quiet Place”. Yang satu tidak boleh bicara, yang satu tidak boleh melihat lingkungan luar secara langsung. Tapi sesungguhnya terdapat banyak poin yang membuat keduanya berbeda dan kita tidak bisa langsung membandingkannya secara apple to apple. Poin yang paling jelas adalah menyangkut aspek naratif. Dalam aspek ini, sutradara Susanne Bier terlihat lebih bermain dengan hubungan antara narasi dengan ruang, kemudian hubungan antara narasi dengan waktu. Inilah sebab mengapa kami menyebut Bird Box juga merupakan sebuah film road trip dan arahan-arahan tadi membuat film menjadi jadi lebih asyik.
Mengenai hubungan antara narasi dengan ruang, ‘Bird Box’ memiliki dua latar waktu yaitu di masa sekarang dan lima tahun setelahnya. Dunia digambarkan mengalami kehancuran akibat semacam wabah misterius di masa sekarang. Lalu untuk setting lima tahun setelahnya film lebih menceritakan perjuangan Malorie untuk survive. Diciptakannya dua latar ini membuat kita bisa lebih invest kepada cerita dari ‘Bird Box’ dan bagaimana dinamika dari konflik yang ada memengaruhi karakter utamanya. Meski tidak dijelaskan asal muasal musibahnya dari proses seperti apa, namun awal-awal kekacauan dunia sudah cukup menjadi set-up permasalahan yang kuat bagi para karakternya. Chaos yang ditimbulkan tidak main-main, bahkan sedikit sadis karena tuntutan naratif yang meminta manusia yang “terkena wabah” itu bukan dibunuh oleh suatu entitas yang nyata.
Kemudian untuk latar waktu lima tahun setelahnya. Di sini, secara garis besar, semua terlihat lebih simpel karena hanya menampilkan road trip dari Malorie. Bagaimana ia menyelamatkan diri dengan menyusuri medan berbahaya. Tapi, memang dasar Susanne Bier. Dia tentu bukan sutradara sembarangan. Maka dari itu di dalam narasi road trip, Susanne memberikan beberapa titik yang secara cerdas membangun kedalaman cerita. Ia memberikan penghubung yang baik antara apa yang terjadi di latar waktu lima tahun setelahnya dan lima tahun sebelumnya (masa sekarang).
Kemudian masuk ke faktor hubungan antara narasi dengan waktu. Seperti halnya unsur ruang, narasi film yang memiliki dasar kausalitas (di film ini mereka yang selamat berlindung untuk tidak terkena wabah dan mati) akan terikat oleh waktu. Nah salah satu aspek dari waktu yang secara jelas terikat dengan narasi dari ‘Bird Box’ adalah urutan waktu dan durasi waktu. Untuk urutan waktu, film ini menggunakan pola yang tidak linier atau biasa disebut alur campuran, maju-mundur. Karena ada sesi masa sekarang dan masa road trip, maka film akan bolak-balik terus di sekitar dua ruang tersebut. Ini jelas berbeda dengan “A Quiet Place” yang memiliki pola linier alias maju ke depan, dan flashback yang ada pun tidak signifikan. Untuk durasi waktu, ‘Bird Box’ mampu memanipulasi waktu sesuai dengan tuntutan naratif. Meski durasi filmnya tidak sampai dua jam, namun durasi cerita dalam filmnya memiliki rentang waktu yang lebih panjang. Durasi cerita dalam film ini adalah lima tahun, dihitung dari meletusnya wabah di kota Malorie tinggal.
Masuk ke poin berikutnya, yang mana kali ini cenderung abu-abu. Banyak hal-hal kiasan yang muncul di ‘Bird Box’. Hal-hal yang sulit untuk dimengerti dan memerlukan pemahaman lebih dalam sembari kita merasakan ketegangan yang seakan tanpa henti meneror. Banyak pertanyaan yang muncul dari awal wabah misterius itu muncul. Bukan soal dari mananya, tapi lebih menyangkut pada keterkaitan wabah tadi dengan karakter utama. Siapapun manusia yang secara langsung melakukan kontak dengan si wabah maka akan langsung terinfeksi. Tapi hal yang berbeda justru terjadi pada Malorie. Satu hal yang mungkin bisa dijadikan petunjuk adalah kondisi fisiknya, namun hal tersebut tetap membutuhkan usaha yang lebih dari penonton agar bisa dicerna.
Kemudian film juga berusaha untuk memperlebar cakupannya dengan memasukkan mereka yang bisa disebut sebagai “the others”. Orang-orang ini eksis tanpa penjelasan yang oke kenapa mereka bisa tetap ada. Bagaimana mereka bisa hidup di tengah teror absurd seperti itu. Jika dilihat dari akting para pemain yang menjadi “the others” dan tata riasnya yang memiliki ciri khas tertentu di bagian mata, bisa jadi mereka adalah semacam orang-orang yang kurang waras atau fanatik terhadap sesuatu. Tapi tetap saja, hubungan mereka dengan wabah atau entitas absurd penyebar teror ini tidak jelas. Dalam circle Malorie, orang-orang ini juga memiliki influence yang besar. Baik di latar waktu masa sekarang maupun saat road trip, “the others” masuk dan membuat keributan. Bahkan di saat Malorie masih tinggal bersama survivor lainnya, “the others” berjasa sebagai turning point pertama. Keributan dan intensitas yang meninggi ini masih mengganjal dari hal yang esensial.
Untuk aspek sinematik dan teknis, ‘Bird Box’ lebih berasa kerennya saat Malorie berada di perahu. Ada satu babak di mana ia harus menghadapi jeram yang liar. Di sini teknik editing dan pengambilan gambar patut diacungi jempol. Meski perahu Malorie terombang-ambing kesana kemari, ritmik adegan tampil secara smooth. Berkat teknik editing yang rapih, adegan ekstrim seperti ini tampil bagus dan nikmat. Anyway, ngomongin soal editing, faktor ini pula lah yang menjadi kunci betapa mengalirnya plot Bird Box yang sebetulnya tampil pecicilan. Beranjak ke sinematografi, pergerakan kamera di saat ini mengingatkan kita pada film “The River Wild” (1994). Di situ kita bisa melihat kamera mengikuti Malorie dari jarak dekat, baik ketika di tengah sungai yang mengalir deras, maupun dari tepi sungai. Cuma sangat disayangkan sekuens menarik ini tak berlangsung lama, selain karena matanya tertutup, view yang ditampilkan saat berjuang di arung jeram relatif gelap. Pemilihan timing yang seharusnya bisa menjadi nilai jual malah tidak diekspos sama sekali.
Lalu ada lagi saat film mencoba untuk melakukan variasi tampilan visual yang dibuat untuk mengakomodir tuntutan naratifnya. Ada beberapa kali di dalam film kamera ditempatkan pada mata pelaku cerita. Permainan point of view ini menjadi varian yang setelah dilihat-lihat ternyata memiliki nilai plus-minus yang sama kuat. Untuk segi positifnya, teknik kamera subyektif ini memang pas dengan aspek narasi, di mana para karakter harus menutup mata agar tetap selamat. Tapi sayangnya, sense of realism yang coba diberikan masih kurang klimaks karena dua hal. Pertama, kekurangsinambungan antara obyek dan subyek. Maksudnya adalah, ketika teknik ini diperagakan, kamera hanya bergerak minimal meski sudah ditempatkan dari sudut pandang pelaku cerita. Ini sangat aneh karena subyek yang tampil bergerak kesana-kemari. Ini tandanya sang pelaku cerita/karakter sebetulnya sedang aktif bergerak. Secara logis, tidak mungkin dia bergerak kemana-mana tapi kepalanya tetap berada di posisi statis.
Kedua, teknik ini ternyata tampil diluar kebiasaan, dan itu agak mengecewakan. Teknik kamera subyektif paling mantap untuk memberikan efek kejutan karena mata kamera adalah mata penonton. Apa yang ditangkap kamera adalah apa yang kita lihat. Kita akan mengikuti kemanapun kamera pergi. Unsur kejutan tadi akan keluar sempurna dengan konsep seperti ini karena seperti teknik off-frame dan on-frame, penonton tidak tahu-menahu apa yang akan tampil di depan. Sensasi akan dicapai secara maksimal berkat teror yang dialami oleh pelaku cerita dan otomatis itu akan dialami oleh kita juga. Sayangnya, tidak ada apapun yang nendang ketika film berada di bagian ini. Tidak ada unsur kejutan apapun. Hanya apa-apa saja yang ditangkap oleh kamera, itu pun kurang jelas karena situasinya si karakter sedang blindfolded.
Hanya saja, kekecewaan terbesar dari Bird Box ada di bagian akhir. Ini bukan sesuatu yang mengenakkan karena konklusinya selain dibuat tidak seperti ending yang biasa, namun juga tidak menggantung pula. Ini lebih ngeselin lagi lah, istilahnya. Berbeda dengan “A Quiet Place”, film menempatkan manusia di posisi yang lemah. Manusia adalah makhluk yang pasrah, makhluk yang pasif, menyerah deh pokoknya sama keadaan. Ini sesuatu yang sangat tidak diharapkan untuk menjadi punchline karena pada hakikatnya, sebuah masalah atau ujian itu tidak pernah diciptakan tanpa penyelesaian yang bisa diselesaikan oleh seorang manusia. Sebaiknya dengan teror seperti ini film tetap mengakhiri kisah dengan greget, bukan justru jadi melempem. Pasti ada jalan di setiap permasalahan, walaupun pada akhirnya penyelesaian ini mungkin diserahkan kepada penonton atau dilanjutkan di film lainnya.
Cara film ini dalam menunjukkan dirinya sebagai sajian thriller berkualitas patut diacungi jempol. Mereka sukses memanfaatkan panca indera lainnya sebagai senjata utama dalam membangun kadar ketegangan. Unsur intense dan teka-teki yang wajib ada di setiap film thriller tetap bisa disajikan. Sandra Bullock pun tampil mengesankan. Walau menyisakan beberapa pertanyaan dan akhir yang kurang memuaskan, secara keseluruhan Bird Box tetap tontonan yang direkomendasikan.
Director: Susanne Bier
Starring: Sandra Bullock, Trevante Rhodes, John Malkovich, Sarah Paulson, Danielle Macdonald, Machine Gun Kelly, Jacki Weaver, Lil Rel Howery, Rosa Salazar, Tom Hollander, BD Wong, Vivien Lyra Blair, Julian Edwards, David Dastmalchian
Score: 7.8/10