Libur telah usai. Sekarang saatnya kembali belajar bersama teman-teman di sekolah. Pas sekali, di awal September yang memang dikenal sebagai permulaan tahun ajaran baru, bioskop merilis film yang bertemakan pendidikan. Film tersebut berjudul “Big Brother” dan dibintangi plus diproduseri oleh Donnie Yen. Di sini ia berperan sebagai Henry Chen, seorang eks-militer yang menjadi guru di SMA Tak Chi – Hongkong. Situasi ketika Pak Chen masuk ke SMA tersebut bisa dibilang tidak baik. Meski memiliki sejarah yang panjang, SMA ini sedang dalam masa krisis akibat murid-muridnya yang banyak dari mereka tidak masuk ke perguruan tinggi. Belum selesai, SMA Tak Chi juga terbilang rendah dalam hal jumlah penerimaan murid baru. Makin apes Pak Chen ketika ia ditempatkan sebagai wali kelas dari kelas yang berisikan murid-murid bandel.
Seperti biasa, hal-hal yang kita jumpai saat menonton film mengenai pendidikan akan kembali hadir di sini. Cerita tetap menggunakan poin-poin yang umum, di mana karakter utama yang seorang guru ditempatkan dalam sebuah kelas yang “tidak beres”. Selain itu, ‘Big Brother’ juga menampilkan plot ketika sang guru mencoba untuk dekat dengan beberapa murid secara personal. Di sini murid-murid tersebut jumlahnya ada empat, dan mereka mengangkat beberapa isu sosial selain pendidikan. Ada yang berbicara mengenai tolerance and acceptance, ada yang mengenai status perempuan, ada juga yang mengenai beban psikologis anak. Semua berusaha dirangkai secara runtut sehingga film dapat memancarkan “sense of belonging” yang kuat antara karakter guru dan muridnya.
Tidak semua masalah diselesaikan dengan cara yang bisa membuat penonton terpikat. Ada yang selesainya terlalu cepat, ada juga yang mengagetkan. Tapi, jika harus memilih, favorit kami adalah kasus dari kakak-beradik Chris (Chris Tong) dan Bruce (Bruce Tong). Mereka tinggal di flat kumuh bersama ayahnya yang pemabuk. Akibat kejadian masa lalu, Bruce dan Chris dewasa melihat kehidupan dengan cara yang berbeda. Nah, cara film ini dalam menampilkan problem solving Bruce dan Chris, patut diacungi jempol. Emosi penonton akan diobrak-abrik sementara Guru Chen hanya bertindak sebagai fasilitator. Efek yang muncul setelahnya? Kehangatan yang membuat kita mulai mencintai karakter guru kece yang satu ini. Bagian Chris dan Bruce jelas merupakan kali pertama film menampilkan pesonanya, dan mulai dari sana kita melihat film dengan rasa yang berbeda.
Tapi, satu hal yang sepertinya menghilang dari film ini adalah kurang ditampilkannya gaya mengajar Guru Chen. Penonton juga pasti penasaran dengan metode yang ia gunakan agar dapat menguasai kelas, namun sayang itu tidak cukup tampak. Aneh juga sih, mengingat salah satu yang sering dipermasalahkan di sini adalah metode ajar Guru Chen yang dianggap berbeda. Masalahnya, kami tidak menemui perbedaan itu. Ya, memang dia tidak memiliki kemampuan menulis aksara Hanzi dengan baik, namun itu sama sekali tidak memengaruhi gaya mengajar. Cara pertama yang Guru Chen lakukan agar bisa mendapatkan perhatian para murid memang terkesan nyeleneh, namun itu bukan yang diharapkan. Metode pengajarannya kalah porsi dengan metode pendekatan personal, dan mau tidak mau film memanfaatkan salah satunya sebagai sebuah jalan pintas.
Memang metode pengajarannya tidak nampak, namun Big Brother memberikan kritik terhadap dunia pendidikan yang sangat jelas. Sebagai unsur yang bersifat universal, hal ini disampaikan secara gamblang dan mudah dimengerti, karena siapa tahu masalah serupa juga terjadi di negara lainnya. Benar saja, kecenderungan yang sama pun terjadi di Indonesia. Sudah tidak aneh lagi kalau berbicara mengenai sekolah, nilai akademis merupakan segala-galanya. Tapi sekarang, muncul sebuah pendiktean baru yang merupakan hasil dari pemanfaatan nilai akademis para siswa yang dicampur dengan unsur lain (bisnis misalnya?). Akibat sistem pendidikan tertentu, banyak sekolah berlomba-lomba untuk meningkatkan kualitas. Masalahnya, peningkatan kualitas ini semata-mata dibuat untuk menjadikan sekolah yang bersangkutan adalah sekolah favorit sehingga hal ini menarik minat orang tua pada masa penerimaan siswa baru. Siapa yang nanti menjadi korban? Tidak perlu dibocorkan tentu kamu sudah bisa mengiranya sendiri.
Last but not least, kurang lengkap film Donnie Yen jika tidak menyertakan seni bela diri. Tercatat ada dua fighting sequence yang menghibur di mana Guru Chen harus berhadapan dengan lawan yang memiliki postur badan lebih besar. Koreografi yang dipadukan oleh teknik sinematografi apik bikin kita berhasil menikmati pertarungannya. Pemanfaatan benda-benda sekeliling juga membuatnya lebih energik dan tidak membosankan. Cukup mengejutkan, terdapat sedikit input dari cerita yang dimasukkan ke dalam salah satu fighting sequence. Beruntung, penempatan yang pas membuat pertarungan jadi semakin seru karena apa yang kita saksikan di saat itu memang seharusnya bukan hanya sekedar jagoan melawan penjahat biasa. Ada sesuatu yang mesti ditonjolkan biar lebih greget.
Melihat bahwa ‘Big Brother’ adalah film yang juga ia produseri, sah saja untuk mengatakan film ini merupakan cara Donnie dalam menyampaikan kritik sosial. Keresahan mengenai sistem pendidikan di Hongkong yang kerap memakan korban jiwa bikin Donnie angkat bicara. Ia kemudian menyempatkan waktu untuk keluar sejenak dari kegemerlapan karirnya di Hollywood dan membuat drama sekolahan yang tidak hanya baik untuk masyarakat, namun juga lebih upbeat dan gahar. Tidak semua hal yang diomongin bisa diselesaikan dengan cara yang nyaman, bahkan ada pula bagian dari kisah yang hanya menjadi selingan. Tapi setidaknya, film bisa menyuarakan keresahannya sambil memanjakan penonton lewat seberapa kuatnya motivasi dari karakter utama, kemudian sajian drama dan laga.
Director: Kam Ka-Wai
Starring: Donnie Yen, Gordon Lau, Luo Mingjie, Gladys Lie, Bruce Tong, Chris Tong, Joe Chen, Kang Yu
Duration : 111 minutes
Score: 7.5/10
Discussion about this post