“Ini hal yang paling aku benci dari kamu. Kamu selalu merasa benar sama hal yang gak kamu ketahui, dan kamu bisanya cuma marah, marah, marah. Padahal kamu tuh sudah memarahi dirimu sendiri.” – Angela.
Dalam industri perfilman Indonesia, film religi menjadi salah satu jenis film yang terus diproduksi. Menilik ke belakang, film religi juga berjasa dalam membangkitkan gairah masyarakat untuk kembali menonton film Indonesia di bioskop setelah kesuksesan “Ayat-Ayat Cinta” pada tahun 2008.
Meski begitu, film religi ini punya tantangan besar, yaitu bagaimana sub-genre ini menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial masyarakat Indonesia. Deddy Mizwar, sebagai sineas yang memang dikenal produktif dalam membuat film-film religi, nampaknya menyadar hal itu.
Keterbukaan masyarakat Indonesia yang heterogen semakin terasa dan itu tidak jarang terbawa hingga hal-hal yang bersifat domestik. “Bidadari Mencari Sayap” coba mengangkat hal itu, lalu dilihat dari perspektif masyarakat mayoritas.

Tentu akan jadi sangat menarik buat ditunggu, bagaimana pemikiran mayoritas menilai perbedaan ketika perbedaan tersebut sudah masuk ke lingkup yang paling kecil yaitu keluarga. Di film ini ditunjukkan dengan cerita, di mana Reza (Rizky Hanggono) sudah menikah dengan Angela (Leony Vitria).
Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda, dan di sini Angela digambarkan sudah convert ke agama Islam yang dianut Reza. Konflik akan berada di seputar keluarga ini, di mana pasangan ini menghadapi hal-hal yang tidak mudah untuk beradaptasi. Belum lagi ada juga masalah terkait kehidupan pada umumnya, yang membuat suasana menjadi semakin riuh saja.
Sejujurnya, tahap persiapan dari film “Bidadari Mencari Sayap” itu aneh. Atau mungkin keanehan ini justru ditampilkan dalam rangka sindiran terhadap bagaimana masyarakat Indonesia menyikapi perbedaan. Karena dalam sebuah pernikahan, tentu lah ada yang namanya komitmen, saling mengenal dan lain sebagainya. Ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, mau itu suami dan istri maupun keluarga mereka.

Adanya konflik perbedaan keyakinan dan juga latar belakang seperti mengesankan bahwa baik Reza maupun Angela beserta keluarga mereka berdua tidak memiliki itu. Jatuhnya justru aneh. Apalagi, perbedaan-perbedaan ini ditampilkan begitu rough. Sangat wordy.
Semuanya langsung diungkapkan mulai dari awal tanpa pandang bulu. Ini seperti kita belum ready sama filmnya, vibes-nya seperti apa, dan segala macam, namun langsung dikasih bogem mentah bertubi-tubi. Sebaiknya untuk mengawali permasalahan apalagi di awal, menggunakan cara-cara yang lebih tidak langsung sehingga selain menjadi lebih elegan juga tidak annoying.
Secara sinematik juga ‘wordy exposition’ ini cukup berasa. Dalam scene meja makan, film terlalu effort untuk menunjukkan masalahnya tanpa ada bantuan shot yang mengarah ke objek satu pun. Padahal jika ini ditampilkan akan lebih memudahkan penonton untuk ikut mencerna permasalahan.

Tapi mungkin ini adalah preferensi sineas jadi tidak bisa dipaksakan. Kemudian masalah lainnya juga serius, tapi sayangnya kurang memiliki build-up yang bagus. Cara menampilkan konflik sebetulnya lebih smooth dibanding sebelumnya, namun cara membangunnya justru rapuh. Narasi sudah memberikan kausalitas yang jelas.
Tapi justru di akhir bagian, karakter Reza mematahkan semuanya dengan mengeluarkan dialog yang sangat sentimentil. Ini belum lagi penggambaran karakternya di awal masa. Dalam hal ini Reza terlihat sebagai karakter yang belum matang secara emosi, padahal ia adalah pemimpin keluarga.
Ini berbeda sekali dengan Angela. Karakter tersebut ditampilkan lebih penyabar, tapi di sisi lain juga film menunjukkan sisi humanisnya. Sabar ada batasnya juga dan Angela di sisi lain masih perlu belajar tentang Islam, which is gak mudah. Pengembangan ini yang bisa menarik simpati penonton.

Karakternya cukup kuat dan Leony memerankannya dengan baik. Karakter lainnya yang patut diperhatikan tak lain tak bukan adalah Deddy Mizwar. Seperti biasa, Ia memerankan tokoh yang ibarat kata menjadi pendakwah dengan segala titah-titahnya. Bosan? Pastinya.
Namun meski penulisan karakternya itu lagi itu lagi, namun akting Deddy dengan cara pembawaan menyenangkan dan memiliki sentuhan humor akan selalu diterima dengan baik. Jangan lupakan juga peran dari Nano Riantiarno.
Berperan sebagai ayah dari Angela, Nano ternyata tidak hanya diminta sekedar cuap-cuap untuk memanaskan suasana. Babah juga ditampilkan memiliki kedalaman emosi, di mana Ia lebih memilih tinggal di rumah Reza dan Angela, meski dengan segala kelemahan keluarga tersebut.
Satu scene yang pecah di sini berhasil naik intensitasnya peran Babah yang cukup membuat terkejut. Agak disayangkan, film tidak memberikan ruang lebih bagi karakter ini untuk setidaknya menunjukkan presence lebih dalam agar hubungan ayah-anak atau mertua-menantu lebih gereget. Padahal Babah jelas merupakan karakter yang tidak kalah penting.

Pro kontra yang sama kuat terjadi pada bagian pertengahan film. Di sini masuk konflik yang lebih relate lagi, yang mana menyertakan ekonomi keluarga. Bagaimana hal ini disambungkan dengan konflik perbedaan, lalu efeknya terhadap keluarga Reza coba dipadukan. Di sini karakter Reza yang awalnya “meh” mulai sedikit terangkat. Unsur perbedaan intensitasnya lebih berkurang, karena film coba membangun fondasinya dulu sebelum nanti meledak.
Sepanjang konflik kita akan disuguhkan perubahan-perubahan, baik dari sisi suami maupun istri. Cuma yang perlu dicermati adalah konteks kepercayaan dalam pekerjaan. Nah kontranya mulai dari sini. Konflik ini ternyata jelas namun rasanya dangkal banget dan lagi-lagi sentimentil banget.
Mungkin film coba lebih menyajikan satir kali ya, dengan berkata kalau tidak semua kondisi bisa dengan mudah dikaitkan hitam-putih. Yang disayangkan adalah, jika memang pengennya satir, setelah berjalan sedikit ke depan konflik ini justru diakhiri dengan statement bahwa pemikiran mayoritas selalu benar. Awkward dan preachy abis.

Meski begitu, bukan berarti preachy yang ada di sini semuanya mencederai film ya. Ada nasihat yang cukup powerful menjelang film memasuki tahap resolusi. Dari sini memang terlihat sebuah inkonsistensi, namun apa yang dilakukan dalam scene tersebut patut diapresiasi.
Cuman sayang, hal yang kita lihat ada di awal film, kembali terasa, di mana flow-nya itu terasa rough. Tapi itu lah plus-minusnya. Kita bisa melihat satu perspektif baru mengenai pemikiran seseorang, meski dari eksposisinya sudah ditunjukkan bahwa karakter utama film ini sudah “terpanggil” untuk berubah.
Perlu dicermati, bagian ini adalah bagian kunci. Bisa dibilang turning point kedua. Film langsung belok ke arah yang berbeda setelahnya. Hasilnya? Pro kontra lagi hahaha! Bagusnya di sini kita bisa lihat egonya sudah turun dan muncul lah harapan. Namun bukan berarti kita gak bisa bilang ini tidak naif.
Dengan segala kelemahan di tahap persiapan dan konfrontasi, maka ending film walaupun lebih oke tidak dapat menolong. Sedikit tambahan, terdapat visual yang juga enggak banget. Pertama saat scene masa lalu, kedua saat scene halusinasi. Musiknya pun cringe, lebih terasa seperti musik yang digunakan untuk sinetron.
Director: Aria Kusumadewa
Casts: Leony Vitria Hartanti, Rizky Hanggono, Nano Riantiarno, Djenar Maesa Ayu, Jenny Zhang, Shania Sree Maharani, Deddy Mizwar
Duration: 89 Minutes
Score: 6.0/10
Editor: Juventus Wisnu
The Review
Bidadari Mencari Sayap
'Bidadari Mencari Sayap' menceritakan tentang usaha suami istri yang berbeda agama untuk bisa diterima satu sama lain di keluarga besarnya masing-masing.Sebuah hal yang sulit sekali dilakukan. Apakah mereka berhasil melakukannya?