Between the needs of keeping the secrets and raising the stakes, he just want to save a life.
Setelah berakhirnya Perang Dunia 2, Beirut menjadi salah satu kota yang namanya begitu dikenal di seluruh dunia. Ibukota dari Lebanon ini menjadi destinasi wisata berkat keindahan yang terpancar dari bercampurnya pengaruh budaya barat dan timur. Mulai dari fashion, arsitektur bangunan, hingga kebudayaan dan gaya hidup masyarakat yang modern, semua hal ini membuat Beirut dijuluki sebagai “Paris-nya Timur Tengah”.
Sayang, perang saudara yang meletus pada tahun 1975 langsung memutarbalikkan keadaan. Kota Beirut yang indah berubah menjadi hancur terluka. Tank-tank Israel memasuki kota. Pesawat tempur Suriah membombardir dari udara. Belum lagi campur tangan milisi Palestina dan sikap pemerintah yang tidak tinggal diam membuat kota ini menjadi zona perang berbahaya.
Film mengambil latar waktu di sekitar tahun-tahun ini. Mason Skiles (Jon Hamm) adalah seorang diplomat Amerika yang bertugas di Beirut pada tahun 1972. Ia hidup bersama keluarga kecil, termasuk di dalamnya adalah Karim, anak laki-laki yang ia besarkan sendiri. Suatu hari, Mason didatangi oleh sahabatnya yaitu Cal (Mark Pellegrino). Cal mengatakan bahwa Karim harus diinterogasi karena sang bocah diduga masih memiliki kakak, dan kakaknya ini baru saja mengacau di Olimpiade Munich.
Tidak percaya bahwa anaknya akan dibawa oleh Mossad, Mason terkejut saat tempat tinggalnya diserbu teroris. Mereka mengambil Karim dan membunuh istrinya secara membabi-buta. Sepuluh tahun berlalu, Mason yang sudah punya kehidupan sendiri terpaksa kembali ke Beirut. Ia diminta untuk melakukan negosiasi dengan sebuah kelompok ekstrimis Islam. Bukan kebetulan, kelompok ini mengeluarkan nama Mason sebagai negosiatornya dan orang yang diperjuangkan adalah Cal, yang merupakan kawan lamanya.
Hal pertama yang membuat kita terpana adalah pemandangannya. Bagaimana film ini bisa memberikan perbedaan yang begitu signifikan di Beirut, sebelum dan saat perang terjadi. “The Paris of the Middle East” has completely change! Ini berhasil menjawab pertanyaan seperti apa sih sebetulnya Beirut di zaman keemasannya dulu. Tempat yang awalnya dipenuhi oleh kafe dan lampu jalanan yang artistik ini betul-betul berubah menjadi kota mati yang dikotori reruntuhan bangunan dan raut wajah kesedihan. Selain penggambaran kotanya, kita juga dijelaskan pembagian semacam zona-zona tertentu di Beirut. Mana yang termasuk aman mana yang tidak, dan sangat terlihat dari sini kalau Beirut juga bukan lagi seberagam dulu.
Setelah pemanfaatan latar dan penuansaan peperagannya sudah bagus, kini saatnya masuk ke dalam konflik. Karena menyangkut soal drama dan politik, sebelumnya kita harus menyadari terlebih dahulu bahwa apa yang akan ditonton nanti bukanlah thriller yang didominasi oleh desingan peluru dan aksi-aksi berbahaya lainnya. Beirut adalah kasus elit yang mengangkat permasalahan kompleks nan serius sehingga dibutuhkan kesabaran dan kecermatan agar bisa mencernanya.
Benar saja, konflik ternyata tidak sesederhana itu. Pasti penonton juga nanti bisa tahu seperti apa jadinya jika Mason dan tim salah mengambil keputusan. Selain tensi, tingkat kepentingan yang melibatkan banyak pihak jiga semakin menjadi di bagian ini. Tebusan yang diminta tidak main-main sehingga menyenangkan untuk melihat akan seperti apa problem solving-nya nanti. Apa yang akan dinegosiasikan oleh Mason dan tim, apakah tebusan yang diminta penculik sudah masuk akal, siapa saja yang akan terancam, dan intrik-intrik lain yang mengikuti.
Semua disusun secara rapih sehingga meski berat, tidak rugi untuk coba menikmati alur ini. Oh, hampir lupa. Selain ketegangan, film juga memasukkan unsur keluarga. Meski tidak banyak, ini berfungsi untuk menambah unsur drama sekaligus memberi waktu istirahat sejenak karena memang, ruang untuk meregangkan badan di film seperti ini terbilang sedikit.
Berbeda dengan perannya di film lain yang kebetulan juga baru rilis di bioskop Indonesia yaitu 7 Days in Entebbe, Rosamund Pike betul-betul menjadi pemeran pendukung di sini. Tapi untuk Jon Hamm, beda ceritanya. Setelah sukses di serial Mad Men yang membesarkan namanya, Beirut adalah panggungnya untuk bersinar dan Jon jelas tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia tampil luar biasa sebagai karakter utama, di mana Mason berusaha mengeluarkan kemampuan terbaik sebagai negosiator ulung di kala pihaknya berada di posisi yang hampir mustahil. Selain dari kerumitan kasus, sepak terjang Mason di sini berhasil meng-grip kita agar tetap setia mengikuti film ini.
Tapi tetap, negosiasi yang rumit memang berisiko tinggi. Terdapat satu bagian di dalam cerita, yang walaupun memberikan efek tertentu, namun ini terlalu singkat untuk kemudian dimunculkan ke permukaan. Waktu yang disediakan masih belum cukup. Kerumitan yang menyangkut banyak pihak ketika sudah sampai di titik ini akan membuat Chillers berpikir lebih keras lagi karena dirancang dengan cepat dan langsung berimbas pada keputusan final sebelum filmnya berakhir. Lebih jauh, bagian ini juga membuat Beirut jadi seperti punya semacam musuh terselubung. Sulit untuk menangkap clue dari sini karena sebelumnya film sudah meluaskan pengaruh dan ketika hal tersebut muncul, kita harus mundur dan kembali melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Dengan style jadul mengarah ke vintage, yakni era 70 dan 80-an, Beirut keluar sesuai ekspektasi. Film yang pasti akan menjadi tontonan yang berat, namun berkat penulisan yang apik dari Tony Gilroy (The Bourne Trilogy, Rogue One: A Star Wars Story) semua yang rumit dituturkan satu demi satu, tidak terburu-buru. Ada beberapa step yang predictable, tapi uniknya justru hal ini semakin meningkatkan perhatian kita terhadap kasusnya. Jelang akhir film, memang ada saja yang missed, tapi setidaknya kita masih bisa menangkap big picture-nya seperti apa. A solid, well-crafted political drama-thriller. Untuk Chillers yang menyukai film dengan intensitas tinggi, film ini sangat direkomendasikan dan dapat kamu tonton di bioskop terdekat.
Director: Brad Anderson
Starring: Jon Hamm, Rosamund Pike, Mark Pellegrino, Dean Norris, Shea Wigham, Idir Chender
Score: 8/10