“We’re not just black, we’re cops too! We’ll pull ourselves over later!” – Detective Marcus Burnett.
Buddy cop movie tentu selalu menjadi sebuah sajian yang menarik bagi penonton dewasa. Khususnya bagi film Hollywood di mana tentu film sejenis ini pasti sudah dilengkapi oleh suguhan aksi yang keren, lalu ditambah lagi humor yang bisa mengocok perut. Franchise “Bad Boys” adalah salah satu contoh yang bagus untuk ini.
Ditukangi oleh Michael Bay, “Bad Boys” tentu sudah bisa mengatasi poin pertama tentang aspek teknis yang harus mewah bin spektakuler. Nah aspek kedua mengenai humor itu bergantung pada siapa yang main. Pas banget, di sini lah Will Smith dan Martin Lawrence unjuk gigi. Mereka memberikan performa akting yang kocak sekaligus keren, kemudian chemistry yang solid dan tak terbantahkan lagi.
Buktinya, banyak trademark yang selalu bisa mengingatkan kita pada film ini. So, sebetulnya “Bad Boys” sudah memiliki “winning formula”. Kini mereka kembali untuk film ketiga. Masalahnya, apakah kualitas dari “winning formula” tadi bisa tetap dipertahankan mengingat usia itu gak bisa bohong?
Dari awal film, “Bad Boys for Life” diisi oleh prolog yang langsung gaspol! Dengan Porsche birunya, Mike Lowrey dan Marcuss Burnett terlihat memanaskan jalanan Miami. Mereka dikejar-kejar polisi, yang mana hal ironis ini dideskripsikan dalam salah satu line. Awal yang bisa langsung menyita perhatian, apalagi dengan sequence ending yang seperti itu.
Uniknya adalah, ending ini seperti berkata sesuatu. Bahwa segahar-gaharnya perjalanan Mike dan Marcus kali ini, mereka gak mau denial kalau mereka sudah semakin uzur. Marcus kini memiliki seorang cucu. Ya. Cucu, gaes! Udah jadi opa-opa doi sekarang. Hal itu sedikit banyak juga pasti terefleksikan kepada karakter Mike yang sudah jadi bujang lapuk tapi masih mau memberantas kejahatan sampai umurnya seratus tahun.
Kita bisa melihat kalau “Bad Boys for Life” coba berkembang sesuai dengan perkembangan situasi. Dalam hal ini, situasi karakternya yang mungkin juga sama dengan situasi penontonnya. Maka dari itu, film tidak hanya kembali menyajikan unsur persahabatan namun juga keluarga sebagai tools dalam ceritanya. Dalam perkembangannya ke depan, kita bisa melihat unsur keluarga tersebut secara setia mengekor konflik utama, dan nanti akan meledak pada waktunya di tahap konfrontasi.
Ini bagus untuk “Bad Boys” karena mereka tentu gak bagus kalau mainnya di situ-situ terus. Tidak ada salahnya untuk mengeksplor dunia cerita yang baru. Hanya saja, dibawakan dengan cara mereka sendiri. Untuk itu, diperlukan supplemen agar pengalaman kita ketika menonton “Bad Boys for Life” bisa lebih mantap lagi. Tak lain tak bukan tentunya dengan menonton film-film “Bad Boys” terdahulu.
Kita bisa reminiscence sama karakter Mike dan Marcus. Kembali melihat perangai dan kelakukan mereka. Nanti semua akan mengarah ke hal-hal lain yang merupakan tribute untuk film sebelumnya. Contohnya adalah beberapa jokes, kemudian karakter pendukung, hingga cameo.
Kemudian cara berikutnya yang “Bad Boys” banget adalah dari segi teknis. Di sini lah pertaruhannya. “Bad Boys for Life” tidak ditangani oleh Michael Bay, melainkan duet sutradara yang namanya relatif belum banyak didengar. Mereka adalah Bilall Fallah dan Adil El Arbi. Bagaimana mereka berdua bisa memberikan kembali warna khas lewat capaian sinematik. Hasilnya? Bagus kok. Bilall dan Adil bisa menampilkan kekerenan franchise. Mulai dari gaya berpakaian para karakter, mobil yang digunakan, tone warna yang bisa memunculkan penuansaan ala Miami, sampai sinematografinya yang beberapa kali memanfaatkan efek dramatis.
Biasanya, slow-motion bagus dalam hal ini dan dipadukan dengan angle yang tepat maka kesan cool langsung mencuat. Asiknya lagi adalah dari segi editing. Film acap kali memanfaatkan teknik wipe yang dibuat dalam durasi yang cepat. Teknik ini sendiri merupakan transisi shot di mana frame sebuah shot menyapu entah ke arah kiri, kanan, atas, atau bawah sehingga berganti ke shot yang baru.
Biasanya teknik ini digunakan untuk perpindahan shot yang terputus waktu tidak berselisih jauh. Selain itu, tentunya hal ini pun diseusaikan juga dengan kebutuhan naratifnya. Down side dari pilihan kreatif ini tentu ada. Yang paling kerasa adalah repetitif. Slow-motion nya diulang beberapa kali, kemudian wipe cepatnya juga sama. Jadi seperti terlalu over dosis tapi itu lah nyeleneh “Bad Boys” itu sendiri
Plot dibuatkan menjadi sederhana. Maksudnya apa? Well, kasus yang dihadapi kali ini bukanlah konflik yang bisa punya taruhan yang besar. Tidak sampai melibatkan senjata pemusnah massal atau ada badan-badan lainnya dari pemerintah yang merecoki susasana. Hanya sebuah pembalasan dendam yang nanti akan mengejutkan kita semua.
Di dalam pembalasan dendam tersebut akan ditaruh unsur persahabatan dan keluarga dan cara berceritanya adalah dengan mengaplikasikan batasan informasi terbuka. Jadi kita bisa melihat cerita tidak hanya dari sudut pandang karakter tertentu saja. Sesuatu yang sebetulnya terdengar dekat bukan? Lebih grounded lah! Kemudian ada satuan khusus bernama AMMO menjadi barang baru yang awalnya menimbulkan benih-benih pesimis. Beruntung, AMMO pimpinan commander Rita (Paola Nunez) yang cantik ini tidak overlapping. Perannya jelas dan justru menjadi bumbu segar buat para “anak lama”. Hanya saja, ada beberapa bagian cerita yang masih berasa nanggung. Alih-alih ingin membuat semua jadi makin kacau, kita justru tidak melihat kekacauan itu.
Dikatakan di dalam film bahwa Mike harus “menderita”. Kemudian kita akan melihat beberapa cara yang bisa membuatnya menderita. Cara yang paling umum dilakukan dalam film seperti inu tentu diaplikasikan kembali, dan berkat jalinan yang sudah kuat, cara generik tersebut berhasil.
Tapi sayangnya, ada juga cara yang jatuhnya maksa. Cara yang sepertinya diciptakan untuk lebih menghibur penonton generasi muda padahal impact-nya pun gak seberapa. Jelas cara generik lebih bagus karena lebih mengena, atau memang film secara tidak langsung ingin menyampaikan pesan tertentu?
Kemudian secara tak terduga, “Bad Boys for Life” memasukkan unsur kepercayaan di dalam filmnya. Unsur tersebut dibawakan dengan dua cara berbeda. Yang satu berhasil, yang satu gagal.
Untuk yang berhasil, ini merupakan buah dari kebijakan film yang tidak denial. Permasalahan lelaki berusia 50 tahunan coba bermain di sini, tepatnya dari kacamata Marcus. Bukan rahasia umum lagi jika semakin tua usia seseorang, maka kepercayaannya terhadap kuasa Tuhan semakin kuat. Bahkan teori Stages of Psychology dari Erikson yang biasa dipelajari di kampus pun berkata demikian.
Usia adulthood (40-60 tahun) adalah masa di mana seseorang memiliki kebajikan berupa kepedulian. Bagaimana kita bisa membuat hidup ini benar-benar berarti. Marcus mengalaminya di mana ia sudah punya cucu dan di sisi lain ia juga memiliki sahabat yang sampai sekarang masih sendiri. Tuntutan naratif tersebut kemudian dibawakan secara kocak oleh Martin Lawrence sehingg tidak terkesan menggurui.
Yang gagal adalah unsur kepercayaan yang dicampur dengan ciri khas budaya setempat. Dari awal film, sub-text ini sudah coba dikeluarkan. Kemudian poin tersebur juga didukung oleh scene yang menampilkan semacam tempat pemujaan. Mendekati akhir semua akan dijelaskan, cuman entah mengapa poin ini tidak memiliki korelasi yang jelas terhadap konflik yang dihadapi.
Beruntung, character’s arc dari musuh utama cukup oke. Dia bukan orang biasa dalam kehidupan salah satu jagoan kita. Motivasinya sungguh besar dalam membunuh siapa yang menjadi targetnya dan itu bikin penonton memahami dan akhirnya pay attention ke dia.
Ngomongin soal penjahat, karakter antagonis keduanya juga oke lho! Jika bosnya lebih dikuatkan ke arah cerita, maka dia kuat di arah action-nya. Relasi antara mereka bertiga menggunakan batasan informasi tertutup yang memang sengaja disiapkan untuk tahap resolusi yang lumayan cheesy. Tapi tak apa, toh hal itu dijadiin bahan becandaan sama karakter Marcus.
Kembali berbicara mengenai suguhan aksi. Ini menjadi poin krusial apalagi bagi duet sutradara kurang terkenal tersebut. Apakah mereka bisa membuat adegan-adegan aksi yang entertaining, apalagi orang-orang pastinya masih kepikiran sama apa yang dibuat Michael Bay di installment sebelumnya. And they did! Bilall dan Adil bisa menciptakan action sequence yang enak untuk dinikmati, terbukti dari sequence pertama yang langsung tancap gas. Action set-up nya tertata dengan baik, walaupun tidak sampai ke level spektakuler.
Ingat, film ingin lebih grounded mungkin faktor usia. Maka dari itu, bagian ini tidak serta merta diabaikan namun coba disesuaikan. Tidak ada kita bisa melihat action spectacle skala besar seperti yang ada di jalan tol pada film kedua, contohnya. Cuma mereka berdua sudah berusaha untuk menampilkan sajian aksi secara lengkap dan baik. Mulai dari kejar-kejaran dengan kendaraan mewah, pertarungan tangan kosong, gun fights, semua ada.
Mencoba untuk tahu diri gak selamanya buruk. Dengan ditangani oleh orang yang tepat, maka itu semua bisa berjalan dengan baik. Cukup tidak menyangka, “Bad Boys for Life” bisa melampaui ekspektasi. Karena ya, pasti akan ada skeptisisme mengingat jarak film ketiga cukup jauh dari film kedua dan keprimaan fisik Will Smith dan Martin Lawrence pasti sudah berbeda.
Tapi ternyata setelah ditonton, film ini merupakan sekuel yang bagus. Buddy cop nya dapet banget lewat chemistry yang gak pernah salah dari dua aktor utama. Action nya tetap dapet karena di-handle dengan baik walaupun gak jor-joran lagi.
Kedalaman ceritanya juga ada karena film memanfaatkan kondisi terkini untuk menambah bumbu, meski ada saja luxury yang kurang berhasil. Dan yang tidak kalah penting, kerennya gak hilang. Film bisa memberikan tribute yang layak untuk menghormati pendahulunya.
Director: Bilall Fallah, Adil El Arbi
Starring: Will Smith, Martin Lawrence, Kate Del Castillo, Paola Nunez, Vanessa Hudgens, Alexander Ludwig, Charles Melton, Joe Pantoliano, Jacob Scipio
Score: 7.8/10
The Review
Bad Boys for Life
Will Smith dan Martin Lawrence kembali memberikan performa akting yang kocak sekaligus keren, kemudian chemistry yang solid lewat Bad Boys for Life. Sekuel yang tadinya sempat diragukan, terlebih tanpa adanya Michael Bay di kursi sutradara, ternyata memberikan kepuasan lewat aksi tingkat tinggi dipadukan dengan kelucuan-kelucuan antara mereka