“In time, you will know what it’s like to lose. To feel so desperately that you’re right. Yet to fail all the same. Dread it. Run from it. Destiny still arrives.” – Thanos
Berjuta-juta ekspektasi pasti membubung tinggi menyambut rilisnya film ini. Avengers: Infinity War merupakan puncak dari rancangan sinematik awal raksasa Marvel Studios yang memakan waktu pembuatan selama sepuluh tahun dan menghasilkan lebih dari 15 film. Banyak rumor dan pertanyaan yang muncul, bahkan sebelum filmnya dirilis.
Mulai dari entah ke mana Ant-Man dan Hawkeye, sampai kira-kira siapakah yang bakal mati; Iron Man (Tony Stark) atau Captain America (Steve Rogers). Belum lagi kemunculan Thanos (Josh Brolin), sesosok mad titan yang bisa melemparkan bulan ke arahmu. Bakal tambah epik setelah kita berpikir, bagaimana duo sutradara Joe dan Anthony Russo bisa memasukkan karakter jagoan sebanyak itu dalam waktu yang terbatas.
Memanjangkan runtime adalah salah satu cara, dan bagusnya itu sama sekali bukan keputusan yang salah. Dengan durasi yang mencapai dua setengah jam, Infinity War adalah film MCU terlama yang pernah diproduksi. Wajar, karena dengan karakter sebanyak itu, dibutuhkan sebuah cara agar mereka mendapatkan perannya masing-masing. Film dimulai dari sebuah kekacauan yang timbul dan itu bisa langsung kamu kaitkan dengan film sebelumnya yaitu Thor: Ragnarok.
Perbedaan gaya penyutradaraan membuat suasana yang tercipta cukup berbeda dengan apa yang ditampilkan oleh Taika. Karakter Thanos juga langsung diperkenalkan, di mana sutradara menggunakan metode yang kali ini berbeda dengan apa yang diperlihatkan di Spiderman: Homecoming dan Black Panther. Di sini penonton langsung tahu apa tujuan Thanos sebelum ke depannya melihat motivasi dari makhluk besar berwarna ungu tersebut.
Setelah itu yang ada adalah rajutan yang begitu baik. Film memanfaatkan runtime seoptimal mungkin sehingga bagian demi bagian diceritakan dengan porsi yang pas. Kita tidak merasa kebingungan, atau kecapekan akibat editing yang kurang rapih. Storytelling yang ada pada akhirnya akan menemui titik terang dan benang merah dari semua ini adalah Thanos.
Berbicara mengenai karakter ini, apa yang dikatakan oleh Russo bersaudara itu benar. Ini adalah filmnya Thanos, maka dari itu dia mengambil panggung utama dan bersinar. Screen time-nya adalah yang terbanyak dibanding para manusia super. Maka dari itu, dibutuhkan aktor yang bisa memerankan karakter ini dengan baik dan Josh Brolin sebagai pengisi suara Thanos, memberikan itu semua.
Penampilannya sebagai Thanos meyakinkan, apalagi kita juga bisa melihat sisi lain dari dirinya yang mana diterjemahkan dengan bagus berkat bantuan apik dari Zoe Saldana sebagai Gamora. Apa yang membuat karakter ini menakutkan adalah bukan dari kekuatannya, tapi dari paham pemikiran bahwa apa yang ia lakukan itu adalah benar. Ketika ini bisa disampaikan kepada penonton, muncullah sosok ambisius kejam yang bisa jadi sulit untuk dilupakan, lengkap dengan segala problematika kompleks yang ia pendam sejak lama untuk menjadi sosok menakutkan tersebut.
Kemudian berbicara mengenai para superhero-nya. Dari seluruh aktor, penampilan Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch adalah yang terbaik dari yang sudah baik. Pada dasarnya, Tony Stark dan Stephen Strange mempunyai beberapa kesamaan, yang sayangnya kesamaan ini lebih cenderung membenturkan diri mereka satu sama lain. Kecerdasan, kekayaan, kekuatan dan ego yang mereka miliki membuat Iron Man dan Doctor Strange menjadi sosok antagonis bagi diri mereka masing-masing. Dinamika antara dua karakter ini menjadi salah satu kombinasi terbaik yang pernah tampil on screen.
Untuk Steve Rogers (Chris Evans), porsinya tidak sebanyak yang diperkirakan. Captain America tetap memegang peranan, tapi melihat cerita yang memang bukan untuknya, yang terpenting adalah ia menjalankan tugasnya sebaik mungkin. Film tahu betul apa resiko yang mereka ambil. Benda keramat di film adalah Infinity Stone, maka dari itu kamera akan coba lebih mengalihkan fokusnya kepada Vision (Paul Bettany) dan Wanda Maximoff (Elizabeth Olsen).
Semua yang ada kemudian bahu-membahu untuk melindungi Vision dari ancaman Thanos dan pasukannya yang terkenal dengan sebutan “Black Order”. Dari sini kita dapat melihat ikatan spesial yang sudah terjalin antara Vision dan Scarlet Witch. Kedepannya akan menjadi bumbu yang semakin menyedapkan hidangan mewah ini.
Then, about the jokes. Fair enough to say that it works. Infinity War masih bisa menyelipkan beberapa guyonan khas Marvel di saat tertentu. Guyonan ini kerap kali berfungsi sebagai punchline dari dialog yang dibangun antar sesama karakter. Khusus menyoal komedi, satu yang paling disukai adalah Dr. Bruce Banner (Ruffalo) yang punya masalah dengan alter-ego nya sendiri. Di satu sisi kekonyolan ini membuat Hulk jadi sia-sia, tapi di sisi lain langkah tersebut merupakan risiko yang smart mengingat kemampuan Bruce untuk mengendalikan Hulk baru ia dapat belum lama, yaitu setelah kejadian di Ragnarok.
Thor juga ternyata masih punya sense of humor. Ia adalah salah satu dari sedikit karakter yang punya motivasi lebih dari sekedar menyelamatkan alam semesta ketika berhadapan dengan Thanos. Apa yang ia korbankan sudah sangat banyak. Jokes yang muncul darinya tetap menghibur, tapi sedikit melebar karena apa yang dilontarkan lebih ditangkap bukan sebagai pelarian dari duka yang mendalam, namun persembunyian dari kemarahan sang dewa. Masalahnya, apakah itu relevan untuk semua orang?
Terakhir adalah kejutannya. Ini sedikit banyak menyangkut kekhawatiran kita mengenai apa yang akan terjadi nanti. Setelah memuaskan penonton dengan interaksi demi interaksi antar pahlawan, action sequence yang tetap menawan, peperangan epik yang hancur-hancuran, dan kehadiran musuh-musuh brilian, film ini masih menyimpan kejutan.
Duo penulis, Stephen McFeely dan Christopher Markus, yang sudah bekerjasama sejak pembuatan Captain America: The First Avenger ini memang tidak asing bagi sutradara Joe dan Anthony Russo. Kerjasama mereka yang padu terlihat dari banyaknya sekuens yang saling terkoneksi dari satu film ke satu film Marvel yang pernah dibuat. Keunggulan Marvel disisi ini membuat film-film mereka selama 10 tahun ini tidak dilupakan begitu saja terutama bagi para penggemarnya yang fanatik.
Dengan durasi yang terbilang lama untuk sebuah film, tentu saja berdampak pada faktor fatigue yang umumnya dialami penonton bioskop. Terlebih dengan banyaknya karakter di film ini. Namun disini, pemenggalan sekuen satu ke sekuen lain dilakukan dengan cara yang sangat smooth, dengan tidak melulu ‘menghajar penonton’ dengan adegan action secara terus berkepanjangan. Dan cara ini juga pernah dilakukan oleh film-film berdurasi panjang lainnya seperti Lord of The Rings Trilogy. Sehingga penonton tetap bisa menikmati film berdurasi panjang tersebut tanpa adanya kebosanan akan cerita yang disuguhkan disitu.
Tentunya Chillers harus melihat dengan mata kepala sendiri. Ini soalnya menimbulkan sensasi tertentu di mana apa yang tersaji akan memancing perbincangan seru setelah keluar dari bioskop. Oh iya, terdapat satu end-credit scene di paling terakhir. Pastikan kamu melihatnya karena di sana akan terungkap satu hal penting. Sesuatu yang membuat kita semakin penasaran, di balik hati yang seakan-akan dipermainkan. Puas akan satu penantian tapi masih menunggu kepastian lainnya.
Film ini sudah bisa kamu saksikan serentak di bioskop-bioskop seluruh Indonesia mulai 25 April 2018 dan saksikan keriuhan film yang dipenuhi oleh semua karakter Marvel dalam satu layar sekaligus.
Director: Joe Russo, Anthony Russo
Duration: 149 minutes
Starring: Robert Downey Jr., Chris Evans, Mark Ruffalo, Chris Hemsworth, Scarlett Johansson, Benedict Cumberbatch, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Paul Bettany, Elizabeth Olsen, Chris Pratt, Bradley Cooper, Vin Diesel, Zoe Saldana, Dave Bautista, Chadwick Boseman, Danai Gurira, Letitia Wright, Tom Holland, Josh Brolin, Peter Dinklage, Tom Hiddleston, Benicio Del Toro, Samuel L. Jackson, Benedict Wong, Gwyneth Paltrow.
Score: 8.5/10
Discussion about this post