“She’s an enigma my wife. You can get close to her, but you never quite reach her. She’s like a, beautiful ghost.” – Sean.
Pada tahun 2014 lalu, kita dihebohkan dengan film bergenre mystery-thriller berjudul ‘Gone Girl’. Film arahan David Fincher ini menjadi buah bibir karena kisah yang kelam dan penuh teka-teki. Nah, bagaimana jadinya jika ada sebuah film semacam ‘Gone Girl’, tapi memiliki muatan komedi yang besar? Hmm… Sulit untuk dibayangkan, namun menarik untuk melihat akan seperti apa jadinya.
‘A Simple Favor’ mencoba untuk menjadi jawaban dari pertanyaan di atas. Disutradarai oleh sineas necis Paul Feig (Spy, Ghostbusters: Answer the Call), film ini juga memiliki plot menarik di mana seorang wanita hilang secara misterius tanpa jejak. Stephanie (Anna Kendrick), adalah seorang ‘mommy vlogger’. Rutinitasnya sehari-hari adalah memberikan tips membuat sesuatu dengan konsep D.I.Y (do it yourself). Akun YouTube Stephanie telah di-subscribe oleh banyak orang, tapi yah, di dunia nyata Stephanie bukan tipe orang yang memiliki banyak teman.
Suatu hari Stephanie bertemu dengan Emily (Blake Lively). Berbeda dengan Stephanie yang “orang biasa”, Emily merupakan seorang ibu yang high profile yang tampil glamor dan berkelas. Sifatnya pun bukan tipe ibu yang gampang akrab dengan sesamanya. Singkat cerita, Stephanie dan Emily yang berasal dari dua dunia berbeda ini, berteman. Seiring waktu berjalan, pertemanan ini semakin erat sampai Emily memercayai Stephanie untuk menjemput anaknya di sekolah.
Persahabatan Stephanie dan Emily kemudian menemukan tantangan ketika Emily diketahui menghilang. Tidak ada seorang pun yang tahu ke mana ia pergi, bahkan suaminya sendiri. Sebagai sahabat, Stephanie memberikan bantuan untuk segera menemukan Emily. Tapi, alih-alih menemukan Emily, Stephanie justru semakin tahu bahwa Emily bukan apa yang seperti ia kenal sebelumnya.
Film yang merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Darcey Bell ini memiliki pola penuturan cerita yang non-linier. Ya kalau diberikan contoh dengan film yang masih terhitung baru, polanya mirip-mirip “Aruna & Lidahnya”. Di awal film, penonton disuguhkan pada scene yang seharusnya berada di tengah. Emily ditampilkan sudah menghilang selama lima hari di sana. Dari sini elemen misteri ‘A Simple Favor’ sudah mulai dimunculkan, seraya film menerapkan teknik naratif berikutnya, yaitu penceritaan terbatas. Penonton menikmati film dari sudut pandang Stephanie dan setiap petunjuk yang ditemukan dan ditelusuri berasal dari arah Stephanie. Cara ini selain menimbulkan rasa penasaran juga mengundang penonton untuk ikut memecahkan misteri. Stephanie adalah seorang vlogger, bukan detektif. Maka cenderung menyelesaikan petunjuk secara hands-on, bukan berhipotesis.
Aspek ini kemudian didukung oleh akting yang baik dari Anna Kendrick. Meski tokoh Stephanie akan mengalami perubahan yang signifikan, sifat dan perangai khas Stephanie tidak serta-merta menghilang. Stephanie tetap seorang “mahmud” yang aktif, ceria, dan terkadang awkward. Chemistry yang ia jalankan bersama Blake Lively juga terlihat sangat lancar dan natural. Ada beberapa sequence di mana Anna dan Blake mengobrol intens. Meski begitu, terdapat intimacy dan keceriaan antara mereka berdua, yang semakin menguatkan unsur persahabatan dari film.
Untuk Blake, my gosh, she’s so gorgeous! Dia tampil sangat memukau mengenakan busana Ralph Lauren bergaya edgy yang disesuaikan khusus untuk karakternya. Selain itu, Blake juga bisa menunjukkan watak dari Emily yang misterius. Emily juga merupakan wanita karir yang sangat modern. Dia tidak segan untuk bicara blak-blakan, bahkan sampai melontarkan jokes yang terkesan vulgar. Tapi, meski begitu, ada saatnya di mana Emily juga mengeluarkan sisi lain dari yang selama ini diperlihatkan. Semisteriusnya Emily, dia juga seorang manusia yang memiliki kelemahan. Ia bisa bertindak di luar nalar jika ada hal yang membuatnya merasa terancam, tapi tidak ia tunjukkan begitu saja.
Selanjutnya adalah unsur komedi. Berbeda dengan versi novelnya, film ‘A Simple Favor’ memiliki elemen dark comedy yang sangat kental. Umpatan bertebaran di banyak tempat, keluar dari banyak karakter bahkan sampai mereka yang tak terduga sekalipun. Scene yang memasukkan komedi satir seperti ini membuat ceritanya jadi semakin berwarna. Jika dilihat-lihat, unsur komedi dan thriller ibarat air dan minyak. Sulit, bahkan tidak bisa menyatu. Ketika penonton sudah terbawa suasana, mereka akan larut di dalamnya.
Dan ketika suasana yang bikin penonton menginvestasikan dirinya itu diintervensi oleh unsur lain yang berbeda 180 derajat, itu bisa menjadi bumerang bagi kelangsungan filmnya. “A Simple Favor” jelas tidak mengalami hal tersebut. Film bisa menempatkan mana momen yang pas untuk meningkatkan tensi, mana momen yang pas untuk menurunkannya kembali. Mana saat yang tepat untuk becanda, mana saat yang tepat untuk serius.
Sedikit disayangkan, film tidak terlalu berhasil membuat kita untuk segera memasuki konflik baru yang menandai turning point kedua. Di sini cerita mulai berbalik arah dan mulai menyeret tokoh Sean Townsend (Henry Golding) ke permasalahan yang lebih pelik. Meski referensi dari film “Diabolique” tampil apik, namun penonton belum terlalu mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Setting-nya disajikan terlalu cepat sehingga perlu lebih memutar otak agar bisa mengejar bola salju yang sudah terlanjur menggelinding ini. Skala konflik jelas menjadi semakin besar dan gila, hanya saja kegilaan tersebut tidak terlalu jelas fondasinya. Apalagi ada kalanya film memindahkan point of view ke karakter Sean. Perlu penyesuaian yang lebih untuk semakin memahami misteri yang terjadi karena sekarang masalah tidak hanya ditampilkan dari sudut pandang Stephanie saja.
Meski begitu, babak klimaks dibuat jauh lebih oke dibanding versi novelnya. Bahkan bagi penonton yang hanya mengerti dasar permasalahannya saja, mereka akan menikmati ini pula. Sedikit gambaran, di versi novelnya, klimaks yang ada menyisakan aftertaste yang mengganjal. Sesuatu yang tentunya bukan hal yang bisa didukung oleh kebanyakan pembaca. Tapi film menyajikan muara yang berbeda dan lebih nendang. Selain itu, pemanfaatan karakter yang tak terduga di timing yang (lagi-lagi) tepat, membuat semuanya diakhiri dengan sangat asik, menyenangkan, dan menggembirakan. Sekali lagi Paul Feig membuktikan bahwa dia adalah sutradara hebat. Ia memiliki visi dalam mengemas sesuatu yang berbeda, ditampilkan dengan nyata, namun tidak sekonyong-konyong meninggalkan roh utama dari karya aslinya.
Untuk soal fashion, itu juga hal yang wajib dibahas. Sejak scene diperkenalkannya penonton kepada karakter Emily, kita bisa melihat bahwa fashion menjadi faktor penting di film ini. Poin tersebut bahkan di beberapa scene hampir berdiri setara dengan dialog yang dikeluarkan oleh para tokohnya. Contoh pertama adalah ketika Emily melepas tuxedo-nya di hadapan Stephanie. Di sana yang tersaji bukan hanya soal chemistry dan character exposition, namun juga bagaimana sebuah pakaian, secara berkelas, bisa dijadikan alat untuk membuat lawan bicara merasa betul-betul terpana. Contoh berikutnya adalah ketika Stephanie berbicara kepada seorang penyidik. Secara cerdas film memanfaatkan pakaian sebagai item yang berhasil mencampuradukkan mood. Sebuah sensasi yang jarang ditemukan, di mana kita merasa penasaran, namun di sisi lain juga tertawa cekikikan. Ah, film ini. Bisa saja!
“A Simple Favor” adalah teka-teki yang ditampilkan secara satir, berkelas, dan menyenangkan. Beberapa perubahan dari versi novel sukses membuat aspek naratif dan tingkat excitement jadi lebih hidup. Referensi dari film lain juga dimasukkan secara pas. Paul Feig betul-betul mengkreasikan satu rangkaian kasus yang menarik dan akhirnya sungguh ciamik.
Oh, dan lagu-lagu Prancisnya yang mengisi sejak opening title, Simply Magnifique!!
Director: Paul Feig
Starring: Anna Kendrick, Blake Lively, Henry Golding, Rupert Friend, Andrew Rannells, Ian Ho, Joshua Satine, Bashir Salahuddin
Duration: 117 Minutes
Score: 8.3/10