Seperti kita ketahui dalam 10 tahun terakhir, dunia sekaligus kebudayaannya sudah sangat berubah 180 derajat. Dengan kata lain, kini kita tidak bisa sembarang lagi berucap bahkan, bercanda yang bersifat merendahkan.
Jangan di dunia nyata, di dalam media hiburan seperti film pun, perubahan itu sangat terasa. Selain aspek yang dijelaskan di atasm kini film-film, tidak bisa lagi menerapkan unsur (trope) klasik yang dulunya kerap diterapkan di dalam filmnya.
Termasuk juga disini adalah genre film favorit sejuta umat, horor. Nah seperti kita ketahui, film-film horor klasik (hinggal dekade 2000-an), rata-rata masih menerapkan berbagai unsur khas horor yang kalau dipikir agak SARA lagi kontroversial.
Intinya, kalau unsur-unsur khas tersebut kini masih diterapkan, dijamin akan membuat heboh jagad maya bahkan, membuat bencana baik bagi pembuat filmnya, aktornya, bahkan citra filmnya sendiri.
Dan berikut adalah 5 unsur (trope) klasik film horor yang apabila kini diterapkan, dijamin akan membuat heboh sejagad.
5. Remaja Virgin Selalu Jadi Target Utama

Inilah trope yang di film-film horor barat jadul, sellau diterapkan. Terlebih, di genre slasher horror.
Pokoknya yang menjadi incaran pembunuhnya, adalah gadis remaja yang masih virgin. Memang tidak pernah diketahui alasan persisnya mengapa tipe seperti ini yang diincar.
Walau kalau menurut kami sih, hal ini kerap dilakukan demi menjual filmnya. Ya apapun alasannya, yang jelas trope ini, bakalan sangat bikin ribut kalau diterapkan saat ini.
Memang sih, masih ada beberapa film horor 10 tahun terakhir ini yang menerapkan formula ini. Tapi untungnya, saat ini kian sedikit. Dan untungnya, masih banyak yang menganggapnya gak terllau signifikan.
Tapi tetap saja bagi sebagian besar lainnya, trope ini dianggap tidak pantas karena dianggap sebagai sesuatu yang pedofilik dan seksis.
4. Wanita Selalu Jadi Korban Utama

Hampir 11-12 dengan poin sebelumnya, kalau kamu perhatikan, film-film horor jadul rata-rata yang diincar atau tewas menjadi korban villain-nya, adalah wanita.
Ada memang yang pria, tapi rasio-nya masih lebih tinggi wanita. Dan alasan mengapa horor dekade-dekade dulu menerapkan ini, bukan hanya dikarenakan sisi menjual, namun, wanita juga masih dianggap yang paling lemah.
Alhasil, audiens pun akan cepat simpati dan kian betah untuk menyaksikan film-nya hingga selesai. Apabila trope ini masih diterapkan, dijamin film-nya akan langsung diberikan hujatan bersifat SJW bahkan, pemboikotan
3. Kurangnya Representasi

Kalau kamu perhatikan, film-film horor klasik hanya menampilkan mereka-mereka yang kulit putih dan, berorientasi seksual pada umumnya (baca: suka lawan jenis).
Individu-individu nya pun juga yang straight-straight saja. Sangat jarang film horor kala itu menampilkan karakter LGBT atau dari ras yang bebreda dari ras kulit putih
Nah untunglah dalam beberapa bulan terakhir, tren ini secara perlahan tapi pasti, sudah menghilang.
2. Kulit Hitam yang Selalu Tewas Terlebih Dulu

Ini bukan rahasia umum lagi. Di film-film horor dulu, ada dua “golongan” individu yang selalu dijadikan target korbannya. Kalau tidak wanita yang masih dara banget atau ya pria atau wanita kulit hitam.
Dengan kepopuleran gerakan “Speak Up” dan “Black Lives Matter”, terkecuali ada alasan yang bagus nan logis untuk mematikan karakternya, tak disangkal kalau unsur ini gak bisa banget diterapkan di film-film horor saat ini.
1. Penyakit Mental

Seperti yang mungkin kamu pernah saksikan di film drama horor klasik 90-an, Jacob’s Ladder (1990), karakter utamanya, Jacobs Singer (Tim Robbins), adalah veteran perang Vietnam yang setelah kembali, mengalami halusinasi hebat.
Atau spesifiknya, PTSD. Nah PTSD dikategorikan sebagai mental illness. Dan seperti kita tahu, dari dulu, film yang menampilkan korbannya mengalami mental illness kerap dilebih-lebihkan alias, gak pernah sesuai.
Nah mengingat generasi saat ini yang kian kritis, cerdas, dan sekali lagi media social culture, dijamin apabila film horor saat ini menerapkan trope ini, langsung deh di media sosial pada ribet dan ribut tak karuan.
Kalaupun memang filmnya harus menampilkan karakter yang memiliki sakit mental, maka penyakitnya harus ditampilkan secara tepat dan juga, tidak bersifat mengglorifikasi penyakitnya. Sekarang, bagaimana nih pendapatmu dengan pembahasan ini Chillers?
Editor: Juventus Wisnu