Kekerasan seksual adalah kasus yang hingga kini masih menjadi hal yang rumit di Indonesia. Masih banyak ketakutan dan anggapan-anggapan yang salah mengenai korban. Padahal, kasus seperti ini merupakan salah satu kasus yang begitu menodai perjalanan bangsa kita, namun sayangnya hingga sekarang kekerasan seksual atau lebih tepatnya perkosaan masih saja urung menemui keadilan. Untuk itu, penting kiranya bagi kita untuk melihat film yang satu ini. “27 Steps of May” adalah film yang mengangkat kisah tentang kekerasan seksual, yang mana dilihat dari sudut pandang korban biar kita tidak asal men-judge mereka begitu saja. Penonton bisa melihat seperti apa dampaknya jika seseorang mengalami pemerkosaan. Semua ditampilkan secara menggugah, berkat performa luar biasa dari para pemerannya.
May (Raihaanun) adalah seorang gadis berusia 14 tahun. Suatu hari ia pergi ke taman bermain. Naas, May diperkosa oleh sejumlah pria dalam perjalanan pulang. Hal itu membuat May menjadi orang yang sangat berbeda ke depannya. Selama delapan tahun, May mengalami depresi akut. Ia tidak berbicara, dan hanya hidup di dunianya sendiri. Sang Bapak (Lukman Sardi) tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa gagal menjalankan peran seorang ayah dalam melindungi anaknya dan kekesalan itu ia luapkan di ring tinju. May sama sekali tidak dapat dimengerti karena dia tidak mau bercerita. Ia juga sangat takut akan dunia luar, seperti mengalami trauma. Ketika May teringat memori-memori buruk itu, ia pergi ke kamar mandi untuk menyakiti dirinya sendiri. Hingga kapan May akan terus tersiksa seperti ini? Bagaimana cara untuk dapat membebaskannya?
“27 Steps of May” langsung membuka film dengan peristiwa mengenaskan tersebut. Disajikan secara cepat dan efektif, kita akan melihat capaian sinematik-artistik untuk memberikan ilustrasi kejadian lewat penggunaan teknik bayangan yang tercetak di medium lainnya. Penonton lalu diajak melompat langsung ke delapan tahun setelahnya. Di sana May sudah terlihat sangat berbeda, di mana ia sudah berada di dunianya sendiri, dengan rutinitas harian yang itu-itu saja. Beruntung, May masih mau membuka pintu kepada bapaknya untuk membantu membuat boneka yang kemudian akan diberikan kepada kurir (Verdi Solaiman) untuk dijual.
Di sini kita bisa melihat perubahan May dari beberapa poin. Yang pertama adalah warna. Warna-warna polos dari cat tembok dan juga kostum memberikan kesan bahwa May tidak seceria dulu. Kedua adalah set, di mana May melakukan 98 persen aktifitasnya di dalam kamar. Kamar yang sederhana ini punya peran penting karena memberi kesan May yang membatasi dirinya akibat trauma. Hal ini semakin kuat lewat kejadian tertentu di tahap persiapan. Lalu ada sifat obsesif kompulsif akut. Dibandingkan poin-poin lain, yang satu ini lebih sulit dicerna karena memang tida dijelaskan apakah hal seperti ini juga sesuatu yang benar-benar terjadi kepada korban. Apakah akibat trauma berkepanjangan? Atau ada alasan lainnya. Hanya saja, bottom line-nya sudah terlihat. May menjadi pribadi yang 180 derajat berbeda.
Film lebih doyan menyuguhkan cerita lewat komunikasi visual dan akting teatrikal. Kemudian dialognya pun minim, dan ini sepertinya bukan dibuat untuk gaya-gayaan semata. Isu yang diangkat di sini adalah efek dari kekerasan seksual pada korban. Maka dari itu, jelas sudah bahwa kejadian tersebut akan sulit bahkan takut diungkapkan dengan kata-kata. Balik lagi, menjadi korban perkosaan adalah sebuah hal yang sangat tabu di masyarakat kita. Kalau korbannya bercerita, bisa saja dia yang disalahkan. Maka banyak kasus di mana korban memilih untuk diam. Memendam semuanya dalam-dalam, padahal itu juga berbahaya bagi dirinya sendiri.
Ini lah pertimbangan yang membuat sutradara Ravi Bharwani memilih pendekatan minim dialog. Bagi yang sudah terbiasa, tentu bakal paham akan pilihan tersebut. Tapi di sisi lain, pendekatan semacam ini juga memiliki resiko karena dapat membuat penonton bosan. Begitu sedikitnya kata-kata verbal yang merupakan tools paling jitu dalam menyampaikan informasi membuat kita harus mantengin betul-betul sambil memaknai ekspresi plus simbol-simbol yang keluar. Lagi, film seperti ini memiliki caranya sendiri namun ide dan konsep cerita membuatnya menjadi sesuatu yang menarik lagi penting.
Maka dari itu, semua akan bergantung pada akting para pemeran. Beruntung, Raihaanun dan Lukman Sardi menampilkan performance yang luar biasa. Dua-duanya tidak hanya padu dalam membangun chemistry (yang lagi-lagi tidak ditampilkan lewat kata-kata), namun juga apik dalam menjabarkan “character development” yang dibuat naik-turun sepanjang film. Raihaanun dituntut untuk bisa menjelaskan tanpa banyak cakap. Ia menunjukkan bagaimana perasaan May hari demi hari cukup melalui ekspresi wajah dan gestur. Speechless juga melihat performa yang tour-de-force seperti ini, apalagi nanti akan ada momen-momen dengan level “hard to see”.
Mudah untuk mengenali momen ini karena film akan menampilkan flashback yang membangkitkan traumatik May. Belum lagi di tahap resolusi, May diperlihatkan menjadi orang yang sangat tegar. Sementara itu Lukman Sardi, yang juga ikut-ikutan stress, menampilkan dua sisi berbeda. Di rumah, ia menjadi seorang ayah yang penyayang dan kalem. Tapi di luar rumah ia menjadi seorang petarung yang mengamuk, melampiaskan seluruh emosi pada setiap pukulan. Di tahap konfrontasi, dua karakter ini akan mengalami perkembangan yang menarik. Masuknya karakter pesulap yang diperankan oleh Ario Bayu membuat May mulai berkembang. Melihat perkembangan May sedikit demi sedikit, si Bapak juga ikut terpengaruh. Merujuk pada kata-kata sang kurir, ini namanya “progress”.
By the way agar semakin mendukung terciptanya mood, ada perbedaan yang signifikan dari mise-en-scene May dan ayahnya. Apa yang di-display untuk May, seperti yang sudah ditulis sebelumnya, lebih terkesan pale, dengan sentuhan minimalis. Untuk sang ayah, ini akan jauh lebih menarik karena ada dinamika di sana. Mengikuti tuntutan naratif dari unsur emosional karakternya, ketika sang ayah berada di rumah, penuansaan dibuat senada dengan mood dari May. Tapi ketika ia ada ring tinju atau cage, penuansaan akan jauh lebih berbeda. Lebih gelap, lebih keras, pokoknya harus terlihat kontras. Kembali lagi, ini bukan sekedar dibuat untuk memenuhi tuntutan narasi filmnya, tapi juga narasi dari unsur emosi karakternya. Meski koreografi pertarungannya biasa-biasa saja, namun setidaknya environment-nya mendukung agar penonton semakin paham dan peduli tidak hanya kepada May tapi juga kepada sang Bapak.
Melihat peran dari si pesulap yang merupakan tetangga May, ada beberapa hal yang patut dibahas. Karakter ini sangat berjasa bagi cerita karena dia lah yang lebih intens berinteraksi dengan May sampai akhir. Akibat bolongnya dinding kamar May yang ternyata menembus ke ruangan workshop sang pesulap, membuat dua karakter tersebut memiliki cara unik dalam berinteraksi. Lewat lubang ini lah si pesulap membuat May mulai belajar untuk lebih terbuka. May juga kembali merasakan emosi-emosi yang nampaknya sudah lama menghilang semenjak delapan tahun yang lalu.
Sayang, alasan untuk memilih karakter pesulap ini masih tanda tanya. Memang, seseorang dengan trauma atau depresi akut membutuhkan sesuatu agar dirinya bisa lebih terbuka. Salah satu caranya adalah dengan menampilkan sesuatu yang menjadi kesenangan atau kesukaannya. Menjadi orang yang betul-betul mengerti dirinya. Apakah si pesulap ini berperan seperti itu? Belum tentu. Karena film tidak menunjukkan apa sih yang menjadi kesenangan May sesungguhnya. Di bagian awal, tidak ada satu pun scene yang menunjukkan bahwa May mengidolakan aksi pesulap secara spesifik. Ia hanya terlihat sedang bersenang-senang di taman bermain.
Belum selesai, ada kejanggalan menyangkut positioning dari karakter pesulap. Biasanya, ada maksud tertentu yang sengaja diberikan pada karakter-karakter semacam ini. Dalam kasus May, anggapan yang muncul adalah bahwa si pesulap merupakan karakter fiktif atau imajiner. Hal ini semakin didukung dengan keanehan set. Melihat rumah May, apakah mungkin tembok yang jebol itu bisa langsung menembus ke bagian dalam rumah orang lain? Sepertinya sulit. Apalagi rumah May bukan apartemen atau, let’s say, rumah susun yang temboknya menjadi pemisah antara unit satu dengan unit lain. Sudah begitu, semakin pusing lagi ketika ada scene yang memperlihatkan bahwa terdapat lantai satu dari workshop sang pesulap, yang berarti workshop-nya ada di lantai atas.
Dari eksposisi seperti ini, pikiran awal yang paling kuat adalah si pesulap merupakan karakter yang ada di khayalan May. Toh ini juga sesuai dengan tuntutan naratif di mana May memang sedang berada di dalam kondisi yang tidak stabil. Tapi alangkah kagetnya ketika di satu scene sang pesulap dibuat menembus batas itu. Sudah begitu, scene menunjukkan adanya kontak fisik antara para pemeran pendukung. Di satu sisi ini membuat film memiliki momen yang baik untuk menuju tahap resolusi, di mana May berada di titik terendah sepanjang film. Tapi di sisi lain arahan tersebut menunjukkan kejanggalan.
Film juga kurang solid dalam menampilkan build-up karakter Bapak. Terdapat dialog yang diucapkan oleh pelatih Bapak dan manajernya, yang membuat kita mengernyitkan dahi. Di situ muncul masalah berikutnya, yaitu apa yang membuat si Bapak kembali sulit dikontrol. Tidak ada scene yang memberi tahu penonton tentang apa yang terjadi kepada Bapak di rentang waktu delapan tahun ke belakang. Apakah di sini May ditampilkan dalam kondisi terparah sejak ia diperkosa sehingga Bapak menjadi kembali sulit dikontrol? Tidak tahu. Tidak seperti May, trigger yang mengarah ke memori-memori buruk yang memicu trauma tidak nampak untuk Bapak. Jadi, yang kita mengerti hanyalah lapisan luarnya saja, yaitu mengenai seberapa berat tekanan yang ditanggung oleh seorang ayah, atau orang terdekat dalam lingkup yang lebih general, ketika orang yang mereka cintai menjadi korban. Tidak ada yang mereka bisa lakukan. Semuanya sudah terjadi.
“27 Steps of May” punya kekuatan dalam hal menampilkan sensibilitas isu. Penonton bisa melihat sekaligus merasakan betapa berat dan struggling-nya korban plus keluarga mereka. Pemilihan konsepnya juga sebetulnya pas, yaitu dengan dialog yang minim. Ini bisa dimengerti karena sesuai dengan tuntutan naratif, di mana kejadian yang dialami May memang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Akting Raihaanun memang pantas diganjar penghargaan karena ia menampilkan May secara konsisten, dengan keterbatasan yang dimiliki. Karakternya sendiri ditulis dengan kuat. Hanya saja, yang namanya kekurangan dan pertanyaan pasti ada. Jangan heran kalau nanti kamu menemukan meaning yang kompleks atau sebuah kejutan yang jatuhnya malah mengherankan.
Director: Ravi Bharwani
Starring: Raihaanun, Lukman Sardi, Verdi Solaiman, Ario Bayu
Duration: 112 Minutes
Score: 7.8/10