“To Be a Getty is an Extraordinary Thing” – John Paul Getty III
Lama tak terdengar kalau Ridley Scott menggarap tema drama, kini ia kembali lewat film terbarunya All The Money In The World. Film ini terinspirasi dari kisah nyata penculikan John Paul Getty III (Charlie Plummer) yang kasusnya mendunia di tahun 1973 karena tak lain merupakan cucu dari orang terkaya di dunia pada waktu itu, Jean Paul Getty (Christopher Plummer).
Jean Paul Getty yang merupakan pengusaha yang bergerak di bidang perminyakan memang mempunyai kekayaan mencapai 2 milyar dollar Amerika (atau kira-kira 27 triliun rupiah) pada saat dia meninggal di tahun 1976 yang menjadikannya sorotan internasional.
Anak tertuanya, John Paul Getty II (Andrew Buchan), tinggal di San Fransisco diajaknya bekerja oleh sang ayah ke Roma, namun rupanya sang anak mengalami culture shock hingga jatuh ke dunia obat-obatan dan mengalami perceraian dengan sang istri, Gail Harris (Michelle Williams) yang akhirnya tinggal mengurus anak-anaknya.
Tak disangka, salah seorang cucunya yang merupakan anak dari John Paul Getty II, diculik oleh sekelompok orang yang merupakan bagian dari mafia Ndragetha di Piazza Farnesse, Roma tahun 1973 dan disekap di daerah Calabria, selatan Italia.
Para penculik yang terkenal kejam ini meminta tebusan 17 juta dollar Amerika yang tentunya tak seberapa jika dibandingkan dengan kekayaan Jean Paul Getty. Namun nyatanya sang kakek menolak dengan tegas dengan alasan kalau dirinya masih memiliki 14 cucu lainnya, yang kalau tebusannya dibayar tak akan menjamin semua 14 cucunya tak akan diculik juga.
Penegasan itu membuat kalut sang ibu, Gail Harris (Michelle Williams) yang kala itu sudah bercerai dari suaminya, John Paul Getty II yang tak lain adalah anak tertua dari sang miliarder. Waktu terus berjalan sampai akhirnya sang kakek mengutus tangan kanannya Fletcher Chace (Mark Wahlberg) sebagai negosiator untuk mengurus segala sesuatunya bersama Gail hingga cucunya bisa kembali dengan selamat.
Film ini dibuka menarik, Scott menggunakan tampilan hitam putih muncul sesudah akhirnya bertransisi menjadi warna. Dan palet warna untuk tiap adegan pun dibedakan dari tempat, waktu dan strata sosial yang digambarkan disitu. Untuk adegan di San Fransisco tampilan warna netral muncul dengan toning warna-warna cerah yang merefleksikan momen keceriaan Gail bersama anak-anaknya waktu kecil.
Di Roma, palet berwarna gelap dan keemasan digunakan. Toning coklat tampak mendominasi, yang muncul dari material kayu dan furniture yang bersifat elegan digunakan sebagai set disitu. Untuk momen penculikan, warna-warna kelabu muncul dengan kecenderungan grainy. Tampak kasat mata memang, namun perbedaan tone itu memberikan ambience dan tensi yang diinginkan, bersifat dinamis seusai alur dan plot cerita yang berkembang dari satu frame ke frame lainnya.
Plot yang bergerak maju mundur di awal film memang menceritakan secuil hidup sang miliarder dan sebagian menceritakan masa kecil sang anak sebelum akhirnya diculik kala berusia 16 tahun. Terasa minim memang untuk sekedar mengulik lebih jauh sang miliarder, namun cukup jelas untuk menggambarkan watak sesungguhnya.
Untuk film dengan motif penculikan, tentu film ini punya sedikit keunggulan dibanding film lainnya macam Kidnapping Mr Heineken (2015) yang cenderung membosankan dan statis. Sinematografi yang digarap apik oleh Dariusz Wolski (Prometheus, The Martian, Alien Covenant) mampu menampilkan visualisasi dari kota Maroko dan Roma dari sudut yang berbeda.
Disini, kita disuguhkan set yang amat detil yang mayoritas menggambarkan suasana Roma era 70-an, baik dari segi wardrobe dan properti yang ditampilkan. Secara keseluruhan film ini mampu menyajikan akting menawan dari Christopher Plummer yang secara brilian mampu menggantikan Kevin Spacey (yang secara mengejutkan terkena kasus dugaan skandal seks menjelang peluncuran film) dan tentunya Michelle Williams yang mampu berperan sebagai ibu tunggal yang tak mau termakan harta oleh mantan mertuanya.
Keduanya mampu menutupi kelemahan karakter Fletcher Chase yang dialognya terasa medioker dan rasanya terlalu sayang menempatkan aktor sekelas Mark Wahlberg di posisi itu. Walaupun premis film ini sangat menjanjikan, namun sebagai biopic film ini belum sempurna. Dengan genre yang jarang sekali dikupas oleh sineas film manapun, film ini bisa menjadi pembeda dan pilihan bagi Chillers yang butuh tontonan bermutu dan berkualitas. Film ini sudah bisa Chillers lihat di bioskop terdekat mulai hari ini.