Menyusuri Sejarah Bioskop Konvensional di Jakarta

Dalam rangka menyambut Hari Film Nasional, para pembaca diajak untuk melihat kilas balik bioskop-bioskop jadul di Jakarta.

 

Jakarta merupakan salah satu kota yang sangat penting bagi Indonesia seiring dengan berbagai aktivitasnya sejak masa kolonial.

Perkembangan bioskop di Jakarta telah dimulai sejak kemunculannya pertama kali pada tahun 1900 di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Gambar hidup yang ditampilkan saat itu adalah Ratu Belanda bersama Pangeran Hertog Hendrick ketika memasuki ibukota negeri Belanda, Den Haag.

Konsep bioskop dengan gedung-gedung tersendiri tentu saja belum ada pada masa itu. Tempat pemutaran film biasanya menyewa sebuah gedung atau rumah. Industri bioskop bukanlah bentuk hiburan yang murah. Harga tiket bioskop umumnya hanya cukup untuk kalangan menengah ke atas.

Pemerintah kolonial kemudian mencari cara agar bisa menarik lebih banyak lagi perhatian masyarakat. mengurangi biaya produksi hingga harga tiket menjadi pilihan ampuh ketika itu.

Pada tahun 1920-an, dibentuk gedung bioskop dengan konsep baru yang dibangun dengan batu bata sehingga lebih permanen. Pada dekade selanjutnya, di tahun 1940-an, mulai bermunculan bioskop-bioskop besar di Jakarta, seperti Elite, Orion, Alhambra, Astoria, hingga Megaria di Cikini yang kemudian menjadi tren di tahun 1950-an.

Kilas balik ke masa Orde Lama

Hiburan masyarakat Jakarta pada tahun 1950an – terutama bagi para pelajar, salah satunya adalah dengan menonton film. Kondisi perfilman juga telah berangsur membaik apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, pada masa kolonial dan penjajahan.

Bioskop Astoria © Arsip Nasional Republik Indonesia

Di tahun itu, sudah banyak berdiri bioskop-bioskop besar yang diketahui masyarakat. Selain bioskop besar, terdapat pula bioskop rakyat yang biasa dipilih oleh kalangan bawah dengan harga tiket yang lebih murah dengan tempat yang lebih sederhana.

Bioskop rakyat ini acapkali disebut bioskop misbar atau gerimis bubar. Bioskop yang termasuk bioskop rakyat tersebut ialah bioskop Ratna dan bioskop Gembira yang masing-masing terletak di kedua ujung Jalan Kawi, Jakarta Selatan.

Kedua bioskop rakyat ini banyak didatangi oleh penonton dari berbagai umur. Tidak hanya Ratna dan Gembira, banyak bioskop di beberapa daerah di Jakarta tergolong dalam bioskop rakyat. Namun biasanya bioskop-bioskop tersebut jarang terdengar.

Berbeda dengan bioskop rakyat, pada tahun 1951 diresmikan bioskop Metropole yang merupakan bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Sesuai dengan fasilitas dan lokasinya, bioskop ini masuk ke dalam golongan bioskop kelas satu bersama dengan bioskop Menteng.

Bioskop Menteng © Nanang Baso / TEMPO

Selanjutnya, terdapat pula bioskop yang berdiri sejak masa kolonial yang masih ada hingga zaman Orde Lama seperti bioskop Garden Hall dan bioskop Podium di daerah Cikini yang lokasinya saling bersebelahan. Tidak diketahui secara pasti kapan kedua bioskop ini berdiri.

Menurut Alwi Shahab, seorang budayawan betawi, Bioskop Garden Hall saat itu dianggap sebagai salah satu bioskop kelas satu, sementara bioskop Podium lebih diperuntukan sebagai bioskop untuk film-film artistik yang mengutamakan nilai-nilai seni dibandingkan dengan komersil. Seperti bioskop Menteng dan Metropole, bioskop Garden Hall merupakan salah satu bioskop terbaik di Jakarta pada masanya.

Bioskop New Garden Hall © Nanang Baso / TEMPO

Bioskop lain yang sudah berdiri lama ialah bioskop Grand disudut Kramat-Senen. Bioskop ini tergolong bioskop kelas menengah-bawah karena lokasinya yang dekat dengan permukiman kumuh di daerah Senen. Ajaibnya, bioskop ini terbukti mampu bertahan meski dalam keadaan yang terpuruk.

Berikutnya ada bioskop Capitol di Pintu Air yang merupakan bioskop kelas atas, khususnya orang Belanda. Sebagai bioskop eksklusif, bioskop ini jarang menampilkan film-film Indonesia. Di samping kanan Capitol, bersebrangan di jalan yang sama, terdapat bioskop Astoria. Meskipun lebih kecil dari Capitol, tapi Astoria juga termasuk bioskop kelas satu. Sekitar tahun 1954, bioskop di Jakarta kemudian sudah bertambah menjadi 45 gedung.

Terus melaju ke tahun melewati tahun 1960

Setelah adanya pergolakan politik yang mempengaruhi dunia perfilman Indonesia, kebijakan baru mulai diberlakukan seiring pergantian tampuk kekuasaan di masa Orde Baru.

Dua bioskop internasional ibukota yang muncul setelah Orde Baru diantaranya yaitu Krekot di Sawah Besar dan Pomindo di Jalan Raya Mangga Besar. Pada tahun 1969, kedua bioskop tersebut dibuka untuk masyarakat sekitar Jakarta dan digadang akan menayangkan film-film terbaru yang hebat dan seru.

Bioskop Megaria © COLLECTIE TROPENMUSEUM

Awal tujuh puluhan tercatat sebagai titik puncak kembalinya produksi film Indonesia, terutama jika dilihat dari segi jumlah film setelah sekian lama mengalami kelesuan dan diwarnai intrik politik.

Pada periode 1965 hingga 1975, muncul bioskop-bioskop dengan kapasitas besar di Jakarta dengan empat kelas, yaitu balcony; loge; second class; dan stalls yang dapat menjangkau tiga strata masyarakat dengan harga yang berbeda namun tetap satu film yang sama.

Penayangan film-film khusus di suatu bioskop saat masa Orde Baru juga masih berlaku. Di sekitar Jakarta Pusat, beberapa bioskop kelas atas yang biasa menyangkan film-film Amerika (atau film Indonesia yang terpilih) diantaranya: bioskop Menteng; bioskop Megaria, Djakarta Theatre; bioskop Kartika Chandra; New Krekot Theatre; Star International Theatre; hingga bioskop Cathay. Adapun di kawasan Jakarta Selatan terdapat bioskop Citra Theatre dan New Garden Hall.

Sementara itu, bioskop yang menayangkan film-film Mandarin pada masa Orde Baru tetap banjir peminat, seperti; Mandala Theatre, Golden Theatre; Kartini Theatre; dan Plaza Theatre di sekitar Glodok. Adapun bioskop Rivoli dan National Theater tetap setia menayangkan film-film India.

Bioskop Rivoli © Perpustakaan Nasional

Sayangnya, dari nama-nama bioskop di atas, masih ada banyak bioskop di Jakarta yang tidak terdeteksi keberadaannya. Untuk menghindari pajak yang tinggi, banyak bioskop rakyat di Jakarta mencoba untuk mengakalinya dengan merahasiakan data-data penonton, jumlah penduduk, atau bahkan keberadaannya.

Keruntuhan bioskop konvensional di Jakarta

Pada tahun 1986, seorang pengusaha Indonesia bernama Sudwikatmono membuat sebuah lingkaran usaha bioskop terbaru yang disebut Studio 21. Berbeda dengan bentuk bioskop sebelumnya, gedung bioskop ini mempunyai empat ruangan untuk menonton film dalam satu gedung.

Dengan adanya empat ruangan tersebut, maka berarti ada empat layar di setiap ruangannya dan dapat menayangkan empat film berbeda dalam satu gedung bioskop.

Sebagian pengamat menilai bahwa sinepleks telah mengubah kesadaran para pengusaha bioskop tradisional, guna melakukan renovasi dan perbaikan gedung, serta pembaruan manajemen. Beberapa gedung bioskop kemudian tampil dengan wajah baru.

Apabila biasanya bioskop-bioskop besar menyediakan tempat duduk sebanyak 1.000 kursi, maka sekarang dikurangi menjadi hanya 100 atau 200 kursi saja. Pengurangan kursi penonton yang sangat signifikan ini dianggap perlu untuk menciptakan suasana yang lebih relax, tenang, dan nyaman. Lantainya pun dibuat berkarpet dengan disertai ruangan ber-AC.

Sejak tahun 1987, jumlah layar bioskop di Jakarta kemudian meningkat setiap tahun berikutnya. Meski jumlah layar bioskop kian bertambah, perfilman di Indonesia tetap tidak berkembang. Hal tersebut secara jelas menyebabkan ketidakstabilan bioskop-bioskop yang ada di Jakarta karena pasokan film untuk diputar menjadi berkurang.

Bioskop Grand © Joko Anwar

Bioskop independen lambat laun gulung tikar dengan adanya bioskop berjaringan, sehingga film tidak dapat tersebar ke daerah yang lebih kecil karena terpusat di kota besar saja. Kondisi itu ditandai dengan terus ditutupnya gedung-gedung bioskop independen sejak tahun 1990 di Jakarta akibat sepi penonton.

Hingga akhir tahun 90-an, bioskop dan perfilman Indonesia masih dalam keadaan terpuruk. Kemajuan teknologi, krisis ekonomi, dan bioskop berjaringan membuat mereka harus menutup gedung bioskop independen miliknya hingga menjadi kenangan.

Sepanjang Jakarta Timur, Pusat, Barat, Utara, bahkan di Selatan, yang tersisa hanyalah nama dan kenangan. Bioskop-bioskop Jakarta yang lahir sejak awal abad ke-20 hingga tahun 1960-an, hampir semua hilang tak berbekas.

Di Jatinegara, bioskop Djaja kini sudah berubah menjadi Pusat Grosir Jatinegara, dari sana melaju hingga ke Kramat ada bioskop Rivoli yang pernah menjadi pusat pemutaran film-fim India, sekarang telah berubah menjadi sebuah hotel.

Bioskop Orion kini menjadi pertokoan elektronik di Glodok. Sementara di tempat yang dahulu berdiri bioskop Roxy, di pertigaan Jalan Biak dan Jalan Hasyim Ashari, sejak sekitar empat tahun lalu sudah berubah menjadi ruko.

XXI Plaza Indonesia © 21 Cineplex

Meski begitu, bioskop tidak pernah seutuhnya mati. Banyak di antara gedung tersebut yang tetap menjadi hiburan dan hanya bertransformasi.

Di masa sekarang, menonton film di bioskop mungkin sudah bukan hal yang istimewa dan berkesan bagi banyak anak muda. Namun, bioskop pernah menjadi hiburan yang menyenangkan dan ramai peminat karena di dalamnya, kita bisa berbincang dan bersua bersama sambil menikmati film-film kesukaan.

Bagi generasi saat ini, pengalaman menonton film di bioskop mungkin sudah tidak jauh berbeda dengan menonton di rumah.  Maka dari itu, perlu adanya usaha dari industri bioskop sendiri agar bisa menyesuaikan zaman dan tidak mati ditelan masa.

Exit mobile version